Alasan Kenapa Mencatat dengan Tulis Tangan Lebih Baik Ketimbang dengan Gadget
Zaman sekarang, rasanya tiap kali kita masuk kelas kuliah, pasti banyak mahasiswa yang mencatat pelajaran dengan gawai masing-masing (Gawai itu Bahasa Indonesia dari Gadget). Ada yang mengetik di smartphone, ada yang buka laptop, bahkan ada yang saking malasnya sampai-sampai tulisan dosen di papan tulis dipotret dengan kamera handphone. Tidak jarang, di akhir kelas atau di akhir masa kuliah menjelang UAS, mahasiswa mendatangi dosen untuk meminta slide presentasi buatan dosen selama kuliah.
Di beberapa kampus juga sering tersedia fasilitas portal akademik, dimana dosen bisa mengunggah materi kuliah atau tugas yang bisa diunduh mahasiswanya. Praktis, mahasiswa pun tidak perlu lagi selalu berjumpa dengan dosen, karena materi dan tugas kuliah bisa didapat secara online. Bahkan saat tiba masa pemilihan mata kuliah, mahasiswa secara mudah dapat memilih mata kuliahnya sendiri melalui portal online.
Ya, dunia hari ini memang penuh dengan berbagai macam fasilitas digitalisasi. Buku-buku di perpustakaan mulai tergantikan dengan adanya e-book yang bisa diunduh gratis. Internet juga menyediakan sumber informasi dan referensi yang nyaris tanpa batas dan bisa kamu peroleh kapanpun dan dimanapun, hanya dengan modal laptop dan koneksi wifi.
Gambaran kehidupan mahasiswa klasik yang selalu berjibaku dengan ratusan tumpukan buku, menulis berlembar-lembar catatan pelajaran di kelas, dan diskusi intens dengan dosen, nampaknya mulai pudar, meski bukan berarti tidak ada sama sekali.
Apa yang kamu gunakan untuk mencatat pelajaran di kelas? Laptop, dengan mengunduh materi dari pemberian dosen? Handphone, dengan mengetik ucapan dosen? Atau sekedar memotret tulisan dosen di papan tulis? Atau bahkan merekam suara dosen saat mengajar?
Masihkah ada dari kamu, mahasiswa kontemporer, yang masih jadi old-fashioned-student dan cukup kece untuk mencatat di buku catatan menggunakan pena atau pensil?
Kalau ada, beruntunglah kamu! Entah kamu itu memang cerdas mengkritisi teknologi atau memang dasar kamunya gaptek :), nyatanya, orang yang mencatat dengan kertas dan pena dapat lebih cepat dan efisien untuk belajar, ketimbang mereka yang mencatat dengan gadget super instan. Seperti itulah hasil penelitian yang dilakukan ilmuwan Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer dari Princeton University dan University of California. Kenapa begitu? Inilah alasannya:
Menulis tangan itu lebih lambat dan butuh waktu untuk mencerna kata-kata dosen, dan “pencernaan” itu penting
Jadi begini, otak kita mengalami dua proses kognitif berbeda ketika melakukan kegiatan menulis dan mengetik.
Dalam eksperimen penelitiannya Pakde Pam dan Pakde Oppenheimer, mereka mengambil beberapa mahasiswa sebagai sampel dan membaginya menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama disuruh mengikuti kuliah dengan mencatat di gawai laptop, sementara kelompok lainnya menggunakan kertas dan pena secara kuno.
Setelah diamati, mereka menemukan bahwa mahasiswa yang mengetik dengan gawai akan mengetik apapun yang dikatakan sang dosen. Secara mentah-mentah, semua yang mereka dengar akan diketik bulat-bulat begitu saja. Tentu ini bukan hal yang sulit, karena laptop atau handphone sangat mudah untuk dipakai mengetik banyak kata-kata dalam waktu singkat.
Dari eksperimen ini, dapat dianalisis bahwa para mahasiswa hanya sekedar mentranskrip apa yang mereka dengar. Sama sekali tidak ada proses kognitif, tidak ada proses mencerna atas apa yang mereka dengar. Boleh jadi mungkin para mahasiswa itu tidak paham apa-apa dengan yang mereka dengar, dan berharap catatan yang mereka buat akan cukup untuk menjadi bahan belajar di rumah.
Bagaimana dengan orang yang menulis tangan secara the-good-old-fashioned-way? Pertama-tama, jelas menulis tangan jauh lebih lambat daripada mengetik dengan gawai. Sehingga tidak mungkin semua perkataan dosen dicatat bulat-bulat. Akhirnya, para mahasiswa itu mendengarkan sang dosen dengan teliti, lalu merangkum apa yang ia dengar dalam kepala, dan kemudian menuangkan rangkuman tersebut dalam bentuk tulisan singkat di kertas. Biasanya catatan tersebut akan berupa poin-poin kata kunci penting saja.
Otakmu pun lebih banyak bekerja di sini. Kamu pun tanpa sadar mencerna materi kuliah dengan baik. Secara otomatis kamu menuliskan dan memahami poin-poin penting dari materi kuliah di buku catatanmu.
Boleh jadi akhirnya nanti kamu malah tidak perlu melihat catatan itu lagi menjelang UAS, karena kamu telah mencernanya sewaktu dulu mencatatnya, the hard way!
Catatan yang Lebih Panjang Bukan Berarti Lebih Baik
Mungkin kamu tidak setuju dengan penjabaran barusan. Mungkin kamu akan berkilah:
“kalau nyatet di gawai bisa lebih banyak dan lengkap, kalau nyatet di kertas suka ada yang kelewatan. Apalagi kalau motret tulisan di papan tulis atau cukup unduh materi dosen di portal, itu udah paling lengkap!”
Hmm, baiklah. Kita memang tidak bisa berbuat banyak kalau memang sistem pendidikan di perguruan tinggi memanjakan kita dengan modul materi kuliah instan di portal online.
Tapi percayalah kawan, kalau kamu punya kesempatan untuk mengikuti kuliah secara live, bertemu dosen yang seratus persen hidup di depan matamu, lebih baik kamu manfaatkan kesempatan itu dengan maksimal. Kamu bisa berbincang secara langsung dengan dosen, atau sekedar mencatat di kertas secara teliti.
Masih berhubungan dengan penelitian Pakde Oppenheimer, eksperimen berikutnya adalah: dua kelompok mahasiswa yang tadi disuruh mencatat dengan kertas dan laptop, seminggu kemudian diberikan ujian yang persis sama. Hasilnya? Dapat ditebak, mahasiswa yang mencatat dengan tangannya mendapat hasil yang lebih baik.
Kenapa bisa begitu? Karena menurut Oppenheimer, kegiatan menulis tangan memberikan manfaat mengingat yang lebih efektif atas dua faktor berikut:
Konteks: dengan menulis tangan, kamu ingat akan konteks proses menulis saat mendengar ucapan dosen. Kamu ingat bagaimana emosi yang kamu dan dosenmu rasakan saat kuliah berlangsung, dan seperti apa kesimpulan dari pelajaran itu di benakmu.
Maka itu, seperti yang diungkap di awal, sangat penting untuk menghayati proses pembelajaran di kelas. Tanyalah dosen kalau memang ada yang tidak dimengerti dan jawablah pertanyaan dosen kalau beliau menanyakan sesuatu yang kamu pahami. Catat dengan lugas dan to-the-point apa yang menjadi inti diskusi kalian.
Proses interaksi humanis seperti itu jugalah yang akan membuat pengalaman belajar di kelas berkesan di kepalamu, dan otomatis membuat pelajaran mudah diingat dan dipahami.
Konten: Dengan menulis tangan, kamu mencatat dengan merangkum hal-hal yang penting-penting saja. Ditambah lagi, hasil rangkuman tersebut adalah proses kognitif dari otakmu saat itu.
Sementara itu, bagaimana dengan yang mencatat menggunakan gawai mereka? Silahkan dilihat di grafik berikut. Dari segi faktual, kedua mahasiswa pencatat kertas dan pencatat gawai mendapat nilai yang agak berimbang. Pengguna laptop mungkin sedikit menang di sini, karena catatannya lebih lengkap. Sementara dari segi konseptual, yang mencatat tangan mendapat nilai yang luar biasa tinggi, sementara pencatat gawai mendapat nilai minus yang cukup parah. Kenapa? Karena itu tadi, si pencatat tangan sudah paham benar dengan konteks pembelajaran di kelas dan sudah melakukan proses kognitif yang hebat ketika ia mencatat di kertasnya.
Gawai, adalah Sumber Distraksi yang Sangat Besar!
Jadi ceritanya kamu masih menggunakan handphone untuk mencatat pelajaran. Baiklah, mari gunakan handphonemu, karena sebenarnya tidak masalah juga kalau kamu memang berkomitmen untuk belajar.
Kecuali kalau hal ini terjadi:
Eh hape getar, tiba-tiba ada whatsapp dari si pacar. Ngajakin makan di kantin abis selesai kuliah. Balas dulu deeh. Jangan lupa ditutup dengan kalimat gombal pamungkas.
Eh, ada notif baru dari facebook, statusmu dikomentarin sama temanmu, balas dulu deh komentarnya. Eh ada notif lagi, oh ternyata cuman invite main Candy Crush.
Eh, ada mention baru dari twitter. Siapa nih yang nyapa? Tumben banget biasanya sepi. Wah, ternyata hanya mention dari akun bot yang nawarin les Bahasa Inggris. Huft!
Eh, ada yang left sticker di post Line kamu, jadi malu. Terus ada yang ngajakin main LINE’s Let’s Get Rich. Aduh aduuh, berisik banget mereka, sudah tahu aku lagi kuliah.
Ya sudah deh, iseng-iseng karena sudah buka Line, mumpung gak dilihat dosen, sekalian saja unduh sticker barunya Joe Taslim, keren bisa gerak-gerak gitu. Sticker Raisa juga cantik nih.
Dosennya lagi bosenin nih yang ngajar. Scrolling timeline dulu deh bentar… Update posisi dulu deh di Path, dosennya lagi gak ngeliat nih, diem-diem aku foto ah, buat update Instagram…
Waduh…
Faktanya guys, menurut penelitan Helene Hembrooke dan Geri Gay dari Human Computer Interaction Laboratory, Cornell University, 40 persen waktu di kelas seringkali dihabiskan mahasiswa untuk berkutat dengan hal non-belajar seperti ini. Hal-hal tidak produktif semacam chatting, lihat sosmed, update status, nonton YouTube, dan kegiatan selancaran di dunia maya lainnya, akan mendistraksimu dari proses kognitif yang seharusnya kamu jalani di kelas.
Bahkan sering sekali mahasiswa semacam ini gagal menempuh kuliahnya atau beresiko mengerjakan ujian dengan tidak jujur. Ketika UAS akhirnya menyelundupkan handphone buat buka Wikipedia deh…
Apakah hura-hura gawai itu begitu buruk? Tentu saja tidak. Sesuatu itu baru buruk kalau ditempatkan tidak pada tempatnya bukan? Ngobrol dengan pacarmu jelas tidak boleh terjadi kalau kamu sedang mempelajari kitab-kitab pemikiran Hegel di kuliah. Begitupun ketika kamu sedang chatting dengan pacarmu saat ngapel, tidak boleh ada tema tentang Dasar-dasar Teori Hidrolika dalam perbincangan romantis kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar