Rabu, 28 Oktober 2015

BENTUK FALSAFAH ORANG SUNDA





Konsep Estetika dalam budaya rupa Sunda sebagai kajian awal, menyatakan bahwa :

Dalam khasanah seni rupa, desain dan arsitektur serta matematika dikenal tiga bentuk dasar yaitu segi empat bujursangkar, lingkaran dan segitiga. Ketiga bentuk dasar ini ditemukan dalam babasan (ungkapan) dan paribasa (peribahasa) Sunda.
A. Segi Empat
Bentuk segi empat bujur sangkar terdapat dalam ungkapan “Hirup kudu masagi”. Ungkapan yang berisi petuah yang artinya hidup harus serba bisa.Bentuk lain, ”jelema masagi” (Natawisastra,1979:14,Hidayat,2005:219) artinya orang yang memiliki banyak kemampuan dan tidak ada kekurangan. Masagi berasal dari kata pasagi (persegi) yang artinya menyerupai (bentuk) persegi.
Ciri bujursangkar adalah keempat sisinya berukuran sama. Kesamaan ukuran empat bidang pada bentuk bujursangkar ini diibaratkan berbagai aspek dalam bentuk tindakan atau perbuatan di dalam kehidupan yang harus sama dalam kualitas dan kuantitasnya. Umumnya ungkapan ini dipahami sebagai perlambang untuk hidup serba bisa sehingga tercipta kesempurnaan perbuatan atau perilaku dalam hidup. Pengertian serba bisa atau serba dilakukan dalam arti positif dengan penekanan utama mengarah pada dua aspek pokok kehidupan manusia, yaitu kehidupan duniawi (bekerja, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam) dan kehidupan di akhirat nanti (hubungan manusia dengan Tuhan).  Bentuk segi empat bujur sangkar secara absolut tidak terdapat di alam. Dengan kata lain, bentuk ini adalah ciptaan imajinasi manusia hasil abstraksi dari rupa yang ada di alam. Bentuk segi empat lainnya, seperti empat persegi panjang adalah turunan dari bentuk bujur sangkar ini.
C. Segi tiga
Bentuk segi tiga terdapat dalam ungkapan “bale nyungcung” dan Buana Nyuncung (tempat para dewa dan hyang dalam kosmologi masyarakat Kanekes). Bale Nyungcung adalah sebutan lain untuk tempat atau bangunan suci, yang dalam Islam adalah masjid. Kalimat ka bale nyungcung dalam percakapan sehari-hari maksudnya melangsungkan akad nikah, yang jaman dahulu umumnya dilakukan di masjid. Bale nyungcung menunjuk pada model atap masjid jaman dulu yang menggunakan ‘model gunungan’ atau ‘meru’ bertumpuk tiga dengan puncak berbentuk atap limas yang disusun dari empat bentuk segitiga. Bentuk yang juga dapat ditemui pada atap pura di Bali dan bangunan model tropis. Bentuk segitiga dalam posisi normal, salah satu ujungnya berada di bagian atas, menjadi bagian puncak sehingga memiliki arah orientasi yaitu ke atas (langit).
Mengacu pada alam, bentuk nyungcung adalah bentuk umum gunung. Gunung berperan penting dalam perjalanan sejarah Sunda khususnya karena berbagai situs megalitikum dan makam keramat umumnya terdapat di gunung (Wessing :2006). Wessing lebih jauh mengungkapkan penelitian Hidding (1933 dan 1935) bahwa pegunungan adalah perbatasan antara hunian manusia (settled area) dan wilayah asing tempat kehidupan manusia berakhir dan kehidupan lain mulai. Misalnya situs Gunung Padang di Cianjur dan Ciwidey, Astana Gede Kawali dan Arca Domas di gunung Kendeng desa Kanekes (Baduy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Dasar, Tujuan, dan Fungsi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Dasar

Filsafat ilmu dalam konteks pendidikan dasar hadir sebagai upaya untuk menanamkan benih-benih berpikir kritis dan rasional sejak usia din...