Filsafat sebagai Terapi Depresi
Banyak orang hidup dalam depresi sekarang ini. Tuntutan
pekerjaan, masalah rumah tangga serta beragam tantangan hidup lainnya
mendorong orang masuk ke dalam depresi. Dalam arti ini, depresi dapat
dilihat sebagai keadaan emosional yang dipenuhi kesedihan dan kekecewaan
dalam jangka waktu lebih dari dua bulan. Ada beragam teori tentang ini.
Namun, dua bulan hidup dalam keadaan batin yang menyakitkan, pada hemat
saya, sudah menandakan, bahwa orang masuk ke dalam depresi.
Depresi membuat orang tak bisa menikmati hidup. Segalanya
terlihat salah. Hal-hal kecil seringkali memancing beragam emosi negatif
di dalam diri. Keadaan ini berlangsung cukup lama, dan seringkali
disertai dengan gejala senang berlebihan, yang kemudian dilanjutkan pula
dengan kesedihan berlebihan.
Depresi biasanya dipicu oleh rangkaian peristiwa
menyedihan dan menyakitkan, seperti kehilangan anggota keluarga,
kegagalan di dalam karir atau sekolah, sakit berkepanjangan atau
perceraian. Keadaan ini membuat tubuh dan pikiran seseorang tertekan,
jauh melampaui batas yang mampu ditanggungnya. Pikirannya kacau, karena
selalu bergerak ke masa lalu yang penuh penyesalan, dan masa depan yang
penuh kecemasan. Tubuhnya pun melemah, karena dalam keadaan seperti ini,
orang tak mampu beristirahat dengan cukup, dan nafsu makan serta minum
pun menurun.
Terapi Depresi
Ada beragam terapi yang ditawarkan. Namun, pada hemat
saya, banyak hanya merupakan omong kosong. Orang diminta untuk
menghabiskan waktu dan uang hanya untuk menjalani terapi yang dipenuhi
janji palsu belaka. Akan tetapi, ada satu alternatif yang mungkin belum
banyak dicoba orang, namun memiliki kemungkinan besar untuk berhasil,
yakni filsafat sebagai terapi.
Tidak semua jenis filsafat bisa berfungsi sebagai terapi.
Banyak pemikiran filsafat yang justru menjadi sumber depresi. Abstraksi
berlebihan justru menumpulkan kepekaan orang pada kenyataan hidup. Jenis
filsafat ini sungguh harus ditanggapi secara kritis.
Akan tetapi, ada jenis filsafat lainnya yang dikembangkan
di masa Yunani Kuno dan Romawi di Eropa, yakni filsafat Stoa. Tokoh yang
menjadi acuan saya disini adalah seorang Kaisar Romawi bernama Marcus
Aurelius. Ia menuliskan gagasannya di dalam buku yang berjudul Meditations. Ia bukan hanya seorang kaisar yang bijak memimpin, tetapi juga seorang pemikir yang mendalam.
Kontrol dan Kesadaran
Ada dua ide darinya yang kiranya cocok menjadi dasar dari
terapi filosofis untuk despresi, yakni kontrol diri dan kesadaran.
Kontrol diri berarti kemampuan orang untuk mengendalikan perasaan dan
pikirannya di hadapan berbagai bentuk keadaan. Kesulitan dan tantangan
yang datang dari luar diri tidak mempengaruhi stabilitas batinnya.
Kemampuan ini tidak datang hanya dengan pengetahuan intelektual semata,
tetapi dengan latihan dari kegiatan sehari-hari yang berpijak pada
kesadaran.
Dalam arti ini, kesadaran merupakan kemampuan orang untuk
menjalani hidup dari saat ke saat dengan sepenuh hati dan pikirannya.
Ketika ia makan, maka ia sepenuhnya makan. Ketika ia berjalan, maka ia
sepenuhnya berjalan. Pikirannya tidak bergerak ke tempat lain.
Pikirannya juga tidak bergerak ke masa lalu, ataupun masa depan.
Dengan melatih kesadaran semacam ini, orang akan menemukan
kedamaian di dalam hatinya. Ia menjalani saat ke saat dalam hidupnya
dengan ketenangan batin. Ia pun lalu mampu mengendalikan emosi dan
pikirannya di hadapan berbagai keadaan. Kesulitan hidup tidak membuat
batinnya tergoyahkan. Ia tidak akan mengalami depresi.
Di dalam filsafat Yunani kuno, kaum Stoa menganjurkan
setiap orang untuk melatih kesadaran dari saat ke saat semacam ini.
Filsafat Timur sudah lama melihat kesadaran semacam ini sebagai sumber
dari segala kebijaksanaan hidup. Di dalam Zen Buddhisme dijelaskan,
bahwa kebenaran dan kesejatian hanya dapat ditemukan disini dan saat
ini, bukan di tempat atau di waktu yang lain. Ilmu pengetahuan modern
menyebut kesadaran ini sebagai Achtsamkeit, dan ia sudah banyak diteliti sebagai salah satu bentuk terapi terbaik untuk beragam bentuk penyakit kejiwaan.
Kontrol diri hanya bisa dibangun dengan kesadaran diri.
Inilah filsafat yang amat sederhana, tetapi banyak orang sulit
menjalankannya, karena pikirannya terlalu rumit. Mereka mau menjalani
terapi yang mahal dan rumit, walaupun tidak banyak membuahkan hasil.
Namun, terapi yang berpijak pada pemikiran Stoa dan Marcus Aurelius ini
tidak membutuhkan biaya apapun. Anda hanya perlu mencobanya, dan
merasakan sendiri hasilnya. Jadi tunggu apa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar