Sejarah Geger Cilegon
Peristiwa perlawanan yang mengesankan
pada awal abad 19 adalah
peristiwa
Geger Cilegon, yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888. Peristiwa tersebut dipimpin oleh para
alim ulama. Diantaranya
adalah
: Haji Abdul karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid. Sepulangnya Haji Abdul
Karim dari Makkah, beliau banyak mengajarkan tarekat di kampungnya,
Lempuyang. Selain itu beliau juga menanamkan nasionalisme kepada para
pemuda untuk melawan para
penjajah
yang kafir.
Sementara itu KH. Wasid yang pernah belajar
pada Syekh Nawawi Al
Bantani
mengajarkan ilmunya di pesantrenya di Beji-Bojonegara.Bersama teman
seperjuangannya yakni : Haji Abdurrahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji
Arsyad Qashir dan Haji Ismail,
mereka
menyebarkan pokok-pokok ajaran Islam ke masyarakat. Pada saat itu Banten sedang
dihadapi bencana besar. Setelah meletusnya Gunung Karakatau pada tahun 1883
yang merenggut 20.000 jiwa lebih, disusul dengan berjangkitnya wabah penyakit
hewan (1885) pada saat itu masyarakat banyak yang percaya pada tahayul dan
perdukunan. Di desa Lebak Kelapa terdapat satu pohon besar yang sangat
dipercaya oleh masyarakat memiliki keramat. Berkali-kali H. Wasid memperingati masyarakat.
Namun bagi masyarakat yang tidak mengerti agama, fatwanya itu tidak diindahkan. H. Wasid tidak
dapat membiarkan kemusrikan berada didepan matanya. Bersama beberapa muridnya,
beliau menebang pohon besar tersebut. Kejadian inilah yang menyebabkan beliau
dibawa ke pengadilan (18 Nopember 1887), beliau didenda 7,50 gulden. Hukuman tersebut
menyinggung rasa keagamaan dan harga diri murid-murid dan para pendukungnya.
Selain itu, penyebab terjadinya peristiwa berdarah, Geger Cilegon adalah
dihancurkannya menara langgar di desa Jombang Wetan atas perintah Asisten
Residen Goebel. Goebel menganggap menara tersebut mengganggu ketenangan
masyarakat, karena kerasnya suara. Selain itu Goebel juga melarang Shalawat,
Tarhim dan Adzan dilakukan dengan suara yang keras. Kelakuan kompeni yang
keterlaluan membuat rakyat melakukan pemberontakan. Pada tanggal 7 Juli 1888,
diadakan pertemuan di rumahnya Haji Akhia di Jombang Wetan. Pertemuan tersebut
untuk mematangkan rencana pemberontakan. Pada pertemuan tersebut hadir beberapa
ulama dari berbagai daerah. Diantaranya adalah : Haji Said (Jaha), Haji
Sapiudin (Leuwibeureum), Haji Madani (Ciora), Haji Halim (Cibeber),
Haji Mahmud (Terate Udik), Haji Iskak (Saneja), Haji Muhammad
Arsad
(Penghulu Kepala di Serang) dan Haji Tb
Kusen (Penghulu Cilegon).
Pada
hari Senin tanggal 9 Juli 1888 diadakan serangan umum. Dengan memekikan Takbir para ulama dan
murid-muridnya menyerbu beberapa tempat yang ada di Cilegon. Pada
peristiwa tersebut Henri Francois Dumas – juru tulis Kantor Asisten residen –
dibunuh oleh Haji Tubagus Ismail. Demikian pula Raden Purwadiningrat, Johan
Hendrik Hubert Gubbels, Mas Kramadireja dan Ulrich Bachet, mereka adalah
orang-orang yang tidak disenangi oleh masyarakat.Cilegon dapat dikuasi oleh
para pejuang “Geger Cilegon”. Tak lama kemudian datang 40 orang serdadu kompeni
yang dipimpin oleh Bartlemy. Terjadi pertempuran hebat antara para pejuang
dengan serdadu kompeni. hingga akhirnya pemberontakan tersebut dapat
dipatahkan. Haji Wasid dihukum gantung. Sedangkan yang lainnya dihukum buang.
Diantaranya adalah Haji Abdurrahman dan Haji Akib dibuang ke Banda. Haji Haris
ke Bukittinggi Haji Arsyad thawil ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir ke Buton,
Haji Ismail ke flores, selainnya dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado,
Ambon dan lain-lain. (Semua pemimpin yang dibuang berjumlah 94 orang).
Walaupun pemberontakkan itu dapat
dimentahkan oleh Belanda, namun yang terpenting bahwa saat itu membuktikan
bahwa “RAKYAT BANTEN ANTI PENJAJAHAN”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar