Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”
Kita hidup di era krisis spiritualitas. Teknologi dan ekonomi
berkembang maju, tetapi jiwa dan pikiran manusia justru semakin
menderita. Mereka hidup terpisah dengan alam, dan akhirnya terasing dari
alam itu sendiri, dan bahkan menghancurkan alam. Orang hidup dalam
kelimpahan harta dan uang, namun hatinya penuh penderitaan, rasa takut
dan rasa benci.1
Tak heran, tingkat bunuh diri, stress, depresi dan beragam penderitaan
batin lainnya semakin meningkat. Banyak keluarga hancur di tengah jalan,
karena rasa benci dan rasa takut yang menutupi pikiran. Pengguna
narkoba pun semakin meningkat dan usianya semakin muda, persis untuk
mengalihkan manusia dari penderitaan batin yang dirasakannya. Agama,
yang dilihat sebagai dasar dari spiritualitas menuju hidup yang
bermakna, pun kini terjebak pada fundamentalisme. Mereka mendewakan
tradisi, ritual dan aturan, serta bersedia mengorbankan manusia. Bahkan,
agama sering digunakan untuk pembenaran bagi tindakan-tindakan bejat
dan kepentingan politik yang menutupi sejuta kemunafikan. Yang
dibutuhkan oleh banyak orang sekarang ini adalah jenis spiritualitas
yang baru, yang bisa memberikan makna bagi hidupnya, dan mengurangi
penderitaan batinnya, guna menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Di dalam tulisan ini, saya akan menawarkan bentuk spiritualitas yang
baru. Ia berpijak pada tradisi Zen Buddhisme yang berkembang di India,
Cina dan Jepang. Saya akan belajar langsung dari riwayat hidup dan
pemikiran-pemikiran tiga guru Zen yang amat berpengaruh di dalam tradisi
perkembangan Zen, yakni Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu. Sebagai acuan, saya
memilih menggunakan buku Thomas Hoover dan Alan Watts.2
Keduanya adalah penulis dari Amerika Serikat. Mereka membaca dan
menafsirkan Zen untuk orang-orang yang terbiasa dengan pola pendidikan
Barat. Tulisan-tulisan asli para guru Zen seringkali begitu tenggelam
pada konteks budaya mereka masing-masing, sehingga kurang bisa
dimengerti oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang yang
berbeda. Pada akhirnya, spiritualitas Zen adalah sebuah praksis hidup.
Ia bukan cuma teori untuk menjelaskan dunia dan manusia. Ia adalah
praksis hidup yang harus dijalankan, supaya manfaatnya sungguh terasa.
Tulisan ini akan dibagi ke dalam enam bagian. Awalnya, (1) saya akan
memberikan sedikit penjelasan tentang makna dari Zen di dalam tradisi
Buddhisme. Lalu, (2) saya akan menjabarkan pemikiran dari Ma-tsu tentang
pola pendidikan transrasionalitas. Pada bagian berikutnya, (3) saya
akan menjelaskan pemikiran Lin-chi soal dialektika transrasionalitas.
Ada benang merah antara pemikiran Ma-tsu dan Lin-chi yang menjadi ciri
unik dari Zen Buddhisme di Cina. Setelah itu, (4) saya akan menjabarkan
pemikiran Ikkyu menjadi ciri khas dari perkembangan Zen di dalam budaya
Jepang. (5) Saya akan menarik benang merah dari pemikiran ketiga master
Zen ini ke dalam satu konsep, yakni
spiritualitas-dialektika-transrasionalitas. Akhirnya, (6) tulisan ini
akan ditutup dengan kesimpulan.
- Zen Buddhisme
Apa yang dimaksud dengan Zen Buddhisme? Buddhisme adalah paham yang
berkembang dari ajaran Sakhyamuni Buddha sekitar 2500 tahun yang lalu di
Nepal. Tujuan utamanya adalah memahami hakekat dari manusia dan seluruh
alam ini.3
Dari pemahaman tersebut lahirlah pencerahan batin, dimana manusia bisa
hidup serasi dengan alam, tanpa ketegangan batin apapun. Sejak 2500
tahun yang lalu, ajaran Buddhisme terus lestari dan tersebar di berbagai
belahan dunia. Zen sendiri, sebagai salah satu aliran di dalam
Buddhisme, berkembang menjadi suatu bentuk latihan rohani tertentu, guna
mencapai pencerahan batin ini. Dalam arti ini, pencerahan batin berarti
pemahaman yang sejati tentang diri sendiri, sehingga orang bisa
membangun hidup yang baru. Di dalam tradisi Zen Buddhisme, hubungan
antara guru dan murid adalah bagian yang terpenting. Hubungan tersebut
harus bersifat pribadi dan mengarah pada pencerahan batin. Melalui
hubungan semacam ini, ajaran Zen tentang pencerahan batin diwariskan ke
generasi berikutnya, dan kemudian tersebar ke seluruh dunia.
Buddhisme sendiri memiliki dua cabang besar, yakni Mahayana dan
Hinayana. Di dalam tradisi Mahayana, orang berupaya untuk mencapai
pencerahan batin, supaya ia bisa mengajak orang lain untuk mencapai
pencerahan batin pula, dan menciptakan dunia yang damai. Sementara, di
dalam tradisi Hinayana, yang banyak tersebar di Asia Tenggara, tujuan
utamanya adalah mencapai pencerahan batin pribadi. Kata “Zen” sendiri
berasal dari bahasa Jepang, yakni Zenna. Kata ini berasal dari bahasa Sanksekerta Dhyana.
Artinya adalah meditasi, yakni keadaan ketika orang terserap ke dalam
kekosongan dari seluruh kenyataan itu sendiri. Tradisi meditasi
sebenarnya berakar pada Hinduisme. Kemudian, Buddhisme mengambil tradisi
untuk sebagai alat, supaya orang bisa memahami hakekat dari dirinya dan
seluruh kenyataan, serta mencapai pencerahan batin seutuhnya. Zen
Buddhisme sendiri berkembang di dalam tradisi Buddhisme Mahayana. Namun,
yang menjadi penekanan utama dari Zen bukanlah ajaran-ajaran Buddhisme
tradisional, melainkan meditasi itu sendiri. Semua konsep lainnya,
seperti mendaraskan teks-teks klasik Buddhisme, menjadi pendukung untuk
praktik meditasi itu sendiri. Inilah sebabnya, Zen Buddhisme menjadi
aliran Buddhisme sendiri yang relatif mandiri dari aliran-aliran
Buddhisme lainnya.
Salah satu konsep utama dari Zen Buddhisme adalah Zazen. Za berarti duduk, dan Zen
berarti meditasi. Secara keseluruhan, kata itu berarti duduk
bermeditasi, atau duduk sambil terserap ke dalam kekosongan dari
kenyataan. Zen Buddhisme sendiri berkembang ke Cina pada tahun 600.
Perintisnya adalah seorang biksu India yang bernama Bodhidharma. Setelah
itu, Zen kemudian bercampur dengan tradisi Konfusianisme dan Taoisme
yang sudah ada sebelumnya di Cina. Dari Taoisme, Zen menggunakan konsep
Mu yang berarti ketiadaan sebagai dasar dari pemahaman dan meditasi itu
sendiri. Inti ajarannya adalah, bahwa segala sesuatu, termasuk manusia,
adalah kekosongan itu sendiri. Ia datang dan pergi, serta berubah setiap
saat. Zen berkembang pesat di Cina pada masa pemerintahan Dinasti T’ang
dan Sung, yakni pada tahun 800 sampai 1100. Banyak guru Zen yang hidup
dan menyebarkan ajarannya pada masa ini. Cerita-cerita hidup mereka,
termasuk Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu yang menjadi tema utama tulisan ini,
banyak ditemukan di dalam Koan-koan, yakni cerita pendek yang bertujuan mengajak orang memahami hakekat Zen yang sesungguhnya.
Zen Buddhisme kemudian juga menyebar ke Jepang dan mencapai titik
emasnya pada abad 12 dan 13, ketika Jepang berada di bawah kekuasaan
para Satria di Kamakura. Ada dua aliran Zen yang kemudian berkembang
pesat di Jepang, yakni Rinzai Zen dan Soto Zen. Keduanya berakar pada
Zen Buddhisme yang sebelumnya berkembang di Cina. Pada masa ini, Jepang
mengalami perang saudara yang cukup panjang. Zen juga menjadi banyak
diminati, karena mengajarkan orang ketenangan batin yang sempurna,
bahkan ketika penderitaan menghadang di depan mata. Zen juga memperoleh
dukungan dari penguasa-penguasa di Jepang yang saling berperang satu
sama lain. Rinzai Zen berkembang di kalangan penguasa politik dan
militer Jepang semacam ini. Sementara, Soto Zen mencoba untuk keluar
dari politik, sehingga Zen bisa kembali pada akarnya sendiri. Ia pun
lebih banyak berkembang di kota-kota kecil dan pegunungan. Para
penganutnya kebanyakan petani dan pedagang kecil yang hidup lepas dari
pertarungan kekuasaan politik dan militer di Jepang.
Di Jepang, Rinzai Zen dan Soto Zen memiliki pendekatan yang berbeda. Rinzai Zen menekankan penggunaan Koan sebagai
alat untuk memecah cara berpikir orang, supaya ia bisa mengalami
pencerahan batin. Sementara, Soto Zen berfokus pada meditasi sepenuhnya,
dengan sedikit menggunakan Koan sebagai metode pendidikan. Ia
juga masih menggunakan metode tradisional di dalam Buddhisme, seperti
mengutip teks-teks suci di dalam Buddhisme. Fuchs berpendapat, bahwa Zen
Buddhisme berpengaruh amat besar pada perkembangan budaya Jepang itu
sendiri. Upacara teh dan penataan bunga adalah dua contoh budaya Jepang
yang berakar amat dalam pada pandangan-pandangan Zen. Seni bela diri
Jepang, seperti seni pedang dan judo, juga mencerminkan nilai-nilai
dasar Zen. Secara keseluruhan, dapat dikatakan, bahwa cara berpikir dan
cara hidup Jepang berakar amat dalam pada pandangan-pandangan Zen
Buddhisme.
- Ma-tsu dan Pedagogi Transrasionalitas
Setidaknya, ada satu perdebatan keras yang mewarnai perkembangan Zen
Buddhisme, yakni apakah Pencerahan batin dapat diperoleh secara
mendadak, atau melalui tahap-tahap yang telah ditentukan secara baku
sebelumnya. Salah satu pendapat besar menyatakan, bahwa Pencerahan bisa
diperoleh dengan tiba-tiba melalui beberapa peristiwa dan metode.4
Pendapat ini dianut oleh para Guru Zen yang berkembang di Cina selatan
pada tahun 600-an setelah Masehi. Pendapat lain menyatakan, tradisi,
dalam hal ini ritus-ritus Buddhisme, juga masih memainkan peran besar
untuk mendorong Pencerahan batin pribadi.
Pada akhirnya, pendapat pertama yang menang. Zen bukanlah agama untuk
mengatur negara atau masyarakat, melainkan sebuah pandangan hidup yang
membantu menata pikiran. Dengan pikiran yang tertata dengan baik, hidup
pun bisa dijalani dengan kedamaian hati dan penuh cinta kasih. Jika Zen
menjadi agama resmi dari suatu negara, maka Zen itu telah kehilangan
rohnya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ketika Zen menjalin
hubungan erat dengan kekuasaan politik, maka ia telah kehilangan roh
sejatinya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ciri khas Zen
adalah hidup yang sederhana dan kebebasan. Keduanya dianggap lebih
berharga daripada kejayaan politis dan ekonomis.
Para guru Zen tidak bekerja di kota-kota besar. Mereka hidup di
gunung-gunung, dan mencoba untuk menemukan cara-cara yang lebih baik,
supaya orang bisa mencapai pencerahan batin. Pencerahan batin sendiri
tidak bisa dicapai dengan teori abstrak yang masih terjebak di dalam
kosa kata bahasa. Ia adalah pemahaman tanpa kata-kata (wordless understanding).
Para guru Zen ini menolak tradisi Buddhisme yang terjebak pada ritual,
pemujaan pada tradisi dan pengaruh kekuasaan politik atas agama. Namun,
di dalam tradisi Cina, keberlanjutan dengan tradisi masa lalu adalah
sesuatu yang dianggap penting. Ini juga berlaku untuk Zen Buddhisme yang
berkembang Cina Selatan pada masa-masa itu. Mereka pun melihat
Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam, sebagai leluhur mereka.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada dua aliran besar yang
nantinya menyebar sampai Jepang, yakni Rinzai Zen dan Soto Zen. Kedua
aliran tersebut masih ada sampai sekarang ini, dan menyebar ke berbagai
belahan dunia lainnya. Aliran Rinzai Zen didirikan oleh Nan-yueh
Huai-jang yang hidup pada 677-744. Sementara, aliran Soto Zen dapat
ditelusuri kembali pada Ch’ing-yuan Hsing-ssu yang meninggal pada
sekitar 740. Huai-jang, pendiri Rinzai Zen, diduga pernah belajar
langsung pada Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam. Huai-Jang nanti
mempunyai seorang murid yang bernama Ma-tsu Tao-i yang hidup dari 709
sampai 788. Ma-tsu bisa dibilang melengkapi dasar dari Rinzai Zen. Ia
memiliki peran yang amat besar dalam membentuk cara berpikir Buddhis
yang mendasari Rinzai Zen. Saya akan mencoba menjabarkan beberapa
pemikirannya sebagai dasar untuk memahami spiritualitas agama tanpa
“agama.”
Nama Ma-tsu berarti juga “guru Ma”. Ia lahir di propinsi Szechuan dan
telah menjadi biksu Buddhis sejak usia muda. Ketika muda, seperti
banyak biksu Zen Buddhis lainnya, ia berkelana ke berbagai Kuil Buddha,
dan akhirnya hidup dan belajar di Kuil Buddha yang dipimpin oleh
Huai-jang di Gunung Nan-Yueh. Perjumpaan antara Ma-tsu dan Huai-jang
amat terkenal. Perjumpaan ini menandakan sikap kritis Zen Buddhisme pada
praktik-praktik tradisional Buddhisme yang telah ada sebelumnya,
termasuk, ironisnya, praktek meditasi berjam-jam, guna sampai pada
pencerahan batin. Suatu waktu, Huai-jang, sang Zen Master, melihat
Ma-tsu yang sedang bermeditasi. Huai-jang pun bertanya, apa tujuannya
bermeditasi. Ma-tsu segera menjawab, “Saya ingin menjadi Buddha, yakni
manusia yang tercerahkan.” Huai-jang tidak menanggapi jawaban itu. Ia
mengambil batu dan mulai menggosok batu itu ke batu lainnya. Ma-tsu
merasa penasaran, mengapa gurunya melakukan itu. Ia pun bertanya,
“Mengapa guru melakukan itu?” Gurunya menjawab, “Aku mau mengubah batu
ini menjadi cermin.” Ma-tsu menanggapi, “Bagaimana mungkin?” Gurunya
melanjutkan, “Bagaimana kamu bisa mencapai pencerahan batin dengan duduk
dan bermeditasi?” Bagi Huai-jang, pandangan yang nantinya juga dianut
oleh Ma-tsu, pencerahan batin (menjadi Buddha- manusia yang tercerahkan)
adalah sebuah tindakan aktif, dan bukan tindakan pasif, seperti
bermeditasi. Ia tidak dapat diraih dengan duduk diam, melainkan dengan
hidup yang aktif.
Selain memiliki pemikiran yang maju, sosok fisik Ma-tsu juga amat
berkesan untuk murid-muridnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hoover,
Ma-tsu memiliki tatapan mata seperti singa. Ia bisa menyentuh hidungnya
dengan lidahnya.5
Di telapak kakinya, ada tanda berbentuk roda. Di antara murid-murid
Huai-jang, hanya Ma-tsu yang memperoleh pengakuan untuk meneruskan
ajaran-ajarannya. Namun, sumbangan tertinggi Ma-tsu bagi perkembangan
Zen Buddhisme terletak pada metode mengajarnya, yakni dengan memberi
kejutan mendadak pada para muridnya, sehingga mereka bisa sampai pada
pencerahan batin, dan menjadi Buddha. Di dalam tradisi Zen, pencerahan
batin bisa dicapai, jika orang mampu memahami hakekat dirinya sendiri.
Pemahaman akan hakekat diri juga berarti pemahaman akan hakekat terdalam
dunia. Namun, Hui-neng, yang dikenal sebagai Patriakh Zen keenam, tidak
memberikan cara yang jelas, bagaimana orang bisa sampai pada pemahaman
semacam ini. Meditasi berjam-jam dan melakukan berbagai ritual Buddhis
tentu tidak cukup untuk sampai pada pencerahan batin.
Ma-tsu adalah guru Zen pertama yang mengembangkan metode tanpa
meditasi dan tanpa ritual untuk mencapai pencerahan batin. Intinya
adalah membawa orang keluar dari kebiasaan berpikir rasionalnya, dan
masuk ke dalam kondisi “tanpa pikiran”. Ia mencoba berbagai cara, supaya
orang bisa melepaskan kebiasaan berpikir logis dan rasionalnya.
Pencerahan batin adalah kondisi pikiran yang melampaui nalar dan logika.
Para muridnya nantinya juga akan mengembangkan beragam metode, guna
memecah kebiasaan berpikir logis dan rasional. Biasanya, Ma-tsu akan
mengajukan pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan
logika. Ia adalah guru Zen pertama yang menggunakan metode semacam ini,
guna memicu pencerahan batin murid-muridnya. Ketika ditanya oleh
Ma-tsu, biasanya pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan
rasionalitas dan logika, muridnya biasanya akan mengalami kebingungan.
Pada saat ini, Ma-tsu akan berteriak, “HO!!”, ke telinga muridnya. Pada
saat itu pula, muridnya akan mengalami kondisi di luar akal budi dan
logika, yakni apa yang disebut Ma-tsu sebagai pikiran tanpa dualisme,
yakni tanpa pembedaan. Semua hal, walaupun sejenak, dilihat sebagai satu
kesatuan yang tak terpisahkan.
Cara lainnya adalah dengan memanggil nama seseorang, tepat ketika
orang tersebut telah pergi dari ruangan. Tindakan ini akan menghasilkan
kejutan. Selama sesaat, ia akan terputus dari rantai berpikir logis dan
rasionalnya, serta merasakan hakekat aslinya yang bersifat intuitif.
Cara lainnya adalah dengan memukul seorang murid, ketika ia mulai
merenungkan sesuatu dengan akal budinya. Pukulan ini ditujukan untuk
melepaskan orang dari renungan rasionalnya, dan masuk ke dalam ranah
intuisi untuk memahami hakekat diri aslinya. Cara lainnya adalah dengan
memberikan jawaban yang tidak masuk akal atas pertanyaan yang diajukan
oleh murid. Tujuannya adalah, supaya murid sadar, betapa dangkal dan
tidak relevannya pertanyaan yang diajukan. Ma-tsu juga sering mengirim
seorang murid untuk berdiskusi dengan murid-muridnya untuk hal-hal yang
tidak masuk akal. Ia berharap, sang murid bisa menyadari dangkal dan
bodohnya dari pertanyaan yang ia ajukan, ketika ia berjumpa dengan
berbagai pribadi lainnya yang juga mencoba menghayati Zen Buddhisme.
Ma-tsu mengembangkan berbagai teknik, guna menggoyang semua kebiasaan
berpikir rasional dan logis murid-muridnya. Baginya, pencerahan batin
tidak akan pernah bisa dicapai dengan akal dan logika. Ia hanya bisa
diraih melalui intuisi tentang hakekat terdalam dari seluruh kenyataan
yang ada. Intuisi ini bersifat aktif, dan tidak bisa didapatkan begitu
saja dari meditasi yang bersifat pasif. Pukulan, kejutan, jawaban dan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal bisa membuat orang berpikir
secara aktif, dan menemukan intuisi yang mendorong pencerahan batinnya.
Ma-tsu juga mencoba merumuskan ulang arti dari pencerahan batin yang
merupakan tujuan utama dari semua praktik Buddhisme. Baginya, pencerahan
batin berarti melihat ke dalam hakekat dirinya sendiri secara intuitif.
Dan karena hakekat diri dan hakekat dari segala yang ada adalah sama,
maka melihat hakekat diri sendiri berarti juga melihat hakekat dari
segala yang ada. Semua ini dilakukan tidak dengan menggunakan akal budi
dan logika, melainkan intuisi. Metode untuk mengajarkan pemahaman ini
tidak bisa dengan metode biasa yang digunakan, seperti menggunakan
konsep dan akal budi untuk memahami sesuatu. Ini hanya akan menghasilkan
pemahaman intelektual yang tidak banyak memberikan peran di dalam
pencerahan batin. Seperti dijelaskan sebelumnya, Ma-tsu mencoba
mengembangkan cara-cara baru untuk mengajarkan pemahaman intuitif
semacam ini. Setiap gerak, bahkan diam, bisa digunakan untuk membawa
orang pada pemahaman intuitif. Sakyamuni Buddha bahkan bisa mendorong
muridnya untuk mencapai pencerahan batin hanya dengan memegang setangkai
bunga.
Bisa juga dikatakan, bahwa inti dari pendidikan Zen adalah pemahaman
intuitif. Semua orang bisa mencapai pencerahan batin, asal ia bisa
melihat hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Akar dari pencerahan
batin, menurut tradisi Zen, adalah pikiran manusia. Pikiran itu lalu
tercermin di dalam setiap tindakan dan keputusan manusia dalam hidupnya.
Pencerahan batin adalah kondisi, dimana manusia melepas semua pikiran
rasional dan logisnya, serta masuk sepenuhnya ke dalam pemahaman
intuitif. Segala bentuk meditasi dan ritual, jika tidak mampu menyentuh
pemahaman intuitif, hanya akan menjadi tindakan yang tidak berguna. Yang
hanya perlu dilakukan adalah melepas segalnya, dan menjadi alamiah
seutuhnya. Kita bisa duduk, berjalan, tidur, dan memasak. Asalkan
semuanya dilakukan secara alamiah dan intuitif, maka kita sedang menuju
ke dalam pencerahan batin, begitu kata Ma-tsu.
Pikiran harus dilepaskan dari segala kategori rasional dan logis,
sehingga ia bisa menjadi bebas seutuhnya. Jangan ingin berbuat jahat,
dan juga jangan ingin berbuat baik. Tidak ada hukum untuk mengatur
hidup. Tidak ada pencerahan batin yang ingin dicapai. Kebebasan berpikir
yang dijaga melalui intuisi dan menolak untuk menggantungkan diri pada
apapun, itulah pencerahan batin, bagi Ma-tsu.
Ma-tsu, sebagai seorang tokoh penting di dalam tradisi Zen Buddhisme,
tidak hanya menolak ritual yang menjadi ciri tradisional dari
Buddhisme, tetapi juga merumuskan ulang arti dari pencerahan batin itu
sendiri. Baginya, pencerahan batin bukanlah sebuah konsep religius yang
suci dan luhur, melainkan suatu keadaan manusiawi yang bisa dialami
setiap orang. Ma-tsu sendiri telah mempelajari Buddhisme tradisional
dengan segala teks dan ritualnya. Namun, baginya, itu semua hanya alat
untuk mencapai pencerahan batin. Ada cara lain yang mungkin lebih baik,
yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan yang sama. Ma-tsu menggunakan
bahasa sehari-hari untuk mengajarkan Zen kepada orang banyak, supaya
mereka juga bisa sampai pada pencerahan batin. Kuncinya adalah melihat
ke dalam hakekat diri sendiri secara intuitif. Tidak ada usaha manusia
yang bisa dicapai untuk mencapai pencerahan batin, kecuali menyingkirkan
semua pikiran logis dan rasional, dan kemudian menunggu momen
pencerahan batin. Tentu saja, sebagai guru Zen, Ma-tsu berusaha
menemukan cara-cara baru untuk mendorong orang melepaskan pikiran logis
dan rasionalnya.
Meditasi hanya salah satu jalan untuk mencapai pencerahan batin. Itu
pun, bagi Ma-tsu, bukanlah jalan yang paling baik. Sejauh sebuah cara
mampu mendorong munculnya intuisi atas dunia, maka cara itu yang paling
diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Selama sebuah cara mampu
mendorong pembebasan pikiran dari berbagai analisis rasional dan logika,
maka cara itulah yang perlu diutamakan untuk mencapai pencerahan batin.
Ketika pikiran manusia terjebak di antara kutub-kutub, misalnya
benar-salah, baik-buruk dan hidup-mati, maka ia akan terus terjebak
dalam kebingungan dan penderitaan hidup. Ia tidak akan bisa sampai pada
pencerahan batin. Dasar dari pencerahan batin, bagi Ma-tsu, adalah
kebenaran itu sendiri. Namun, kebenaran itu bukanlah konsep “kebenaran”
yang bersifat rasional dan logis, melainkan intuisi tentang kebenaran
yang lahir dari persentuhan langsung dengan kenyataan yang ada, tanpa
konsep dan tanpa pikiran. Semua ini bisa dilakukan dalam hidup
sehari-hari, yakni ketika orang menjalani hidupnya sehari-hari dengan
intuisi penuh akan hakekat dari kenyataan yang ada, tanpa pertimbangan
rasional dan logis, dan tanpa pertimbangan baik-buruk.
Dengan sikap hidup semacam ini, orang akan mencapai pencerahan batin.
Dengan pencerahan batinnya, ia akan bersikap sesuai dengan yang
dibutuhkan pada keadaan tertentu yang ada di depan matanya. Ia akan
menjadi pribadi yang tanggap terhadap keadaan yang ada, dan bukan
pribadi yang cuek atau justru reaksioner-emosional, seperti kebanyakan
orang, ketika menghadapi keadaan yang jelek. Pemahaman intuitif, yang
merupakan inti dari Zen Buddhisme ini, dapat diperoleh dengan mendengar
berbagai cerita pendek yang berkembang dari pembicaraan antara guru dan
murid di dalam tradisi Zen Buddhisme. Cerita ini menjadi dasar untuk
mencapai pengalaman akan intuisi. Orang yang mendengar cerita-cerita ini
lalu juga bisa berkaca, dan melihat pengalaman serta hakekat dirinya
sendiri. Di samping cerita-cerita pendek semacam ini, Ma-tsu juga
menggunakan metode lama, yakni memberikan kuliah umum. Di dalam
kuliah-kuliah ini, Ma-tsu tidak memberikan pemahaman baru, melainkan
metode baru untuk mengajak orang menemukan intuisinya. Thomas Hoover
menafsirkan, bahwa inti dari kuliah-kuliah Ma-tsu adalah penegasan,
bahwa dunia adalah semata pikiran manusia. Pencerahan batin hanya dapat
dicapai, jika orang menyadari hal ini tidak dengan akal budi dan
logikanya, melainkan dengan intuisinya.
Pikiran manusia, bagi Ma-tsu, adalah Buddha. Buddha, atau kondisi
pencerahan batin, tidak berada di luar manusia, melainkan di dalam
pikirannya. Orang yang mencari pencerahan batin di luar dirinya tidak
akan menemukan apapun, karena tidak ada yang dicari. Pikiran yang bersih
dari segala “pikiran” adalah Buddha. Tidak ada pembedaan antara baik
dan buruk, karena pikiran yang asali, yakni pikiran yang bersih,
melampaui semua pembedaan yang biasa kita temukan di dalam dunia. Di
dalam hidup, menurut Ma-tsu, kita tidak boleh memilih yang baik dan
menolak yang buruk. Keduanya merupakan gangguan pada kemurnian pikiran
kita. Keduanya adalah kosong dan ilusi yang harus dihindari, jika orang
ingin mencapai pencerahan batin. Nilai baik dan buruk adalah hasil
ciptaan manusia. Ia masih terjebak pada dunia sosial. Yang lebih dalam
lagi adalah intuisi tentang kenyataan yang berada melampaui penilaian
baik dan buruk tersebut. Di dalam intuisi ini, dunia adalah satu. Ia
tidak dipisahkan oleh kutub-kutub penilaian. Inilah yang disebut sebagai
pemikiran non-diskriminatif, yakni pemikiran yang tidak lagi
membeda-bedakan. Jika orang memahami ini dengan intuisinya, maka segala
bentuk pembedaan akan menjadi tidak berarti baginya.
Jika dunia adalah ciptaan dari pikiran, dan pikiran manusia mesti
dilampaui untuk sampai pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin,
maka dunia pun sejatinya adalah sesuatu yang harus dilampaui dengan
intuisi. Segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah kekosongan. Ia
terus berubah, karena ia tidak memiliki hakekat yang tetap, demikian
kata Ma-tsu. Jika ia tampaknya ada, maka itu adalah ciptaan dari pikiran
kita yang juga nantinya akan berubah. Segala yang ada adalah pantulan
dari pikiran, dan pikiran manusia juga sejatinya adalah kekosongan itu
sendiri. Ini adalah pemahaman dasar dari pencerahan batin di dalam Zen
Buddhisme, menurut Ma-tsu. Jika orang memahami ini tidak secara rasional
dan logis, melainkan secara intuitif, maka ia akan menjalani hidupnya
dengan tenang, seolah semuanya transparan dan kosong. Dengan pola hidup
semacam ini, ia pun lebih terdorong untuk meningkatkan mutu hidup
spiritualnya. Inilah inti dari segala latihan di dalam Zen Buddhisme,
menurut Ma-tsu. Pencerahan batin berarti menghadapi hidup dan melihat
diri sendiri serta segala pikiran yang ada sebagai sesuatu yang kosong
dan ilusif. Pengetahuan intelektual tentang hal ini tidaklah mencukupi
untuk sampai pada pencerahan batin. Orang harus mengalami kekosongan ini
secara intuitif. Di dalam salah satu Koan,
Ma-tsu berdiskusi dengan salah satu muridnya tentang hakekat dari Zen
Buddhisme. Muridnya bertanya, “Apa itu Buddha?” Ma-tsu menjawab,
“Pikiran adalah Buddha. Tidak ada pikiran, tidak ada Buddha.” Dalam arti
ini, Buddha adalah kondisi pencerahan batin.
Dari dialog ini bisa disimpulkan, bahwa pencerahan batin adalah
kondisi pikiran manusia. Maka, pencerahan batin berarti juga pencerahan
pikiran. Kenyataan dan dunia adalah ciptaan dari pikiran manusia. Tidak
ada pencerahan batin di luar pencerahan pikiran manusia. Ada cerita
lainnya. Seorang murid bertanya kepada Ma-tsu, “Apakah pikiran sungguh
adalah Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Karena aku ingin menghentikan tangis
seorang bayi.” Sang murid merasa bingung dengan jawaban itu. Ia pun
melanjutkan, “Ketika tangisnya berhenti, lalu apa?” Ma-tsu menjawab,
“Bukan pikiran, bukan Buddha.” Sang murid kembali menjawab, “Bagaimana
kamu mengajarkan orang untuk bisa berpikir seperti itu?” Kata Ma-tsu,
“Saya akan bilang pada mereka, ‘bukan-pikiran’, ‘bukan-sesuatu’.” Kata
muridnya, “Jika kamu bertemu dengan orang yang telah bebas dari
keterikatan dengan segala sesuatu, apa yang akan kamu katakan padanya?”
Jawab Ma-tsu, “Saya akan membiarkan dia mengalami Tao yang
sesungguhnya.” Tao disini berarti “jalan” menuju pencerahan batin.
Dari dialog ini, seperti dinyatakan oleh Hoover, kita bisa melihat
ciri khas dari cara mengajar Ma-tsu. Terkadang, ia menggunakan kata-kata
positif. Lalu, ia berubah menggunakan kata-kata negatif. Dua bentuk
kalimat ini jelas mengundang kebingungan dari pendengarnya. Namun, gaya
semacam ini haruslah dimengerti dalam konteks tujuan pendidikan Zen,
yakni mengajak orang untuk melampaui cara berpikir logis dan rasional,
lalu memasuki pemahaman yang bersifat intuitif, dimana paradoks dan
kontradiksi menjadi ciri yang utama. Metode dialog ini dapat juga
dimengerti sebagai dialektika, yakni pengembangan argumen melalui
percakapan timbal balik. Dan tujuan yang ingin dicapai, yakni pemahaman
intuitif tentang hakekat dari segala sesuatu, dapat dimengerti sebagai
transrasionalitas, yang berarti melampaui rasionalitas. Hoover
memberikan contoh lainnya dari dialog antara Ma-tsu dengan muridnya.
Suatu waktu, seorang murid bertanya kepada Ma-tsu tentang kesehatan
tubuhnya. Ma-tsu menjawab, “Buddha berwajah matahari, Buddha berwajah
bulan.” Di dalam tradisi Zen Buddhisme, Buddha berwajah matahari hidup
selamat 1800 tahun. Sementara, Buddha berwajah bulan hanya hidup satu
hari dan satu malam. Dari jawaban ini, Ma-tsu ingin menunjukkan, betapa
tidak pentingnya pertanyaan dari muridnya tersebut. Tubuh fisik sama
sekali tidak memiliki nilai. Yang sungguh bernilai adalah kondisi
pikiran.
Tujuan dari pendidikan Zen, bagi Ma-tsu, adalah melepaskan manusia
dari logika dan pembedaan-pembedaan yang ia buat di dalam hidupnya,
misalnya pembedaan antara baik dan buruk, benar dan salah, aku dan kamu,
dan sebagainya. Ada lagi cerita lainnya yang dikutip Hoover untuk
menjelaskan, bagaimana Ma-tsu membongkar cara berpikir muridnya yang
masih terjebak pada pembedaan-pembedaan di dalam kenyataan. Cara
berpikir yang membeda-bedakan ini disebut juga sebagai dualisme. Seorang
guru Zen bertanya kepada Ma-tsu, “Apa yang diajarkan oleh para guru
Zen?” Ma-tus kemudian menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Apa yang
telah kau ajarkan?” Sang guru Zen menjawab, bahwa ia telah mengajarkan
tentang Sutra dan Sastra dari Buddha. Semua itu merupakan teks-teks
tradisional yang menjadi dasar bagi Buddhisme. Ma-tsu kemudian
menanggapi, “Apakah kamu seekor singa?” Sang guru Zen menjawab, “Saya
tidak mau menjawab pertanyaan itu.” Ma-tsu kemudian menghembuskan
nafasnya, tanda kecewa. Sang guru Zen kembali bertanya, “Apakah ini cara
mengajarkan Zen?” Ma-tsu menanggapi, “Apa maksudmu? Cara singa keluar
dari kandang? Ketika tidak ada jalan keluar dan jalan masuk, apa itu
lalu?” Sang guru Zen tidak menjawab.
Salah satu gaya mengajar Ma-tsu adalah dengan mengajukan pertanyaan
yang tak bisa dijawab dengan akal dan logika. Ini yang di dalam tradisi
Zen Buddhisme disebut sebagai Mondo. Pertanyaan yang diajukan
kerap kali tak berhubungan dengan konteks percakapan. Orang yang
mendengar pun akan bingung, karena ia seolah terputus dari rantai logika
dan akal budi. Pada titik inilah, menurut saya, dialektika
transrasionalitas menemukan puncaknya. Cara mengajar yang dikembangkan
oleh Ma-tsu ini merupakan pengembangan dari apa yang telah dimulai oleh
Patriakh Zen keenam, yakni Hui-neng. Inti dari Mondo adalah
penegasan, bahwa dunia dan segala kenyataan yang ada merupakan bentukan
dari pikiran kita, dan segala sesuatu harus dikembalikan pada pikiran
itu sendiri. Hoover memberikan satu contoh lainnya.
Seorang biksu menggambar empat garis di depan Ma-tsu. Garis yang atas
panjang, dan tiga garis lainnya pendek. Ia kemudian bertanya kepada
Ma-tsu, “Selain menyatakan, bahwa satu garis atas panjang dan tiga garis
lainnya pendek, apalagi yang dapat kamu katakan?” Ma-tsu kemudian
menggambar satu garis di tanah dan berkata, “Ini bisa disebut panjang
atau pendek. Inilah jawabanku.” Sekali lagi, Ma-tsu menegaskan, bahwa
bahasa itu tidak mampu menyampaikan kerumitan kenyataan. Dengan kata
lain, sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, bahasa itu menipu. Namun, ini
bukan berarti, bahwa bahasa sama sekali tidak berguna. Bahasa bisa
merumuskan kalimat yang logis. Akan tetapi, ia juga bisa jadi alat untuk
mematahkan logika dan melampaui akal budi, yakni dengan memasuki ruang
irasionalitas, dan mengajak orang untuk masuk ke dalam pemahaman
intuitif. Di dalam pendidikan Zen, bahasa justru berguna, ketika ia
tidak menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
Ma-tsu hidup di dalam sebuah tradisi Zen dari Cina Selatan. Di dalam
tradisi ini, pencerahan batin adalah proses yang bisa terjadi secara
tiba-tiba, karena sebuah peristiwa yang dialami secara intuitif. Namun,
melampaui para guru Zen sebelumnya, Ma-tsu berhasil menemukan cara untuk
memicu pencerahan batin yang bersifat tiba-tiba ini. Caranya adalah
dengan melalui teriakan dan pukulan ke tubuh untuk mendorong orang
keluar dari delusinya, dan mencapai pencerahan batin. Cara semacam ini
nantinya akan berkembang di tangan murid-murid dari Ma-tsu. Salah
satunya adalah Lin-chi yang akan dibahas di bagian berikutnya. Cara
mengajar semacam ini juga akan berkembang di dalam tradisi Rinzai-Zen
yang masih hidup dan berkembang terus di Jepang, Amerika dan Eropa.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, percakapan sehari-hari juga menjadi
metode mengajar Ma-tsu. Misalnya, seperti dikutip oleh Hoover, seorang
biksu bertanya kepada Ma-tsu, “Apa tujuan dari Bodhidharma (pendiri Zen
di Cina) datang ke dari India? Dan apa prinsip dasar dari Zen?”
Tiba-tiba, Ma-tsu memukulnya, sambil berkata, “Jika saya tidak
memukulmu, semua orang di tempat ini akan menertawakan saya.” Si biksu
mencoba bangun, setelah terjatuh, karena pukulan Ma-tsu. Tiba-tiba, ia
baru saja merasakan kenyataan disini dan saat ini. Ia mengalami
pencerahan batin disitu.
Tidak semua pukulan dimaksudkan untuk mendorong lahirnya pemahaman
intuitif. Tidak semua bentakan akan mendorong pencerahan batin. Ma-tsu
memukul murid-muridnya dan orang-orang yang mengajukan pertanyaan
kepadanya dengan tujuan untuk mengajak mereka mencerap saat ini dan
disini. Ia ingin memecah kecenderungan berpikir logis dan rasional
dengan mengajak mereka memasuki saat “kaget”, yakni saat dimana intuisi
menjalankan perannya. Ada satu pengandaian yang menarik untuk ditelaah
lebih dalam disini, bahwa pencerahan batin, atau menjadi Buddha, yang
merupakan tujuan utama Buddhisme, tidak hanya merupakan pengalaman
batin, tetapi juga pengalaman badan. Maka dari itu, ia pun bisa dicapai
dengan kontak badan, seperti pukulan. Ada satu cerita lainnya, dimana Ma-tsu juga mengalami “kontak badan”.
Suatu waktu, Ma-tsu sedang duduk di kebun. Muridnya mendorong kereta.
Posisi duduk Ma-tsu menghalangi muridnya tersebut. Muridnya meminta
Ma-tsu untuk mengubah posisi duduknya, supaya kereta bisa lewat. Ma-tsu
pun berkata, “Apa yang sudah dibuka tidak bisa ditutup lagi.” Muridnya
menanggapi, “Apa yang sudah didorong maju tidak lagi dapat ditarik ke
belakang.” Ia mendorong terus keretanya, dan menabrak kaki Ma-tsu.
Kakinya pun cedera. Tak berapa lama kemudian, Ma-tsu masuk ke kuil.
Sambil memegang kapak tajam, ia berkata, “Siapa yang tadi melindas kaki
saya silahkan maju ke depan!” Sang murid pun tak ragu untuk menyatakan
dirinya. Ia memberikan lehernya untuk dipotong oleh Ma-tsu. Namun,
Ma-tsu tidak melakukan apapun, dan menurunkan kapaknya. Inilah suasana
hubungan antara Ma-tsu dan murid-muridnya pada tahun 750 di Cina. Ia
juga harus rajin dan cerdas dalam ranah praktis dan ranah spiritual,
supaya bisa menjadi contoh dan kemudian membimbing murid-muridnya.
Zen Buddhisme hendak mengajak orang untuk menata pikirannya yang kerap tak beraturan.
Sumber dari segala penderitaan dan juga kebahagiaan manusia adalah
pikirannya. Jika pikirannya tak beraturan, misalnya tercampur dengan
kenangan menyakitkan dari masa lalu dan harapan yang berlebihan akan
masa depan, maka ia akan menderita. Jika pikirannya tertata, dan berakar
di keadaan disini dan saat ini, maka ia akan menemukan kebahagiaan yang
sesungguhnya. Jadi, kuncinya adalah menata pikiran. Di dalam tradisi
Zen Buddhisme di Cina, pikiran-pikiran tak beraturan manusia kerap
dilihat sebagai seekor banteng. Ia sulit diatur, sehingga bisa merusak
segala yang ada di sekitarnya. Ia bukanlah binatang jahat, hanya sulit
diatur. Dengan cara mengajar dan pandangannya yang unik, Ma-tsu juga
mencoba untuk masuk ke dalam persoalan ini. Suatu waktu, Ma-tsu bertanya
kepada muridnya, “Apa yang kamu lakukan?” Pertanyaan semacam ini tidak
pernah boleh dijawab dengan logika dan rasionalitas biasa, terutama jika
ditanyakan oleh Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Saya sedang menggembala
banteng.” Artinya, ia sedang berusaha menata pikirannya. “Bagaimana kamu
melakukannya?”, tanya Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Kapanpun si banteng
ingin makan rumput, saya memukulnya di hidung, supaya ia kembali tegak.”
Ma-tsu agak kaget mendengar tanggapan tersebut. Ia pun berkata, “Jika
kamu bisa melakukan itu sendiri, maka lebih baik saya pensiun.”
Mengatur pikiran adalah keutamaan yang amat penting di dalam tradisi
Zen Buddhisme. Namun, menata pikiran, yang juga berarti menata
keseluruhan diri, bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya
cara untuk mencapai tujuan lain. Segala aturan di dalam tradisi Zen,
yang memang bertujuan untuk menata pikiran, adalah alat untuk mencapai
tujuan lain, yakni pencerahan batin. Ketika orang mencapai pencerahan
batin, maka pencerahan batin tidak lagi berarti baginya. Bahkan,
pencerahan batin akan tampak seperti lelucon belaka. Konsep dan bahasa
yang digunakan pun juga harus dilihat sebagai alat, dan tidak boleh
dianggap sebagai kebenaran itu sendiri. Suatu waktu Ma-tsu kedatangan
tamu seorang pejabat besar. Sang pejabat berkata, “Guru, haruskah aku
makan daging dan minum anggur?” Ma-tsu tidak memberikan jawaban
langsung. Ia mengajukan sebuah cara berpikir. “Makan dan minum adalah
hakmu sebagai manusia. Tidak makan daging dan minum anggur adalah
kesempatanmu untuk mendapat berkat lebih tinggi.” Dalam konteks ini,
Ma-tsu menjawab dengan bahasa yang singkat. Ia tidak mau memberi kesan,
bahwa bahasa-bahasa yang indah dan rumit akan memberikan pencerahan
batin. Justru sebaliknya, bahasa yang rumit dan indah akan menjauhkan
orang dari pemahaman.
Suatu waktu, seorang biksu mengajukan pertanyaan kepada Ma-tsu. “Apa
artinya, bahwa Bodhidharma datang ke Cina?” Ma-tsu menjawab, “Apa maksud
pertanyaanmu saat ini?” Zen Buddhisme bukanlah soal teori dan abstraksi
atas peristiwa. Ia bukanlah analisis sebab akibat dari suatu peristiwa.
Yang menjadi fokus utama dari Zen adalah dirimu disini dan saat ini.
Pada titik tertentu, diri akan menghilang, dan orang akan sampai pada
pencerahan batin. Hampir setiap hari, Ma-tsu mengajukan pertanyaan pada
murid-muridnya. Ia juga terlibat dalam berbagai interaksi dengan
muridnya yang bertujuan untuk mendorong muridnya mencapai pemahaman
intuitif dan pencerahan batin. Suatu hari, Ma-tsu sedang duduk bersama
tiga orang muridnya. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang sebaiknya kita
lakukan sekarang ini?” Murid pertama menjawab, “Akan sangat baik, jika
membaca tulisan-tulisan orang-orang dari masa lalu yang telah mengalami
pencerahan batin.” Murid kedua menjawab, “Akan lebih baik lagi, jika
kita bermeditasi.” Murid ketiga tidak berkata apa-apa. Ia berdiri,
membersihkan pakaiannya dan meninggalkan ruangan. Bagi Ma-tsu, inilah
jawaban yang “paling tepat”. Sikap ini, bagi Ma-tsu, adalah tanda, bahwa
tindakan nyata, yakni berdiri dan meninggalkan ruangan, lebih berharga
daripada abstraksi dan tindakan religius.
Hoover menegaskan, bahwa dengan metodenya yang unik, Ma-tsu memiliki
139 murid yang telah mengalami pencerahan batin. Mereka akhirnya
menyebar, dan menjadi guru Zen di berbagai biara Buddhis di Cina. Mereka
di kenal sebagai Zen dari Selatan, yakni dari Cina bagian Selatan.
Sepanjang hidupnya, Ma-tsu tidak pernah menulis. Cerita tentang kisah
hidupnya diperoleh dari catatan para muridnya. Konon, seperti dicatat
oleh Hoover, ia meninggal dengan cara yang sama seperti guru-guru Zen
lainnya. Ia meramalkan kematiannya sebulan sebelumnya. Ketika waktunya
tiba, ia mandi, bermeditasi dan meninggal dalam keadaan tenang.
- Lin-chi dan Dialektika Transrasionalitas
Buddhisme mengalami masa-masa berat sekitar tahun 845 di Cina. Banyak aliran-aliran Buddhisme hancur. Namun, Zen, karena terpisah dari politik dan berkembang di kota-kota
kecil, tetap bertahan, bahkan berkembang. Ia menjadi aliran Buddhisme
utama yang berkembang di Cina. Dengan posisi semacam ini, ia semakin
berani mengembangkan ide-ide baru, dan semakin berjarak dari Buddhisme
yang berkembang di India dan Tibet. Pengaruh Bodhidharma,
sang perintis Zen di Cina, dan Ma-tsu, yang mengembangkan metode
mengajar baru di dalam Zen, amatlah kuat. Lin-chi, sebagai seorang guru
Zen, juga berada di dalam garis ajaran Zen yang dikembangkan oleh
Ma-tsu. Ia juga dikenal sebagai pendiri Rinzai Zen yang kini tersebar di
Jepang, Eropa dan Amerika. Sama seperti Ma-tsu, Lin-chi juga
mengembangkan metode dialektis, yakni melalui percakapan timbal balik
antara guru dan murid, guna mendorong terjadinya pencerahan batin. Ia
lahir di propinsi Shantung yang waktu itu dikenal sebagai daerah
Nan-hua.
Sebagai anak muda, ia dikenal amat cerdas dan berperilaku baik. Di
dalam tradisi Cina, dua hal ini adalah sikap-sikap yang diharapkan dari
seorang anak muda. Sejak muda, ia sudah tertarik pada Buddhisme,
walaupun tidak secara khusus pada Zen. Ia mencukur kepalanya dan
kemudian menjadi seorang biksu. Awalnya, ia mempelajari Sutra, yakni
tulisan-tulisan yang dianggap suci di dalam tradisi Buddhisme. Ia juga
menekuni berbagai peraturan tradisional di dalam tradisi Buddhisme.
Namun, pada usia sekitar 28 tahun, ia mulai merasa, bahwa hal-hal yang
ia tekuni tersebut tidaklah cukup. Ia lebih tertarik mendalami
pengetahuan intuitif yang mendorong pada pencerahan batin, seperti yang
menjadi model pendidikan Zen Buddhisme. Ia merasa pengetahuan semacam
ini lebih berharga dari pengetahuan yang berpijak pada tradisi. Ia pun
mulai tergerak untuk mencari seorang guru, guna membimbingnya ke arah
pencerahan batin. Di dalam perjalanan, ia berjumpa dengan Huang-po,
salah satu guru Zen yang berdiri di dalam tradisi Zen aliran Selatan,
seperti Ma-tsu.
Lin-chi sudah menjadi seorang biksu, ketika ia pertama kali berjumpa
dengan Huang-po. Namun, cara berpikirnya sangat tradisional, karena ia
dididik secara intensif di dalam tradisi Buddhisme tradisional. Setelah
hidup di satu biara Buddhisme tradisional selama tiga tahun, Lin-chi
merasa tidak mendapatkan apapun. Ia pun menjalankan saran temannya untuk
berguru pada Huang-po, salah satu murid dari Ma-tsu. Ketika berjumpa
dengan Huang-po, Lin-chi mengajukan pertanyaan, “Apa maksudnya
Bodhidharma datang dari Barat?” Huang-po tidak menjawab, dan malah
memukulnya dengan tongkat. Tentu saja, Lin-chi kaget. Ia segera kembali
menceritakan pengalaman ini pada temannya yang juga seorang biksu.
Temannya menyarankan, supaya ia kembali ke Huang-po. Lin-chi pun
kembali, dan mendapatkan kembali perlakuan yang sama, yakni dipukul
dengan tongkat. Ia merasa amat kecewa, dan memutuskan untuk meninggalkan
biara, dan mencari pencerahan batin di tempat lain. Juga atas saran
Huang-po, guru Zen yang memukulnya dengan tongkat, Lin-chi pergi ke
biara Zen terdekat yang dipimpin oleh Ta-yu.
Pertama kali berjumpa dengan Ta-yu, Lin-chi menceritakan
pengalamannya dipukul dengan tongkat oleh Huang-po. Ta-yu mendengar
dengan sabar. Ia pun berkata, “Huang-po bertindak dengan penuh kasih
kepadamu. Ia hanya ingin melepaskan kamu dari kebingungan.” Lin-chi pun
sadar, bahwa Huang-po sedang berusaha menjelaskan pemahaman intuitif
yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Seperti Ma-tsu, Huang-po
berpendapat, bahwa pemahaman sesungguhnya tentang pencerahan batin
terdapat di dalam intuisi, dan bukan pada rumusan kata-kata. Mendengar
tanggapan dari Ta-yu, Lin-chi kemudian berpikir di dalam benaknya, bahwa
inti dari Zen adalah kekosongan itu sendiri, dan kekosongan itu tidak
pernah dapat diungkapkan dengan kata-kata apapun. Ta-yu kemudian
bertanya, “Apa yang kau pikirkan?” Lin-chi memukul Ta-yu tiga kali.
Tanggapan spontan terhadap peristiwa adalah tanda pencerahan batin,
yakni tanggapan yang tidak lagi berpijak pada pikiran, melainkan pada
intuisi yang bersifat langsung. Ta-yu menanggapi, “Gurumu adalah
Huang-po. Saya tidak ada urusan dengan kamu.” Lin-chi pun kembali ke
biara Huang-po, setelah ia mendapatkan pencerahan batin.
Ketika berjumpa dengan Lin-chi, Huang-po berkata, “Bukankah kamu
kembali terlalu cepat? Kamu baru saja pergi.” Lin-chi pun menceritakan
pengalamannya untuk sampai pada pencerahan batin. Huang-po berkata,
“Ta-yu sungguh bermulut besar! Kalau saya berjumpa dengannya, saya akan
memukulnya dengan tongkat.” Lin-chi menanggapi, “Tunggu, saya bisa
memberikannya sekarang.” Ia pun menampar Huang-po. Setelah itu, hubungan
guru dan murid tersebut dipenuhi dengan pukulan dan teriakan. Semuanya
menjadi alat untuk mengajarkan pemahaman intuitif yang melampaui
kata-kata. Pengalaman Lin-chi adalah pengalaman “pencerahan batin
tiba-tiba”. Biasanya, orang butuh puluhan tahun untuk mengalaminya,
terutama mereka yang dididik di dalam Buddhisme tradisional. Lin-chi
mendapatkannya hanya dengan menyadari pukulan yang ia terima dari
Huang-po sebagai ajakan untuk keluar dari pemahaman rasional, dan
memasuki pemahaman intuitif. Hoover mengutip pernyataan langsung dari
Lin-chi, “Dulu saya membaktikan hidup untuk mempelajari teks-teks suci
Buddhisme. Sekarang, saya membuang semua itu, dan mencari jalan lain,
yakni melakukan meditasi. Kemudian, saya berjumpa dengan guru-guru
hebat… setelah melalui proses yang lama dan displin yang berat, dalam
sekejap, saya mengetahui, siapa diri saya sebenarnya.”
Pencerahan batin yang dialami oleh Lin-chi amatlah tiba-tiba dan
memiliki pengaruh besar pada cara pandangnya pada hidup, seperti
layaknya seorang pecandu yang berhenti dari kecanduannya. Sebagai
akibatnya, ia melakukan kritik tajam pada semua ajaran Buddhisme
tradisional yang dianggapnya menghambat pencerahan batin, termasuk
pemujaan pada para pendiri dan penyebar Zen Buddhisme di Cina. Ia
menghancurkan kepercayaannya yang lama. Hoover mengutip perkataan
Lin-chi, “Para pencari pencerahan batin, jika kamu ingin mendapatkan
pengetahuan yang sejati tentang Dharma, janganlah mengikuti pandangan
yang salah dari orang lain. Apapun yang kamu temukan, baik itu di dalam
maupun di luar, hancurkanlah segera. Ketika melihat Buddha, bunuhlah
dia. Ketika bertemu dengan para pendiri Zen, bunuhlah mereka. Ketika
berjumpa dengan orang suci, bunuhlah dia. Ketika berjumpa dengan orang
tuamu, bunuhlah mereka. Ketika berjumpa dengan teman sebangsamu,
bunuhlah mereka juga. Hanya dengan begitu, kau sampai pada kebebasan.
Dengan tidak terikat pada apapun, kamu bebas melakukan apapun.” Setelah perjumpaan-perjumpaan awal yang mendorong Lin-chi ke arah
pencerahan batin, hubungannya dengan Huang-po pun semakin dekat. Latar
belakang dialognya adalah kehidupan sehari-hari di biara Zen Buddhis,
seperti ketika sedang bercocok tanam, atau sekedar berpapasan di koridor
biara. Hoover menegaskan, bahwa latar belakang percakapan mereka
menunjukkan juga kehidupan yang amat aktif di dalam biara-biara Zen
Buddhisme di Cina pada masa itu. Hoover mengutip salah satu percakapan
Lin-chi dan Huang-po yang paling terkenal. Suatu hari, Huang-po dan
Lin-chi sedang berjalan bersama untuk bekerja di kebun bersama
biksu-biksu yang lain. Huang-po kemudian sadar, bahwa Lin-chi tidak
membawa apapun di tangannya. Ia pun bertanya, “Dimana cangkulmu?”
Lin-chi menjawab, “Ada orang yang mengambilnya.” Mendengar itu, Huang-po
pun berkata, “Mari kesini, kita berdiskusi tentang sesuatu.” Lin-chi
pun mendekat. Kata Huang-po, “Tidak ada orang di dunia ini yang dapat
mengangkat cangkulku.” Lin-chi bereaksi spontan, “Jika itu benar,
mengapa aku dapat mengangkat cangkul ini?” Mendengar itu, Huang-po
menjawab, “Hari ini, sudah banyak yang bekerja. Saya tidak perlu ikut
serta.” Ia pun kembali ke biara.
Cerita ini, seperti banyak Koan lainnya, mengundang banyak tafsiran.
Salah satu tafsiran menyatakan, bahwa cangkul melambangkan otoritas
kepala biara di kuil Huang-po. Dari cerita ini dapatlah disimpulkan,
bahwa Lin-chi kini menjadi kepala biksu yang memimpin biara Huang-po. Di
dalam tradisi Zen Buddhisme, inilah yang disebut sebagai transmisi
tanpa kata, di mana pemahaman intuitif terdalam tentang Zen Buddhisme
tidak disampaikan dengan bahasa yang runut dan logis, melainkan secara
simbolik. Percakapan antara seorang guru Zen tidaklah pernah hanya
sekedar percakapan harafiah. Cangkul tidak dapat dilihat sebagai
cangkul. Ia melambangkan sesuatu yang lain, yang tentunya harus
ditafsirkan secara spontan dan intuitif oleh sang murid. Hoover mengutip
cerita lainnya. Suatu hari, Huang-po mengajak seluruh muridnya untuk
bekerja di kebun teh. Ia datang terlambat. Ketika ia tiba di kebun teh,
Lin-chi menyapanya. Pada saat itu, Lin-chi sedang meletakkan cangkulnya,
dan beristirahat sejenak. Huang-po pun bertanya, “Apakah kamu lelah?”
Lin-chi spontan menjawab, “Saya baru saja bekerja, mengapa kamu bertanya
seperti itu?” Tiba-tiba, Huang-po mengambil tongkat dan memukul
Lin-chi. Lin-chi menanggapi dengan menangkap tongkat itu, dan mendorong
Huang-po, sehingga ia terjatuh ke tanah. Seorang biksu lain membantu
Huang-po berdiri. Si biksu berkata, “Jangan biarkan orang gila itu
menghinamu seperti itu!” Huang-po justru mengambil tongkat, dan memukul
si biksu. Lin-chi terus menggali tanah dengan cangkulnya, sambil
berkata, “Tempat lain boleh menggunakan kremasi untuk membakar mayat.
Disini, saya akan menguburmu hidup-hidup.”
Bagi Hoover, pernyataan Lin-chi tersebut dapatlah dianggap sebagai
penegasan kembali, bahwa ia adalah pimpinan biara berikutnya. Pernyataan
itu juga menegaskan, bahwa diri Lin-chi yang lama, yang masih terikat
pada norma moral dan sopan santun, telah mati. Yang tersisa adalah Diri
yang sejati, yang tercerahkan, dan melampaui semua norma-norma yang
telah ada di dalam masyarakat. Inilah inti pencerahan batin di dalam
tradisi Zen Buddhisme, yakni bahwa orang menjadi dirinya sendiri yang
sejati. Dirinya yang lama sudah mati, walaupun tubuhnya tetap hidup. Ia
pun menjadi Buddha, yakni manusia yang tercerahkan. Sejak saat itu,
Huang-po tidak lagi ragu, bahwa Lin-chi adalah penerusnya di dalam
tradisi Zen, yakni orang yang akan meneruskan tradisi Zen Buddhisme
berikutnya. Di dalam hidup sehari-hari, Lin-chi pun mendapat kemudahan.
Ia seringkali datang terlambat dan pergi lebih cepat di dalam
acara-acara komunitas. Melihat itu, Huang-po hanya diam saja, karena ia
tahu, Lin-chi kini sudah hidup tidak lagi dengan diri yang berada di
dalam norma-norma sosial, tetapi Diri yang sejati. Tidak ada lagi yang
dapat mengaturnya.
Suatu hari, Lin-chi melihat Huang-po yang sedang membaca teks-teks
klasik Buddhisme. Lin-chi pun berkata, “Saya pikir, kamu adalah manusia
sempurna. Namun, ternyata kamu hanyalah biksu tua yang ketinggalan
jaman, yang sedang menelan kacang hitam.” Kacang hitam disni adalah
huruf-huruf Cina yang menjadi bahasa resmi dari teks-teks klasik
Buddhisme di Cina. Tak lama kemudian, Lin-chi menerima simbol pencerahan
dari Huang-po. Ia pun pergi dari biara Huang-po, dan mencari jalannya
sendiri. Kemudian, ia menjadi pimpinan dari sebuah kuil kecil dekat
sungai di propinsi Hopei. Tak lama kemudian terjadi konflik di tempat
tersebut. Ia pun terpaksa harus meninggalkan kuil. Konflik tersebut,
menurut Hoover, terkait dengan penyerangan terhadap kuil-kuil Buddhisme
yang terjadi pada tahun 845. Walaupun menjalani masa-masa sulit, Lin-chi
tetap setia pada jalan hidup Zen-nya. Suatu hari, Lin-chi menghadiri
acara makan bersama. Di pintu gerbang, ia berjumpa dengan seorang
tentara. Lin-chi pun bertanya, “Apakah pilar yang menyangga pintu ini
suci atau tidak?” Si tentara diam saja. Sambil memukul pilar, Lin-chi
berkata, “Walaupun kamu bisa bicara, pilar ini tetap hanya merupakan
kayu biasa.” Ia pun masuk ke dalam.
Dengan dialog ini, menurut saya, Lin-chi hendak mengaburkan perbedaan
antara yang suci dan yang sekular. Baginya, pembedaan semacam itu
adalah hasil dari pikiran dualistik yang melihat kenyataan sebagai
sesuatu yang terdiri dari bagian yang terpisah-pisah. Pencerahan batin
di dalam Zen Buddhisme hendak melampaui semua perbedaan itu, dan melihat
segalanya sebagai satu kesatuan yang utuh.
Setelah diusir dari biara lamanya karena konflik setempat, Lin-chi pun
pindah ke kota sebelah. Disana, ia berkenalan dengan penguasa setempat,
dan memperoleh rumah untuk membangun biaranya sendiri. Bahkan, sang
penguasa setempat menggantung papan nama bertuliskan “Lin-chi” di pintu
gerbang tersebut, supaya Lin-chi merasa betah disana. Namun, juga karena
ketegangan politik setempat, ia harus pindah lagi. Kali ini, ia pindah
ke Selatan, yakni ke Propinsi Ho. Penguasa setempat, yakni Wang, melihat
kebijaksanaan di dalam diri Lin-chi. Hubungan keduanya, menurut Hoover,
menjadi ciri dari Zen Buddhisme di Cina pada masa itu, yakni melepaskan
semua kaitan dengan Buddhisme tradisional. Menurut Hoover, langkah ini
amatlah tepat, mengingat Buddhisme dalam artiannya yang tradisional
mulai ditinggalkan dan bahkan dihancurkan di Cina pada masa-masa itu.
Suatu hari, Wang, penguasa politik di propinsi Ho, mengunjungi
Lin-chi. Ketika berada di pintu gerbang, Wang bertanya, “Apakah para
biksu di biara ini membaca Sutra (teks-teks tradisional Buddhisme)?”
Lin-chi menjawab, “Tidak, mereka tidak membaca Sutra.” Wang kembali
bertanya, “Apakah mereka bermeditasi?” Lin-chi menjawab lagi, “Tidak.
Mereka tidak bermeditasi.” Sambil kebingungan, Wang kembali bertanya,
“Jika mereka tidak membaca Sutra dan bermeditasi, apa yang mereka
lakukan sehari-hari?” “Yang mereka lakukan”, kata Lin-chi, “adalah
menjadi Buddha dan pemimpin Zen yang memiliki pencerahan batin
sepenuhnya.” Dari dialog ini, kita bisa melihat, bagaiman Zen Buddhisme
menunjukkan kemandiriannya dari tradisi Buddhisme yang sebelumnya
berkembang di India dan negara-negara Asia Tengah. Dengan kata lain, Zen
sepenuhnya menjadi milik Cina yang sepenuhnya berakar pada tradisi dan
cara berpikir Cina. Setelah berpisah dengan Wang, Lin-chi kemudian
menetap di kuil Hsing-hua di propinsi Taming. Kuil ini pun menjadi
tempat menetapnya yang terakhir. Pemikiran Zen Lin-chi nantinya juga
ditulis di tempat ini oleh muridnya yang bernama Ts’un-chiang. Inti dari
pemikiran Zen tersebut, menurut Hoover, adalah mencapai pemahaman
intuitif melalui percakapan-percakapan.
Semua itu nantinya dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul The Record of Lin-chi.
Yang perlu diingat pada titik ini adalah, Zen bukanlah pengalaman
mistik yang lepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Pemahaman intuitif
yang merupakan tanda pencerahan batin di dalam tradisi Zen Buddhisme
adalah gabungan antara pemahaman dan penerapan. Ia juga berakar pada
pengalaman manusiawi setiap orang yang penuh dengan emosi dan perubahan.
Semua ini berakar pada pemahaman intuitif, yakni pemahaman yang
bersifat langsung pada hakekat dari kenyataan dan diri sendiri. Tidak
ada konsep dan kata yang digunakan. Yang ada hanyalah kesadaran tanpa
konsep yang membuat orang melampaui semua keadaan yang dialaminya,
termasuk gejolak emosi, karena berbagai peristiwa yang terjadi. Dalam
arti ini, menurut saya, pemahaman intuitif dalam tradisi Zen Buddhisme,
yang juga merupakan pencerahan batin di dalam tradisi Zen yang
dikembangkan Ma-tsu dan Lin-chi, dapat disebut sebagai dialektika
transrasionalitas. Inilah yang menjadi dasar bagi spiritualitas
keagamaan yang baru, yang bisa menyegarkan kehidupan beragama dan
beriman kita sekarang ini. Lin-chi sendiri menyebutnya sebagai pemahaman
tanpa konsep yang mengajak orang keluar dari pikiran sehari-harinya,
dan memasuki pemahaman intuitif.
Seperti Ma-tsu, Lin-chi juga memiliki gaya mengajar yang unik. Ia
terkenal sebagai seorang guru Zen yang suka berteriak. Sama seperti guru
Zen lainnya, Lin-chi berusaha menyampaikan apa yang tidak bisa
disampaikan dengan kata-kata. Oleh karena itu, ia mencoba berbagai cara,
yakni semacam gabungan antara keheningan, percakapan, bentakan dan
pukulan fisik. Dari semua pola ini, ada satu yang sama, yakni niat dan
tindakan untuk mengejutkan orang, sehingga dalam sejenak, ia mampu
keluar dari pikirannya, dan sungguh merasakan keadaan disini dan saat
ini, tanpa konsep dan pemikiran apapun. Yang juga menarik, menurut saya,
Lin-chi bahkan membuat semacam pembagian tentang jenis-jenis teriakan.
Hoover menuliskan percakapan Lin-chi dengan muridnya soal tema ini.
Suatu hari, ia bertanya kepada salah satu muridnya. “Terkadang, teriakan
itu seperti pedang permata dari seorang raja yang bersemangat. Ia keras
dan panjang. Seringkali, teriakan itu seperti singa yang merangkak di
tanah. Ia kuat dan tegas. Seringkali pula, teriakan itu seperti
pancingan ikan. Ia menarik perhatian. Dan seringkali, teriakan berfungsi
tidak seperti teriakan. Bagaimana kamu mengerti ini?” Muridnya bingung
mendengarkan itu. Lin-chi pun kemudian berteriak.
Sejak kecil, kita diajar untuk berpikir dengan melihat sebab dan
akibat. Kita juga diajar untuk berpikir runut dan teratur. Pelajaran
logika dan matematika menjadi amat penting demi mencapai tujuan berpikir
runut dan teratur semacam ini. Namun, di dalam tradisi Zen Buddhisme,
cara berpikir semacam ini haruslah “dipotong”, justru supaya orang bisa
mencapai pencerahan batin. Lin-chi menggunakan teriakan untuk memotong
cara berpikir semacam ini. Pertanyaan yang penting untuk diajukan
adalah, mengapa kita perlu untuk memotong cara berpikir semacam ini?
Pada hemat saya, jawabannya sederhana, karena dunia tidak berjalan
dengan hukum-hukum logis dan rasional, seperti yang kita kira. Hidup
dengan berpikir secara logis dan rasional berarti juga hidup secara
tidak alami, dan apapun yang tidak alami selalu akan merugikan. Bahwa
ada bagian yang rasional dari kehidupan, itu tidak bisa dipungkiri.
Namun, hakekat kehidupan itu sendiri pada intinya adalah kekosongan yang
bersifat paradoksal. Ini hanya dapat dipahami dengan menggunakan
intuisi semata. Pemahaman rasional hanya bisa membawa kita ke pintu
gerbang pemahaman. Sisanya, menurut saya, kita harus melompat dengan
intuisi. Zen Buddhisme, sebagaimana dikembangkan oleh Ma-tsu dan
Lin-chi, pada hemat saya, memberikan metode yang nyaris sempurna untuk
membantu kita “melompat dengan intuisi” tersebut.
Di sisi lain, pukulan dengan tongkat, bagi Lin-chi, juga merupakan
cara yang baik untuk mendorong pencerahan batin. Namun, ini hanya bisa
berhasil, jika dilakukan secara mendadak. Hoover mengutip satu cerita
tentang Lin-chi. Suatu hari, di hadapan umum, Lin-chi berkata, “Orang
yang mencari pencerahan batin tidak boleh takut kehilangan hidupnya.
Ketika dulu saya bertanya kepada Huang-po (gurunya Lin-chi) tentang arti
sesungguhnya dari Buddhisme, ia justru memukul saya tiga kali dengan
tongkat. Pukulan itu amat keras. Saya ingin merasakan pukulan itu lagi.
Siapa yang bisa memberikannya kepada saya?” Seorang biksu maju ke depan
dan berkata, “Saya bisa memberikannya kepadamu.” Lin-chi mengambil
tongkat, dan justru memukul biksu itu secara keras. Ketika teriakan
tidak berhasil mendorong orang mencapai pemahaman intuitif, maka pukulan
dengan tongkat bisa menjadi cara yang lebih baik. Seorang biksu
bertanya kepada Lin-chi, “Apa prinsip utama dari Buddhisme?” Lin-chi
mengambil tongkat. Si biksu kaget, dan kemudian berteriak. Lin-chi pun
memukulnya dengan tongkat. Seorang biksu lain memberanikan diri untuk
mengajukan pertanyaan yang sama. Jawaban Lin-chi tetap sama. Ia
berteriak dan memukul si biksu yang bertanya tersebut.
Ada cerita lainnya tentang Lin-chi. Ia bertanya kepada seorang biksu,
“Darimana kamu berasal?” Si biksu malah berteriak. Lin-chi menyalami
biksu tersebut, dan memintanya untuk duduk. Si biksu tampak ragu. Dalam
keraguan, Lin-chi kemudian memukulnya dengan tongkat. Ketika ini
terjadi, ada biksu lain yang hendak melewati mereka. Sekali lagi,
Lin-chi mengambil tongkat. Si biksu yang hendak lewat tampak tak peduli.
Lin-chi pun memukulnya juga. Sebagai seorang guru Zen, Lin-chi juga
bersikap sama kepada perempuan. Ia melihat tidak ada perbedaan antara
perempuan dan pria dalam soal pencapaian pencerahan batin. Suatu hari,
Lin-chi berjumpa dengan seorang biksuni (biksu perempuan). Ia berkata
kepada si biksuni, “Selamat datang, atau tidak?” Si biksuni berteriak.
Lin-chi menyambung, “Silahkan terus berbicara!” Ia pun mengambil
tongkat, dan memukul si biksuni. Bagi Lin-chi, pencerahan batin lahir
dari pemikiran yang bersifat dialektis. Artinya, ia lahir dari tegangan
dan percakapan yang bersifat ekstrem. Ia tidak lahir dari nalar dan
logika yang bersifat lurus. Dengan tegangan dan percakapan ekstrem,
orang lalu bisa menghasilkan cara berpikir tertentu yang mendorongnya
untuk memasuki pemahaman intuitif, tanpa kata-kata. Pencerahan batin
bukanlah perubahan keadaan di luar manusia. Dunia boleh berubah, namun
orang yang mencapai pencerahan batin akan bisa menjalani hidupnya dengan
ketenangan sempurna. Pencerahan batin adalah bentuk cara berpikir
tertentu yang lahir dari intuisi, yang bersifat transrasionalistik
(melampaui rasionalitas).
Buddhisme sebenaranya, menurut saya, lebih dekat dengan psikologi. Ia
bukanlah agama, dalam arti penyembahan dan kepercayaan pada Tuhan atau
Dewa tertentu. Buddhisme adalah jalan untuk mencapai pencerahan batin
yang berarti juga kesehatan mental sepenuhnya, dimana orang tidak lagi
terombang-ambing emosi dan perasaannya oleh berbagai peristiwa dunia.
Analisis Buddhisme terhadap hakekat dari pikiran manusia dan hubungannya
dengan dunia, pada hemat saya, amat dalam dan luar biasa jenius, bahkan
jauh lebih dalam dan jenius daripada Filsafat Barat dan ilmu
pengetahuan modern, seperti yang kita kenal sekarang ini. Zen Buddhisme
pada khususnya, terutama dari empat master Zen yang saya bahas di dalam
tulisan ini, menekankan berulang kali, bahwa pemahaman terdalam tentang
arti dari kehidupan, yang menjadi dasar untuk pencerahan batin, hanya
dapat dicapai dengan intuisi. Dalam arti ini, kata-kata dan
konsep-konsep logis serta rasional, yang menjadi ciri dari pendidikan
modern sekarang ini, sama sekali tidak berguna. Tidak hanya itu,
kata-kata dan konsep-konsep tersebut justru menjadi penghalang utama
orang untuk sampai pada pencerahan batin. Karena terjebak pada kata dan
konsep, orang tidak lagi dapat menyentuh dunia. Ia pun tetap terjebak
dalam penderitaan.
Apa ciri dari pemahaman intuitif, menurut Lin-chi? Ciri yang paling
terasa adalah sifat paradoksal dan bahkan kontradiktif. Jawaban dan
pertanyaan tidak berada di jalur logika. Pertanyaan terasa seringkali
konyol dan tidak logis, apalagi jawaban yang diberikan. Hoover memberi
satu contoh menarik. Ketika sebuah pertanyaan diajukan, maka sudah
selalu jelas, dalam rangka pemahaman intuitif, bahwa tidak akan ada
jawaban yang bisa diberikan. Dan ketika jawaban diberikan dalam bentuk
kata-kata dan konsep-konsep, maka sudah jelas, pertanyaan yang diajukan
tidak akan pernah terjawab.16
Dalam arti ini dapat ditegaskan, bahwa musuh utama dari pencerahan
batin di dalam tradisi Zen Buddhisme adalah akal budi dan konsep-konsep
rasional. Ini jelas berkebalikan dengan apa yang diajarkan oleh sistem
pendidikan dan ilmu pengetahuan modern, yang amat menekankan logika,
rasionalitas dan kemampuan memahami serta menjelaskan kembali berbagai
konsep-konsep abstrak yang ada. Jika di dalam sistem pendidikan dan ilmu
pengetahuan modern kemampuan memahami dan menjelaskan kembali
argumen-argumen rasional dianggap sebagai keutamaan akademik, maka di
dalam tradisi Zen justru sebaliknya, ini justru merupakan tanda
kesesatan berpikir yang harus dihindari, karena menjauhkan orang dari
pencerahan batin.
Hubungan antara manusia dan dunia juga dibahas secara amat dalam oleh
Lin-chi. Hubungan ini sebenarnya melambangkan hubungan yang lebih dalam
antara subyek dan obyek. Lin-chi mencoba menjelaskan hubungan semacam
ini ke dalam empat kelompok. Dengan pembagian ini, yang tidak boleh
dilihat sebagai pembedaan mutlak, ia mendidik murid-muridnya di dalam
tradisi Zen Buddhisme. Hoover mengutip kuliah Lin-chi tentang tema ini.
Suatu sore, para biksu berkumpul untuk mendengarkan kuliah umum dari
Lin-chi. Ia pun mulai menjelaskan, “Terkadang, saya mengambil orang, dan
tidak mengambil keadaan sekitarnya. Terkadang, saya mengambil keadaan
sekitarnya, dan tidak mengambil orangnya. Terkadang, saya mengambil
orang sekaligus keadaan sekitarnya. Namun, terkadang, saya tidak
mengambil orang ataupun keadaan sekitarnya.” Lin-chi tentu tidak sibuk
menjelaskan pemahaman ini pada murid-muridnya. Namun, saya mencoba
memberikan penafsiran disini.
Pernyataan pertama dari Lin-chi adalah, bahwa ia akan mengambil
orang, namun tidak mengambil keadaan sekitarnya. Artinya, ia akan
mengajak orang keluar dari segala penafsiran dan pikirannya tentang
dunia. Yang tersisa kemudian adalah pengalaman yang murni tentang dunia,
tanpa prasangka dan pandangan-pandangan sebelumnya. Ini sejalan dengan
prinsip dasar fenomenologi di dalam filsafat barat kontemporer, yakni
berusaha melihat dan menjelaskan dunia apa adanya, tanpa penafsiran
apapun. Pernyataan kedua Lin-chi adalah, bahwa ia akan mengambil keadaan
sekitarnya, dan tidak mengambil orangnya. Artinya, ia akan menjelaskan
pada orang, bahwa apa yang ia lihat tidak bisa lepas dari pikiran dan
penafsiran yang ia punya. Dengan kata lain, pikiran orang itu memberi
kerangka pada apa yang ada di depan matanya, sehingga bisa menghasilkan
pengetahuan. Ini sejalan dengan epistemologi Kantian yang menjelaskan
peran manusia di dalam menghasilkan pengetahuan atas dunia. Tidak ada
yang obyektif, karena pikiran manusia ikut serta dalam proses pemahaman
dan penciptaan pengetahuan. Ketika kita melihat gunung, kita tidak
sungguh melihat gunung, karena pikiran kita juga membantu menciptakan
pengetahuan tentang gunung. Jadi, gunung bukanlah sesuatu yang obyektif.
Gunung bukanlah gunung obyektif, melainkan gunung yang sekaligus
obyektif dan subyektif.
Dari dua proses ini, Lin-chi hendak mengajak orang melampaui
perbedaan antara aku dan dunia, antara subyek dan obyek. Tidak ada
perbedaan. Subyek dipenuhi ilusi akan subyektivitas. Dan obyek, yakni
benda-benda di dunia, dipenuhi ilusi akan obyektivitas. Keduanya
melahirkan kesesatan berpikir. Keduanya harus dilampaui. Inilah inti
dari pernyataan Lin-chi yang ketiga, bahwa ia akan menarik orang keluar
sekaligus mengambil keadaan sekitarnya. Inilah yang disebut sebagai
pembebasan batin, yakni ketika orang lepas dari perbedaan antara subyek
dan obyek, dan berbagai pembedaan-pembedaan lainnya di dunia. Pemahaman
rasional dan logis atas dunia akan melahirkan perbedaan-perbedaan. Dari
perbedaan-perbedaan semacam ini lahirlah ketegangan dan konflik.
Sebaliknya, pemahaman intuitif akan dunia melahirkan kesadaran akan
kesatuan dari segala sesuatu. Segala perbedaan dilampaui. Tidak ada
alasan untuk tegang dan konflik. Namun, pemahaman intuitif tidak bisa
diajarkan sebagai suatu teori atau rumusan baku, seperti yang biasa
dilakukan di sistem pendidikan modern. Orang harus keluar secara
tiba-tiba dari pemahaman rasional. Lin-chi sadar betul akan ini. Maka,
ia pun memilih berteriak dan memukul murid-muridnya untuk keluar dari
pemahaman rasional, dan memasuki pemahaman intuitif.
Ketika orang dipukul atau dibentak dengan keras secara tiba-tiba,
orang akan kaget. Secara sekejap, ia akan sadar, tidak ada perbedaan di
dalam dunia. Tidak ada yang bisa dipegang erat-erat dengan konsep dan
kata-kata. Dalam sekejap mata, pikiran hilang. Kesadaran hilang. Yang
ada hanya keadaan disini dan saat ini. Inilah intuisi. Jika orang bisa
sampai pada keadaan ini, maka ia sudah sampai pada pencerahan batin.
Keadaan intuitif ini juga menjadi ciri dari pernyataan keempat dari
Lin-chi, yakni ketika dunia dilihat sebagai satu kesatuan, tanpa
pembedaan. Dalam keadaan ini, orang memahami dunia tidak lagi dengan
konsep dan kata, melainkan dengan intuisi. Pemahamannya bersifat
langsung dan murni, tanpa perantara dan prasangka apapun. Dunia adalah
dunia. Ia tidak baik. Ia tidak buruk. Ia hanya ada, satu dan utuh.
Hoover mengutip salah satu Koan untuk menjelaskan hal ini.
Sebelum mengalami pencerahan batin, gunung dan sungai dilihat sebagai
sesuatu yang obyektif. Mereka adalah gunung dan sungai, titik. Ketika
sedang mendalami Zen, gunung dan sungai tidak lagi dilihat sebagai
obyektif, karena orang sadar, bahwa pikirannya mencampuri pemahamannya.
Namun, setelah mengalami pencerahan batin, gunung dan sungai kembali
menjadi gunung dan sungai, namun kini semuanya adalah satu kesatuan yang
tak terpisahkan. Bahkan, kita yang melihat gunung dan sungai juga
merupakan satu kesatuan utuh dengan gunung dan sungai tersebut.
Lin-chi juga merumuskan pandangannya soal hubungan antara guru dan
murid. Hubungan ini juga berlaku dalam konteks hubungan antara tuan
rumah dan tamunya. Pada tingkat yang lebih dalam, orang juga bisa
berdialog dengan dirinya sendiri dengan menggunakan pola ini, yakni
hubungan antara Aku (hakekat manusia: Buddha) dan aku (jati diri hasil
dari hubungan-hubungan sosial di dalam keluarga dan masyarakat).
Hubungan yang ketiga ini memainkan peranan penting di dalam pencerahan
batin. Hoover mengutip penjelasan Lin-chi. “Seorang murid berteriak.
Kemudian, ia memegang asbak. Sang guru melihat hal ini bukanlah kejadian
nyata. Ia pun bermain-main, dan berusaha merebut asbak tersebut dari
tangan muridnya. Muridnya kembali berteriak. Namun, sang guru diam saja,
dan tetap berusaha merebut asbak. Pola ini disebut juga sebagai pola
guru yang memeriksa muridnya.” Inilah pola pertama di dalam penjelasan
Lin-chi. Pola kedua memiliki ciri yang berbeda. “Seorang guru diam saja,
ketika berhadapan dengan muridnya. Namun, ketika si murid mulai
bertanya, sang guru memotongnya. Si murid tak mau menyerah. Namun, sang
guru tetap tak memberi kesempatan. Ini disebut hubungan guru yang
memeriksa muridnya.” Pola kedua ini bisa juga disebut suatu keadaan,
dimana tuan rumah memeriksa tamunya.
Lin-chi melanjutkan, “Ada saatnya, ketika seorang murid datang kepada
gurunya, dan tidak berkata apapun. Sang guru melihat tanda pencerahan
batin di dalam diri muridnya. Si murid merasa puas, dan memuji sang
Guru. Namun, sang guru hanya menegaskan, bahwa si murid ternyata hanya
berpura-pura, dan bahwa ia tidak mengerti soal pencerahan batin.”
Keadaan ini disebut Lin-chi sebagai hubungan antara tuan rumah dengan
dirinya sendiri. “Ada saat lainnya, ketika si murid datang kepada
gurunya. Tubuh si murid dirantai. Sang guru tidak bereaksi, ia justru
mengencangkan rantai muridnya. Si murid pun merasa senang, sehingga ia
tidak mampu berkata apapun.” Bagi Lin-chi, pola ini adalah keadaan,
dimana tamu (atau murid) memeriksa dirinya sendiri. Empat pola hubungan
antara guru dan murid ini tentu harus ditafsirkan lebih jauh. Menurut
Hoover, pola pertama menandakan hubungan antara Aku-Buddha dan
aku-sosial, yakni ketika Aku-Buddha mencoba memahami aku-sosial.
Aku-Buddha disini dipahami sebagai jati diri sejati manusia yang
bersifat murni dan tercerahkan. Orang yang bisa kembali menyadari jati
diri sejatinya ini akan mengalami pencerahan batin. Sementara,
aku-sosial adalah jati diri pribadi yang dibentuk oleh hubungan dengan
lingkungan sosial, mulai dari keluarga sampai dengan lingkungan
internasional. Di dalam tradisi Zen Buddhisme, aku-sosial ini bersifat
sementara dan harus dilampaui, supaya orang sampai pada pencerahan
batin.
Pola kedua yang dirumuskan Lin-chi adalah saat, dimana aku-sosial
hendak mencoba memahami Aku-Buddha. Pola hubungan ketiga adalah, ketika
Aku-Buddha mencoba berjumpa secara langsung dengan Aku-Buddha yang lain.
Dan pola keempat adalah, ketika aku-sosial berjumpa dengan aku-sosial
yang lain. Hoover menafsirkan penjelasan ini dalam keadaan yang lebih
nyata. Pola pertama adalah perjumpaan antara guru yang tercerahkan dan
murid yang masih terjebak pada kesesatan berpikir. Pola kedua adalah
perjumpaan antara murid yang telah tercerahkan batinnya dengan seorang
guru yang masih hidup dengan kesesatan berpikir. Pola ketiga adalah
perjumpaan antara guru dan murid yang telah sama-sama tercerahkan
batinnya. Dan pola keempat adalah perjumpaan antara guru dan murid yang
sama-sama masih hidup dalam kesesatan berpikir. Dengan model berpikir
semacam ini dan cara mengajar yang sangat unik, Lin-chi dan Ma-tsu dapat
dilihat sebagai Master Zen terbesar di dalam tradisi Zen Buddhisme yang
berkembang di Cina dan kemudian Jepang.
Ma-tsu dan Lin-chi mampu berpikir sekaligus dalam dua tingkat, yakni
dialektik sekaligus praktis. Dialektik berarti ia mampu membangun
pemahaman intuitif melalui hubungan langsung dengan manusia lain,
biasanya dalam bentuk percakapan. Praktis berarti ia mampu mendorong
orang pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin melalui hubungannya
dengan orang lain. Keduanya yakin, bahwa orang harus bebas sepenuhnya
dari pikiran, pertimbangan, motivasi dan keinginan, supaya ia sampai
pada keadaan alamiahnya, yakni Aku-Buddha itu sendiri. Keadaan ini hanya
dapat dicapai dan dipahami secara intuitif, tanpa konsep, bahasa dan
rumusan-rumusan filosofis. Kita sudah melihat, betapa uniknya cara
mengajar Ma-tsu dan Lin-chi untuk mendorong orang pada pencerahan batin.
Hoover menyebut metode ini sebagai metode petir, persis karena ia
bersifat cepat dan tak terduga. Dorongan pada pemahaman intuitif memang
harus jauh dari segala ukuran logika dan rasional yang pelan dan dapat
ditebak. Ma-tsu dan Lin-chi juga tidak mengenal kompromi. Semua orang
diperlakukan sama, baik itu perempuan atau pria, pejabat pemerintahan
atau warga biasa. Sikap-sikap semacam ini amatlah dibutuhkan, karena Zen
Buddhisme pada waktu itu sungguh menjadi “mode” yang diikuti banyak
orang. Banyak pula kebingungan yang tercipta, terutama dalam sungguh
mengetahui, yang mana sungguh merupakan Zen dan yang mana yang hanya
mode belaka.
Ma-tsu dan Lin-chi menantang Buddhisme tradisional yang berkembang
sebelumnya. Mereka menggunakan metode-metode baru untuk mendorong orang
masuk dalam pencerahan batin, yakni mampu secara intuitif memahami
hakekat dari dirinya sendiri dan hakekat dari dunia sebagai keseluruhan.
Namun, mereka juga amat kritis pada orang-orang yang hidup di dalam
tradisi Zen. Lin-chi, misalnya, amat kritis pada orang-orang yang
berusaha mengikuti metode mengajarnya. Suatu hari, Lin-chi berkata
kepada orang-orang yang mengikuti metode mengajarnya. “Kalian semua
mengikuti cara saya berteriak. Namun, saya ingin mengajukan tes
sekarang. Satu orang berjalan dari pintu timur. Lalu, orang lainnya
berjalan dari pintu barat. Keduanya lalu berteriak secara bersamaan.
Bisakah kamu mengetahui, mana tamu dan mana tuan rumah? Jika tidak, maka
kamu tidak punya hak untuk meniru teriakan saya!” Kata tamu dan tuan
rumah bisa juga ditafsirkan sebagai hubungan antara orang yang belum
mengalami pencerahan batin, dan orang yang sudah mengalaminya. Lalu,
apakah Lin-chi menjadi sepenuhnya orang yang irasional, mirip orang
gila? Untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti ditegaskan oleh Hoover,
Lin-chi mampu menjelaskan pemikirannya menggunakan nalar dan logika.
Namun, dalam konteks pendidikan Zen menuju pencerahan batin, nalar dan
logika, bagi Lin-chi, justru menjadi penghambat utama.
Lin-chi juga menjelaskan lebih jauh, bahwa pencerahan batin, yang
menjadi arah utama di dalam Zen Buddhisme, berarti menjadi alamiah
sepenuhnya, tanpa usaha manusiawi apapun. Artinya, ketika harus buang
air kecil, lakukan itu dengan sepenuh hati. Ketika harus memasak,
lakukan itu dengan sepenuh hati. Ketika lelah, maka tidur. Menjadi
Buddha, menurut Lin-chi, berarti menjadi sejalan dengan alam sepenuhnya,
tanpa pikiran dan pertimbangan apapun. Ketika pikiran dan pertimbangan
masuk, maka spontanitas hilang, dan pencerahan batin pun juga hilang.
Pencerahan batin selalu ada di depan mata kita. Kesesatan berpikir kita
yang menghalanginya. Dalam hal ini, Lin-chi juga banyak melakukan kritik
terhadap para master Zen pada jamannya. Mereka menjelaskan teori-teori
konseptual, tetapi tidak membiarkan murid-muridnya menemukan
kebenarannya sendiri secara intuitif. Guru semacam ini, menurut Lin-chi,
tidak layak disebut guru, karena ia tidak bisa membedakan antara
praksis Zen yang sejati, dan yang hanya merupakan mode semata. Di masa
tuanya, banyak orang berguru pada Lin-chi, tidak hanya para biksu,
tetapi juga para guru Zen di masanya. Lin-chi seolah menjadi tolok ukur
bagi kesejatian seorang guru Zen.
Biara Zen Buddhis yang didirikan oleh Lin-chi terus berkembang. Ia
menjadi tempat utama bagi orang-orang yang mencari pencerahan batin di
dalam tradisi Zen Buddhisme, terutama di daerah Cina bagian Selatan.
Nantinya, ajaran-ajaran Lin-chi juga berkembang pesat di Jepang, bahkan
sampai sekarang ini, dalam bentuk Rinzai Zen. Ia seolah menjadi “agama
negara” di Jepang nantinya yang diyakini tidak hanya oleh para biksu,
tetapi juga rakyat biasa (petani dan pedagang) sampai para Samurai,
yakni prajurit yang juga sekaligus memegang kekuasaan politik. Gaya
dialektik dari Lin-chi, yang juga berkembang dari gaya mengajar Ma-tsu,
nantinya menjadi dasar filosofis bagi filsafat pendidikan Zen Buddhisme.
Dialektika, dalam arti percakapan timbal balik antar dua orang, menjadi
sarana untuk mendorong pemahaman intuitif yang mengantar orang pada
pencerahan batin. Dialektika menjadi semacam metode untuk sampai pada
pencerahan batin. Jika masih hidup, Lin-chi sendiri pasti akan menentang
hal ini. Baginya, cara berpikir yang sistematik, rasional dan logis
justru menjadi penghalang bagi pencerahan batin. Yang harus diraih
adalah pengalaman murni atas kenyataan itu sendiri yang bersifat
langsung dan intuitif. Sekitar tahun 866 dan 867, Lin-chi meninggal, ketika sedang bermeditasi.
- Ikkyu dan Zen Revolusioner
Buddhisme sudah menyebar ke Jepang sejak tahun 552. Yang tersebar
terutama adalah Buddhisme tradisional yang menekankan pemahaman atas
teks-teks suci di dalam Buddhisme. Zen Buddhisme sendiri baru nanti
masuk ke Jepang. Di Jepang, pada awalnya, Zen Buddhisme masuk untuk
mengembalikan Buddhisme Jepang ke inti dari Buddhisme itu sendiri, yakni
mencapai pencerahan batin. Dengan kata lain, Zen Buddhisme hendak
mengembalikan semangat awal Buddhisme yang sempat hilang tertelan oleh
tradisi dan ritual. Pada awalnya yang berkembang adalah Rinzai Zen. Ia
juga mendapatkan tempat yang kokoh di dalam politik, yakni di kalangan
Samurai yang tinggal di Kamakura. Ada aliran lain yang nantinya juga
berkembang di Jepang, yakni Soto Zen. Pelopornya adalah Master Zen yang
bernama Dogen. Intinya adalah meditasi duduk yang dilakukan secara
intensif, tanpa pikiran. Soto Zen dapat dilihat sebagai gerakan untuk
memurnikan kembali Buddhisme, yakni melepaskannya dari budaya India dan
Asia Tengah, lalu kembali ke inti dari Buddhisme itu sendiri melalui
meditasi yang intensif. Awalnya, Dogen tidak mau mendirikan “aliran”
baru di Jepang. Ia hanya mau menekankan satu proses, yakni meditasi,
yang telah lama terlupakan di dalam Buddhisme Jepang. Namun, gerakan ini
akhirnya berkembang, dan menjadi bagian yang cukup besar di dalam
Buddhisme di Jepang.
Dengan berjalannya waktu, Zen Buddhisme lalu berkembang dan menjadi
kekuatan politik yang besar di Jepang. Samurai pemimpin Jepang, Hojo
Tokiyori (1227-1263), menjadi pendukung perkembangan Zen Buddhisme yang
kuat di Jepang. Dengan perkembangan ini, banyak guru-guru Zen dari Cina
datang ke Jepang untuk menyebarkan Zen Buddhis disana. Hubungan dengan
politik membuat Zen Buddhisme di Jepang juga kehilangan akar
spiritualnya. Pada satu titik, menurut Hoover, Zen di Jepang hanya
tinggal nama saja, karena ia telah digunakan sepenuhnya untuk
membenarkan berbagai kepentingan politik dan militer Jepang, terutama
dalam menghadapi serangan pasukan Mongol. Zen juga mempengaruhi
perkembangan dunia seni di Jepang. Kaitan antara Zen dan politik serta
seni membuat Zen kehilangan jati diri sejatinya, yakni upaya untuk
mencapai pencerahan batin melalui intuisi akan kekosongan dari
kenyataan. Ia berubah menjadi agama kaum penguasa yang dekat dengan uang
dan nama besar. Jelas, pada titik ini, yakni sekitar abad 14, Zen
Buddhisme di Jepang membutuhkan perubahan dari dalam. Tokoh yang
berperan besar disini adalah Ikkyu Sojun (1394-1481).
Bagi Hoover, hadirnya Ikkyu di panggung Zen Jepang seperti kelahiran
kembali para master Zen dari Cina Selatan di masa lalu, seperti Ma-tsu
dan Lin-chi, yang dibahas di bagian sebelumnya. Ia seolah menjadi simbol
dari semangat Zen yang sejati, yang siap menantang otoritas Zen di
Jepang yang telah dilumuri oleh kepentingan politik dan militer. Yang
menarik adalah, Ikkyu bukanlah “biksu Zen” dalam artinya yang
tradisional, melainkan seorang master Zen yang suka minum anggur dan
memikat perempuan. Cerita tentang kehidupan dan ajaran Ikkyu diperoleh
dari sumber-sumber yang ditulis oleh muridnya. Di dalam sumber-sumber
ini, Ikkyu digambarkan sebagai pribadi yang “tidak peduli pada dunia”.
Ia tidak peduli pada tradisi, sehingga perannya amat cocok untuk
membongkar Zen Buddhisme Jepang yang telah mengental menjadi kekuatan
politik dan militer. Di sisi lain, Ikkyu juga menjadikan Zen sebagai
dasar untuk puisi dan kaligrafinya. Sampai sekarang, ia dianggap sebagai
salah seorang Master Zen dan seniman Jepang terbesar di dalam sejarah
Jepang. Kekuatan utama dari puisi dan karya kaligrafinya adalah
spontanitasnya yang datang dari intuisi, dan bukan dari perhitungan
maupun pertimbangan rasional lainnya. Dua hal ini, yakni spontanitas dan
intuisi, juga merupakan hasil dari pemikiran Zen Ikkyu yang menjauh
dari tradisi Zen Buddhis di Jepang pada masanya.
Ibu Ikkyu adalah seorang perempuan yang tinggal di istana kekaisaran
Jepang. Ia adalah salah satu perempuan yang bertugas melayani sang
kaisar. Ketika ia mengandung, sang ratu, yang merupakan istri resmi dari
kaisar, mengusirnya. Ikkyu lalu lahir pada 1394. Ia adalah anak dari
kaisar Jepang bersama salah satu pelayan perempuannya. Pada usianya yang
kelima, ibunya mendorong Ikkyu untuk masuk biara Zen. Hoover
berpendapat, bahwa langkah ini dilakukan demi menjaga keselamatan nyawa
Ikkyu sendiri yang merupakan pewaris tidak resmi dari tahta kekaisaran
Jepang. Di biara, ia belajar segala hal terkait dengan Buddhisme. Pada
usia 11, ia menulis puisinya yang bertama yang berjudul “Keindahan Musim
Semi”. Begini isinya,
“Berapa banyak hasrat yang menggantung di lengan baju seorang
petualang? Begitu banyak daun bertumbuh menandakan hasrat dari surga dan
dunia. Angin dingin yang wangi melewati bantalku. Apakah saya tidur
atau terbangun? Disini dan saat ini melebur menjadi mimpi dari Musim
Semi.”
Di dalam puisi digambarkan, bagaimana Ikkyu baru kembali, setelah ia
berjalan-jalan di tengah musim semi di Jepang. Ia mencium bau harum dari
daun-daun yang bertumbuhan yang juga menempel di bajunya. Wewangian ini
membuat ia bingung, apakah ia sedang bermimpi, atau tidak. Dari puisi
ini, menurut saya, Ikkyu sudah sejak muda menunjukkan intuisi yang
mendalam akan salah satu ajaran dasar dari Zen, bahwa kenyataan dan
dunia hanyalah ilusi dari pikiran manusia.
Pada usia ke 18, Ikkyu menjadi salah satu biksu di salah satu biara
Zen di Kyoto. Namun, gurunya di biara tersebut meninggal. Ikkyu sempat
mengalami saat-saat sulit setelah itu, dan bahkan sempat berpikir untuk
bunuh diri. Pada usia 22, Ikkyu berjumpa dengan Kaso Soton, seorang
master Zen. Pada masa itu, Soton dikenal sebagai salah satu guru Zen
yang paling keras dalam mengajar di Jepang. Pada awalnya, Soton menolak
menerima Ikkyu sebagai murid. Seperti dicatat Hoover, adalah sebuah
tradisi di dalam Zen, bahwa seorang guru tidak langsung menerima seorang
biksu sebagai muridnya. Sang murid harus menunjukkan terlebih dahulu
kesungguhan niatnya. Itulah yang dilakukan oleh Ikkyu. Ia tidak bergerak
dari pintu gerbang biara selama berhari-hari. Ia hanya makan rumput
yang ada di halaman depan biara tersebut. Di malam hari, ia tidur di
dalam perahu kecil di sungai dekat biara. Di siang hari, ia hanya
berdiri menunggu Kaso. Beberapa kali, bahkan Kaso menyiramnya dengan
air, dan mengusirnya secara kasar. Setelah beberapa saat, Kaso akhirnya
menerima Ikkyu sebagai muridnya.
Ikkyu tinggal bersama Kaso selama kurang lebih sepuluh tahun. Semua
orang tahu, bahwa menjadi murid Zen dari Kaso amatlah sulit. Namun,
Ikkyu tetap tinggal bersamanya, dan berusaha mendalami Zen dari Kaso,
salah seorang Master Zen yang paling berpengaruh di jamannya. Mereka
tinggal di biara dekat dengan danau. Setiap pagi, Ikkyu bangun lebih
awal, dan bermeditasi di perahu nelayan di atas danau tersebut. Untuk
mencukup kebutuhan hidupnya, Ikkyu membeli barang murah dan menjualnya
kembali. Seringkali, ia menukar barang dagangannya dengan barang-barang
kebutuhan sehari-hari. Nama “Ikyyu” pun merupakan pemberian dari Kaso.
Ini adalah pengakuan Kaso atas kemajuan kehidupan Zen Ikkyu itu sendiri.
Ketika ia berumur 26 tahun, ia bermeditasi di atas perahu. Pada saat
itu, ia kaget, karena mendengar suara buruk gagak. Ia lalu segera
kembali untuk menceritakan pengalamannya tersebut kepada Kaso. Ketika
mendengar cerita dari Ikkyu, Kaso berkata, “Kamu sudah mencapai tingkat
Arhat, yakni orang yang telah melampaui ego pribadinya. Namun, kamu
belum menjadi seorang Master Zen.” Ikkyu lalu menjawab, “Oh, kalau
begitu, saya sudah merasa cukup bahagia menjadi Arhat. Saya tidak perlu
menjadi seorang Master Zen.” Mendengar ini, Kaso lalu menanggapi, “Oh,
kalau begitu, ternyata kamu memang seorang Master Zen!”
Salah satu tradisi Zen di Jepang adalah pemberian pengakuan dari
seorang guru kepada muridnya, bahwa ia telah mencapai pencerahan batin,
atau Satori, dalam bahasa Jepang. Pengakuan itu terwujud di
dalam sertifikat resmi yang diberikan dari guru kepada muridnya. Dengan
sertifikat ini, sang murid bisa mengajar Zen, dan bahkan mendirikan
biara sendiri. Sebagaimana dicatat Hoover, ini juga terjadi pada Ikkyu.
Namun, ia menolak sertifikat itu, dan bahkan membakarnya. Sejak saat
ini, Ikkyu seolah banting stir, dan mengubah sama sekali cara hidupnya.
Ia tetap menghayati Zen, tetapi dengan cara yang amat bertentangan
dengan tradisi Zen Jepang yang sudah berkembang lama di masa hidupnya.
Ia pun menjadi seorang biksu yang berkelana, sejalan dengan tradisi Zen
di Cina di masa dinasti Tang. Dengan cara hidup semacam ini, Ikkyu
menginjak dua dunia. Di satu sisi, ia adalah seorang biksu Zen. Ia
banyak menghabiskan waktu di kuil Zen untuk bermeditasi. Di sisi lain,
ia juga hidup di dunia, seperti layaknya orang biasa, yakni pergi ke
kedai anggur untuk minum anggur, dan beberapa kali mengunjungi rumah
pelacuran. Dengan cara ini, Ikkyu memiliki teman di berbagai kalangan,
mulai dari kalangan bangsawan sampai pedagang biasa, baik perempuan
maupun laki-laki.
Cara hidup semacam ini memberikan banyak inspirasi untuk karya-karya
seninya, terutama untuk puisi. Sambil berkarya dan berkeliling ke
berbagai tempat, Ikkyu juga melakukan kritik keras pada tradisi Zen
Jepang pada masa itu yang, menurutnya, sudah kehilangan akar dari
semangat asli Zen itu sendiri. Sewaktu ia berumur 47 tahun, Ikkyu
menerima undangan untuk menjadi kepala biara dari salah satu biara Zen
besar di Kyoto. Ia menerima undangan itu. Setelah sepuluh tahun bekerja
disana, ia lalu mengundurkan diri. Ia melihat, bahwa Zen telah
dipersempit semata menjadi upacara ritual belaka, tanpa semangat untuk
mendorong orang pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin. Ia
mengekspresikan kritiknya tersebut di dalam berbagai puisi yang
ditulisnya. Baginya, Zen yang sejati justru dapat ditemukan pada
kecintaan pada daging, anggur dan seks, yakni tiga hal yang justru
dilarang oleh Buddhisme tradisional. Cuplikan puisi ini kiranya bisa
menggambarkan maksud dari Ikkyu. “Selama sepuluh hari di kuil ini,
pikiranku kacau, kakiku terikat oleh tali merah yang tanpa batas. Jika
suatu hari kamu ada disini dan mencari saya, coba di toko ikan, toko
anggur atau di rumah pelacuran.” Ikkyu juga melakukan kritik keras terhadap komersialisasi Zen, yakni
penggunaan ajaran Zen untuk mencari uang. Bahkan, pada satu titik, orang
bisa membeli sertifikat “Pencerahan Batin” dengan harga tertentu dari
seorang master Zen. Ini dilakukan terutama oleh biara-biara Zen yang
memiliki kedekatan dengan penguasa politik di Jepang pada masa itu.
Biara-biara tertentu juga mengeruk banyak keuntungan dari produksi sake
dan dari transaksi suap menyuap antara penguasa politik dan para
petinggi Zen. Semua tindakan ini membuat Ikkyu semakin tajam mengritik
Zen tradisional yang berkembang pada masa hidupnya. Di sisi lain, Ikkyu
melakukan kritik keras terhadap karya-karya seni yang menyatakan Zen
sebagai dasar inspirasinya. Yang menjadi sasaran kritiknya adalah
penggunaan Zen untuk menghasilkan karya seni. Bagi Ikkyu, seni merupakan
ekspresi dari Zen. Zen sendiri adalah tujuan pada dirinya sendiri. Ia
tidak boleh dilihat sebagai alat untuk tujuan lain di luar dirinya. Para
seniman di Jepang pada masa itu melihat Zen sebagai alat untuk
menghasilkan karya seni indah, dan membuat mereka terkenal.
Praktek-praktek semacam inilah yang dikritik oleh Ikkyu.
Ikkyu juga konon menulis salah satu Koan yang paling terkenal. Isinya
tentang seorang perempuan tua yang telah merawat seorang pertapa selama
20 tahun. Selama itu, si perempuan menjamin, bahwa sang pertapa
mendapatkan semua kebutuhannya, sehingga ia bisa mencapai pencerahan
batin. Suatu hari, si perempuan tua meminta seorang gadis untuk menggoda
sang pertapa tersebut. Sang pertapa menolak perempuan itu dengan kasar.
Mendengar ini, si perempuan tua pergi menuju ke rumah sang pertapa itu,
dan mengusirnya. Sambil itu, si perempuan tua berkata, “Dua puluh tahun
saya menghidupi pertapa palsu!” Ikkyu juga menulis puisi tentang ini.
“Ibu yang tua ini mencoba memberikan sebuah tangga pada si palsu. Ia
bahkan memberikan seorang pengantin cantik pada si biksu itu. Jika malam
ini saya mendapatkan tawaran semacam itu, musim semi akan tiba.” Di
lain kesempatan, Ikkyu menulis puisi dengan tema bau wangi tubuh
perempuan. “Orang harus memandang bukit yang tinggi dan kemudian
menaikinya. Tengah malam di tempat tidur permata di tengah mimpi musim
gugur. Setangkai bunga membuka dirinya di dekat pohon plum. Bergerak
perlahan di paha para peri.” Ikkyu mengawinkan pemahaman intuitif dan
pencerahan batin di dalam tradisi Zen dengan sensualitas kenikmatan
inderawi manusia. Inilah yang membuatnya dijuluki sebagai seorang Zen
revolusioner.
Dengan cara hidup semacam ini, Ikkyu dicurigai memiliki anak di luar
nikah. Bahkan, sebagaimana dicatat oleh Hoover, Jotei, salah seorang
biksu yang amat setia mengikuti Ikkyu, dicurigai sebagai anak kandung
dari Ikkyu itu sendiri. Cerita di balik ini layak untuk dicermati.
Seorang pengusaha di kota Sakai mulai menurun bisnisnya. Ikkyu
mengetahui hal ini. Ia pun datang ke tempatnya, dan mulai menulis karya
kaligrafinya disana. Tentu saja, banyak orang datang dan membeli
karya-karya Ikkyu tersebut. Semua uang yang ia terima diberikan kepada
pengusaha tersebut. Akhirnya, bisnisnya pun terselamatkan. Sebagai rasa
terima kasih, si pengusaha meminta Ikkyu menikahi anak perempuannya.
Dari sinilah Jotei kemudian lahir. Tentu saja sulit untuk menyatakan,
apakah cerita ini merupakan kejadian nyata atau hanya sekedar cerita
bohong belaka. Namun, dari cerita ini, kita bisa mengetahui cara hidup
Ikkyu, dan reputasinya di mata orang banyak. Yang menjadi fokus dari
Ikkyu bukanlah seks itu sendiri, tetapi keindahan yang tertanam di dalam
setiap segi-segi kehidupan. Setiap hal di dalam hidup ini memiliki
keindahannya masing-masing. Penghayatan Zen dan pencerahan batin berarti
juga kemampuan untuk melihat segala keindahan tersebut. Tentang ini,
Ikkyu pernah menulis sebuah puisi. “Melihat anak perempuan berumur empat
tahun ini menyanyi dan menari, aku merasakan tarikan rasa yang sulit
untuk diingkari. Dan melupakan semua tugas, aku bergerak menuju
kebebasan. Hai guru Zen, Zen jenis apakah ini?”
Ketika Ikkyu berusia 70 tahun, Jepang sedang mengalami perang
saudara. Keadaan politik amat kacau. Namun, di tengah situasi kacau
tersebut, ia tetap bisa menghargai setiap keindahan yang ada di dalam
kehidupan. Ini tercermin dari puisinya yang ditulis pada masa-masa itu
tentang seorang gadis berumur 45 tahun bernama Mori. Mereka sering
bersama untuk bermain dan mendengarkan musik. Dari hubungan ini lahirlah
puisi berikut: “Bagaimana tanganku seperti tangan Mori? Kepercayaan
diri adalah bawahan, dan kebebasan adalah tuannya. Ketika aku sakit, ia
akan menyembuhkan dengan tangkai pohon, dan memberikan kebahagiaan pada
para pengikutku.” Inilah salah satu puisi eksotis yang ditulis Ikkyu
sebagai ekspresi dari penghayatan Zen dan pencerahan batinnya. Di sisi
lain, ia juga menulis beberapa artikel tentang Zen. Salah satunya adalah
karya yang ditulisnya pada 1457 dengan judul “Tengkorak”. Salah satu
ide yang dikupasnya adalah soal kekosongan di dalam pandangan Buddhisme,
yang merupakan inti dari segala kenyataan yang ada.
“Aku ingin menyatakan sesuatu. Kelahiran seorang manusia itu seperti
menyalakan api. Ayah dan ibu adalah kedua batu, dan anak adalah percikan
api yang keluar dari pergesekan kedua batu tersebut. Ketika percikan
itu menyentuh lampu, ia hanya dapat bertahan dengan bantuan dari energi
lain, yakni bensin, sampai semuanya habis. Lalu, api itu mati. Hubungan
percintaan antara kedua orang tua itu bagaikan gesekan dua batu yang
menghasilkan percikan. Namun, kedua batu itu pun juga akan hancur.
Segala sesuatu datang dari kekosongan. Ketika orang melepaskan
kepercayaan pada bentuk-bentuk yang terlihat oleh mata, maka ia akan
sampai pada keadaan asalinya. Dan karena segala sesuatu muncul serta
berakhir pada ketiadaan, maka konsep keadaan asali juga merupakan
sesuatu yang sementara.”
Dengan tulisan ini, Ikkyu menunjukkan kemampuannya untuk memahami dan
menyampaikan ide-ide dasar yang menjadi pijakan dari tradisi Zen
Buddhisme. Pemahaman akan kekosongan dan kesementaraan dari segala
sesuatu inilah yang nantinya juga tampak di dalam karya-karya seni
Ikkyu. Kedua ini begitu penting dan begitu sederhana, sampai orang
begitu sulit untuk memahaminya, karena mereka terbiasa dengan pemikiran
yang rumit dan rasional tentang segala hal. Baginya, menjadi orang yang
tercerahkan berarti menjalani hidup secara alamiah dan sederhana, tanpa
kepura-puraan apapun, baik dalam bentuk ambisi ataupun keterikatan yang
begitu kuat pada sesuatu. Ada satu cerita yang menggambarkan
kesederhanaan dan sikap alamiah sebagai inti dari penghayatan Zen dari
Ikkyu. Suatu hari, Ikkyu sedang naik kapal menuju kota Sakai. Di sana,
ia berjumpa dengan seorang biksu Buddhis lainnya. Sang biksu menantang
Ikkyu untuk melakukan mukjizat, guna menunjukkan kesaktiannya. Ia
kemudian mengucapkan mantera, dan berhasil mengundang api yang menari di
dalam perahu. Para penumpang kapal terkagum-kagum melihat itu. Ikkyu
menanggapi dengan menyatakan, bahwa ia memiliki mukjizat yang lebih
kuat, yakni ia mampu memadamkan api itu. Ia pun membuka celananya, dan
mengencingi api yang menari tersebut, sampai padam.
Cara berpikir dan cara hidup Ikkyu memberikan pengaruh besar pada
perkembangan Zen di Jepang, tidak hanya sebagai filsafat hidup, tetapi
juga pada identitas budaya Jepang itu sendiri. Salah satu yang paling
terkenal adalah upacara teh yang merupakan cerminan dari pencerahan
batin dan pemahaman intuitif Zen. Ia juga mendorong berkembangnya seni
theater di Jepang, kaligrafi, lukisan yang masih dikenal dan berpengaruh
luas di Jepang sampai sekarang, dan masakan Jepang dari bahan kacang
kedelai yang menjadi salah satu makan utama di biara Zen sekarang ini.
Namun, seperti dijelaskan oleh Hoover, kehidupan Ikkyu yang sesungguhnya
tetap merupakan misteri. Seperti kisah hidup orang-orang yang
berpengaruh, cerita hidup Ikkyu banyak diselubungi oleh fiksi dan
legenda. Ada beberapa hal dari cara berpikir dan cara hidup Ikkyu yang
memberikan nuansa unik bagi perkembangan Zen di Jepang, yakni kebebasan
berpikir di dalam tradisi Zen yang melepaskan diri Buddhisme tradisional
yang amat menekankan peraturan dan tradisi. Ikkyu juga membawa Zen
dalam dialog dengan berbagai dimensi kehidupan di dunia. Untuk menjadi
tercerahkan, orang tidak perlu menjadi pertapa di gunung yang menolak
segala hal dari dunia. “Dengan menolak tafsiran Zen yang resmi”,
demikian tulis Hoover, “Ikkyu mungkin adalah seorang Master Zen yang
paling memahami Zen yang sesungguhnya.”
- Zen untuk Perkembangan Spiritualitas
Apa peran Zen Buddhisme di dalam pengembangan spiritualitas?
Spiritualitas bisa dipahami secara sederhana sebagai cara hidup yang
bermakna. Ada banyak tawaran yang terlihat, seperti memperoleh banyak
uang, memiliki nama besar yang dihormati di masyarakat, sampai dengan
kesucian religius. Namun, semua itu bersifat sementara, dan tak akan
bisa memberikan makna yang utuh bagi hidup manusia. Maka, jalan lain
haruslah ditemukan. Tradisi Zen Buddhisme, menurut saya, memberikan cara
pandang yang menarik. Yang ia tawarkan bukanlah kenikmatan, nama besar
ataupun kesucian, melainkan pencerahan batin. Zen adalah jalan
pembebasan dari penderitaan hidup, dan kemudian bergerak menuju
pencerahan batin. Dari tiga Master Zen yang telah dibahas sebelumnya,
yakni Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu, pencerahan batin dapat dipahami sebagai
kemampuan orang untuk melihat hakekat sesungguhnya dari segala yang
ada, termasuk hakekat dari dirinya sendiri. Dan hakekat dari segala
sesuatu yang ada adalah kekosongan itu sendiri, yang berarti
kesementaraan dari segala sesuatu, tanpa kecuali. Ketika orang menyadari
ini, tidak akan ada sesuatu apapun yang dapat membuatnya menderita. Ia
bisa merasa sakit dan mengalami kesulitan hidup, tetapi ia tidak akan
menderita. Inilah perbedaan mendasar antara orang yang belum dan sudah
mengalami pencerahan batin. Orang yang belum mengalami pencerahan batin
akan mengalami penderitaan besar, ketika ia merasa sakit, atau sedang
mengalami kesulitan kehidupan.
Namun, pemahaman akan hakekat dari segala yang ada sebagai kekosongan
tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Pemahaman
intelektual hanya menghasilkan pengetahuan teoretik, dan ini tidak
banyak berperan di dalam mengubah kesadaran hidup menuju pencerahan
batin. Pencerahan batin harus berakar dan berkembang dari intuisi
manusia. Dalam arti ini, intuisi adalah pengalaman langsung akan
kenyataan yang ada. Ia tidak dibumbui dengan konsep atau penilaian. Ia
bahkan tidak dibumbui dengan bahasa. Ia hanya pengalaman murni, dan dari
pengalaman persentuhan langsung dengan kenyataan ini, orang akan masuk
ke dalam pencerahan batin itu sendiri yang mengubah seluruh cara
pandangnya atas hidup. Inilah inti dari ajaran Zen yang dikembangkan
oleh Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu. Ketika orang sudah sampai pada
pencerahan batin, yang diperolehnya secara intuitif, maka pencerahan
batin itu sendiri pun sudah kehilangan artinya, dan menjadi bagian
sepenuhnya dari hidupnya.
Pemahaman intuitif ini juga melampaui rasionalitas. Ia tidak dapat
dipahami dengan akal budi. Ia tidak dapat dirumuskan dan dijelaskan
dengan akal budi. Justru sebaliknya, akal budilah yang menjadi
penghalang orang untuk sampai pada pemahaman intuitif yang mendorong
pencerahan batin. Inilah yang saya sebut sebagai transrasionalitas,
yakni intuisi yang melampaui akal budi. Untuk sampai pada pemahaman ini,
orang perlu memotong cara berpikir logisnya. Bisa dibilang, terutama
mempertimbangkan sistem pendidikan modern yang amat menekankan akal budi
di atas segala-galanya, orang harus melepaskan semua yang telah
dipelajarinya, supaya ia bisa mencapai dan mengembangkan intuisinya,
lalu mencapai pencerahan batin. Akal budi cenderung membuat pembedaan
antara yang satu dan yang lainnya. Ia menyatukan yang sama, dan
memisahkan yang berbeda. Maka dari itu, ilmu pengetahuan bisa
berkembang, karena manusia menggunakan akal budi untuk mengkategorikan
segala yang ada di dalam kenyataan. Cara berpikir semacam ini, dari kaca
mata ketiga master Zen yang saya bahas di atas, justru membuat manusia
terpisah dari alam. Ia terpisah dari manusia lainnya. Akibatnya, ia pun
masuk ke dalam lingkaran penderitaan hidup yang tidak ada habisnya,
karena kesalahan berpikir. Pemahaman intuitif yang mendorong pencerahan
batin persis adalah lepasnya manusia dari cara berpikir semacam itu.
Intuisi juga melampaui semua bentuk rumusan teoritik ataupun
definisi. Pemahaman intuitif yang merupakan kunci untuk sampai pada
pencerahan batin tidak dapat dijelaskan dengan rumusan-rumusan bahasa
yang baku. Secara hakiki, rumusan bahasa tidak akan pernah bisa
menjelaskan kenyataan yang ada. Rumusan bahasa memberikan kesan, seolah
kenyataan yang terus bergerak itu bisa dibekukan ke dalam satu rumusan
tertentu. Sayangnya, ketika bahasa dirumuskan, kenyataan yang ada sudah
berubah. Namun, banyak orang justru terjebak pada bahasa dan rumusan,
serta mengabaikan kenyataan itu sendiri. Mereka menganggap bahasa dan
rumusan sebagai kenyataan. Pertanyaan yang penting disini adalah,
bagaimana orang bisa keluar dari kecenderungan untuk merumuskan segala
sesuatu ke dalam bahasa yang baku tersebut? Para master Zen yang dibahas
disini menawarkan setidaknya dua cara, yakni melalui percakapan
dialektis yang tidak menggunakan runutan berpikir rasional, dan melalui karya seni yang mencerminkan kenyataan itu sendiri,23
serta tidak terjebak pada rumusan bahasa. Dua hal inilah yang saya
sebut sebagai dialektika transrasionalitas, yakni sebuah metode untuk
melepaskan orang dari kerangkeng berpikir rasional yang membuatnya jauh
dari intuisi dan pencerahan batin.
Intuisi sebagai jalan untuk sampai pada pencerahan batin ini juga
bergerak melampaui segala bentuk ritual dan tradisi. Banyak agama
sekarang terjebak pada ritual belaka. Mereka berdoa beramai-ramai secara
berkala. Namun, tidak ada perubahan kesadaran dan perubahan perilaku
hidup. Bahkan sebaliknya, agama sebagai ritual justru menjadi pembenaran
untuk bertindak bejat, mulai dari menipu, korupsi bahkan sampai
membunuh. Ritual tidak hanya menyempitkan spiritualitas ke dalam upacara
tanpa makna, tetapi juga membunuh spiritualitas itu sendiri. Di sisi
lain, agama dan spiritualitas juga dijajah oleh tradisi. Tradisi
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, dan apa yang dianggap
bermoral serta tidak bermoral. Padahal, dunia terus berubah. Melihat
dunia dengan kategori baik dan buruk berarti memecah dunia, dan
mengundang terjadinya pertengkaran. Intuisi sebagai dasar dari
pencerahan batin dan spiritualitas hendak bergerak melampaui cacat-cacat
kehidupan yang dihasilkan oleh ritual dan tradisi. Para master Zen yang
dijelaskan sebelumnya juga menegaskan, bahwa ritual dan tradisi hanya
sekedar alat untuk sampai pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin.
Itu pun juga bukan alat yang paling baik. Namun, sayangnya, banyak orang
terjebak mengaburkan alat dan tujuan, serta akhirnya menjadi budak dari
ritual dan tradisi.
Ketika orang bisa menggunakan dan mengembangkan intuisinya, serta
menggunakan intuisinya untuk memahami hakekat dari segala yang ada, maka
ia akan sampai pada pencerahan batin. Di dalam keadaan ini, orang akan
menemukan kedamaian sejati. Ia tidak akan menderita, walaupun harus
menghadapi beragam tantangan dan permasalahan di dalam hidup. Ia akan
bisa bersikap tepat dan singgap, guna menanggapi keadaan yang ada. Di
dalam hatinya akan selalu ada kedamaian, walaupun ia diterpa oleh
gelombang kesulitan kehidupan. Ia tidak lagi berpikir dalam kategori
benar salah dan baik buruk, melainkan bergerak melampaui semua
kategori-kategori tersebut, dan memahami segala yang ada apa adanya
dengan intuisinya. Ia pun melihat segalanya sebagai satu kesatuan yang
saling terhubung, tanpa bisa terpisahkan. Ia tidak lagi memiliki ego,
melainkan bergerak melampaui ego, dan masuk ke dalam kesadaran akan
kesatuan dengan kenyataan.
Pengalaman semacam ini adalah pencerahan batin yang hanya bisa dicapai
dengan pemahaman intuitif. Spiritualitas inilah yang saya sebut sebagai
spiritualitas transrasionalitas yang lahir dari pola berpikir dialektis.
- Kesimpulan
Kekeringan spiritualitas yang dialami oleh banyak orang sekarang ini,
terlebih oleh orang-orang beragama, hanya bisa dilampaui, jika orang
menafsirkan dan memahami ulang arti yang sejati dari spiritualitas itu
sendiri. Yang ditawarkan di dalam tulisan ini adalah spiritualitas
sebagai dialektika transrasionalitas yang berkembang di dalam tradisi
Zen Buddhisme di Cina dan Jepang. Spiritualitas ini adalah spiritualitas
pencerahan batin, dimana orang hidup dengan cara berpikir dan cara yang
hidup yang baru, yang berpijak pada kedamaian hati dan kejernihan
pikiran. Namun, spiritualitas semacam ini hanya dapat dicapai dengan
pemahaman intuitif, yang bergerak melampaui ritual, tradisi dan akal
budi. Intuisi inilah yang saya sebut sebagai transrasionalitas, yakin
bagian dari diri manusia yang berada di tingkat yang lebih tinggi dari
akal budi. Ia lahir dari pemikiran dialektis, yakni pemikiran yang
memecah belah logika lurus matematis. Di dalam pemikiran dialektis ini,
orang lalu bisa sadar, betapa terbatasnya akal budi manusia. Ia pun
tidak lagi menjadi hamba dari akal budi, melainkan berusaha mencari
lebih dalam, yakni dirinya yang sejati. Pada titik ini akan muncul
pemahaman baru yang tak dapat dirumuskan dengan konsep ataupun bahasa,
yakni pengalaman pencerahan batin. Kedamaian yang sejati pun akan muncul
dan menetap di hati. Dan haruslah diingat, bahwa tidak ada perdamaian
dunia, ketika hati manusia masih terjebak di dalam penderitaan, rasa
takut dan kebencian. Spiritualitas tanpa konsep “spiritualitas” bisa
menjadi dasar bagi terciptanya perdamaian dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar