Rabu, 13 Januari 2016

Filsafat sebagai Terapi Depresi

Filsafat sebagai Terapi Depresi

speckycdn.sdm.netdna-cdn.com

Banyak orang hidup dalam depresi sekarang ini. Tuntutan pekerjaan, masalah rumah tangga serta beragam tantangan hidup lainnya mendorong orang masuk ke dalam depresi. Dalam arti ini, depresi dapat dilihat sebagai keadaan emosional yang dipenuhi kesedihan dan kekecewaan dalam jangka waktu lebih dari dua bulan. Ada beragam teori tentang ini. Namun, dua bulan hidup dalam keadaan batin yang menyakitkan, pada hemat saya, sudah menandakan, bahwa orang masuk ke dalam depresi.
Depresi membuat orang tak bisa menikmati hidup. Segalanya terlihat salah. Hal-hal kecil seringkali memancing beragam emosi negatif di dalam diri. Keadaan ini berlangsung cukup lama, dan seringkali disertai dengan gejala senang berlebihan, yang kemudian dilanjutkan pula dengan kesedihan berlebihan.

Depresi biasanya dipicu oleh rangkaian peristiwa menyedihan dan menyakitkan, seperti kehilangan anggota keluarga, kegagalan di dalam karir atau sekolah, sakit berkepanjangan atau perceraian. Keadaan ini membuat tubuh dan pikiran seseorang tertekan, jauh melampaui batas yang mampu ditanggungnya. Pikirannya kacau, karena selalu bergerak ke masa lalu yang penuh penyesalan, dan masa depan yang penuh kecemasan. Tubuhnya pun melemah, karena dalam keadaan seperti ini, orang tak mampu beristirahat dengan cukup, dan nafsu makan serta minum pun menurun.

Terapi Depresi
Ada beragam terapi yang ditawarkan. Namun, pada hemat saya, banyak hanya merupakan omong kosong. Orang diminta untuk menghabiskan waktu dan uang hanya untuk menjalani terapi yang dipenuhi janji palsu belaka. Akan tetapi, ada satu alternatif yang mungkin belum banyak dicoba orang, namun memiliki kemungkinan besar untuk berhasil, yakni filsafat sebagai terapi.
Tidak semua jenis filsafat bisa berfungsi sebagai terapi. Banyak pemikiran filsafat yang justru menjadi sumber depresi. Abstraksi berlebihan justru menumpulkan kepekaan orang pada kenyataan hidup. Jenis filsafat ini sungguh harus ditanggapi secara kritis.

Akan tetapi, ada jenis filsafat lainnya yang dikembangkan di masa Yunani Kuno dan Romawi di Eropa, yakni filsafat Stoa. Tokoh yang menjadi acuan saya disini adalah seorang Kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius. Ia menuliskan gagasannya di dalam buku yang berjudul Meditations. Ia bukan hanya seorang kaisar yang bijak memimpin, tetapi juga seorang pemikir yang mendalam.

Kontrol dan Kesadaran
Ada dua ide darinya yang kiranya cocok menjadi dasar dari terapi filosofis untuk despresi, yakni kontrol diri dan kesadaran. Kontrol diri berarti kemampuan orang untuk mengendalikan perasaan dan pikirannya di hadapan berbagai bentuk keadaan. Kesulitan dan tantangan yang datang dari luar diri tidak mempengaruhi stabilitas batinnya. Kemampuan ini tidak datang hanya dengan pengetahuan intelektual semata, tetapi dengan latihan dari kegiatan sehari-hari yang berpijak pada kesadaran.

Dalam arti ini, kesadaran merupakan kemampuan orang untuk menjalani hidup dari saat ke saat dengan sepenuh hati dan pikirannya. Ketika ia makan, maka ia sepenuhnya makan. Ketika ia berjalan, maka ia sepenuhnya berjalan. Pikirannya tidak bergerak ke tempat lain. Pikirannya juga tidak bergerak ke masa lalu, ataupun masa depan.

Dengan melatih kesadaran semacam ini, orang akan menemukan kedamaian di dalam hatinya. Ia menjalani saat ke saat dalam hidupnya dengan ketenangan batin. Ia pun lalu mampu mengendalikan emosi dan pikirannya di hadapan berbagai keadaan. Kesulitan hidup tidak membuat batinnya tergoyahkan. Ia tidak akan mengalami depresi.

Di dalam filsafat Yunani kuno, kaum Stoa menganjurkan setiap orang untuk melatih kesadaran dari saat ke saat semacam ini. Filsafat Timur sudah lama melihat kesadaran semacam ini sebagai sumber dari segala kebijaksanaan hidup. Di dalam Zen Buddhisme dijelaskan, bahwa kebenaran dan kesejatian hanya dapat ditemukan disini dan saat ini, bukan di tempat atau di waktu yang lain. Ilmu pengetahuan modern menyebut kesadaran ini sebagai Achtsamkeit, dan ia sudah banyak diteliti sebagai salah satu bentuk terapi terbaik untuk beragam bentuk penyakit kejiwaan.

Kontrol diri hanya bisa dibangun dengan kesadaran diri. Inilah filsafat yang amat sederhana, tetapi banyak orang sulit menjalankannya, karena pikirannya terlalu rumit. Mereka mau menjalani terapi yang mahal dan rumit, walaupun tidak banyak membuahkan hasil. Namun, terapi yang berpijak pada pemikiran Stoa dan Marcus Aurelius ini tidak membutuhkan biaya apapun. Anda hanya perlu mencobanya, dan merasakan sendiri hasilnya. Jadi tunggu apa lagi?

Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”


  Spiritualitas tanpa “Spiritualitas”

Zen-circle-symbol

Kita hidup di era krisis spiritualitas. Teknologi dan ekonomi berkembang maju, tetapi jiwa dan pikiran manusia justru semakin menderita. Mereka hidup terpisah dengan alam, dan akhirnya terasing dari alam itu sendiri, dan bahkan menghancurkan alam. Orang hidup dalam kelimpahan harta dan uang, namun hatinya penuh penderitaan, rasa takut dan rasa benci.1 Tak heran, tingkat bunuh diri, stress, depresi dan beragam penderitaan batin lainnya semakin meningkat. Banyak keluarga hancur di tengah jalan, karena rasa benci dan rasa takut yang menutupi pikiran. Pengguna narkoba pun semakin meningkat dan usianya semakin muda, persis untuk mengalihkan manusia dari penderitaan batin yang dirasakannya. Agama, yang dilihat sebagai dasar dari spiritualitas menuju hidup yang bermakna, pun kini terjebak pada fundamentalisme. Mereka mendewakan tradisi, ritual dan aturan, serta bersedia mengorbankan manusia. Bahkan, agama sering digunakan untuk pembenaran bagi tindakan-tindakan bejat dan kepentingan politik yang menutupi sejuta kemunafikan. Yang dibutuhkan oleh banyak orang sekarang ini adalah jenis spiritualitas yang baru, yang bisa memberikan makna bagi hidupnya, dan mengurangi penderitaan batinnya, guna menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

Di dalam tulisan ini, saya akan menawarkan bentuk spiritualitas yang baru. Ia berpijak pada tradisi Zen Buddhisme yang berkembang di India, Cina dan Jepang. Saya akan belajar langsung dari riwayat hidup dan pemikiran-pemikiran tiga guru Zen yang amat berpengaruh di dalam tradisi perkembangan Zen, yakni Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu. Sebagai acuan, saya memilih menggunakan buku Thomas Hoover dan Alan Watts.2 Keduanya adalah penulis dari Amerika Serikat. Mereka membaca dan menafsirkan Zen untuk orang-orang yang terbiasa dengan pola pendidikan Barat. Tulisan-tulisan asli para guru Zen seringkali begitu tenggelam pada konteks budaya mereka masing-masing, sehingga kurang bisa dimengerti oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Pada akhirnya, spiritualitas Zen adalah sebuah praksis hidup. Ia bukan cuma teori untuk menjelaskan dunia dan manusia. Ia adalah praksis hidup yang harus dijalankan, supaya manfaatnya sungguh terasa.

Tulisan ini akan dibagi ke dalam enam bagian. Awalnya, (1) saya akan memberikan sedikit penjelasan tentang makna dari Zen di dalam tradisi Buddhisme. Lalu, (2) saya akan menjabarkan pemikiran dari Ma-tsu tentang pola pendidikan transrasionalitas. Pada bagian berikutnya, (3) saya akan menjelaskan pemikiran Lin-chi soal dialektika transrasionalitas. Ada benang merah antara pemikiran Ma-tsu dan Lin-chi yang menjadi ciri unik dari Zen Buddhisme di Cina. Setelah itu, (4) saya akan menjabarkan pemikiran Ikkyu menjadi ciri khas dari perkembangan Zen di dalam budaya Jepang. (5) Saya akan menarik benang merah dari pemikiran ketiga master Zen ini ke dalam satu konsep, yakni spiritualitas-dialektika-transrasionalitas. Akhirnya, (6) tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan.
  1. Zen Buddhisme
Apa yang dimaksud dengan Zen Buddhisme? Buddhisme adalah paham yang berkembang dari ajaran Sakhyamuni Buddha sekitar 2500 tahun yang lalu di Nepal. Tujuan utamanya adalah memahami hakekat dari manusia dan seluruh alam ini.3 Dari pemahaman tersebut lahirlah pencerahan batin, dimana manusia bisa hidup serasi dengan alam, tanpa ketegangan batin apapun. Sejak 2500 tahun yang lalu, ajaran Buddhisme terus lestari dan tersebar di berbagai belahan dunia. Zen sendiri, sebagai salah satu aliran di dalam Buddhisme, berkembang menjadi suatu bentuk latihan rohani tertentu, guna mencapai pencerahan batin ini. Dalam arti ini, pencerahan batin berarti pemahaman yang sejati tentang diri sendiri, sehingga orang bisa membangun hidup yang baru. Di dalam tradisi Zen Buddhisme, hubungan antara guru dan murid adalah bagian yang terpenting. Hubungan tersebut harus bersifat pribadi dan mengarah pada pencerahan batin. Melalui hubungan semacam ini, ajaran Zen tentang pencerahan batin diwariskan ke generasi berikutnya, dan kemudian tersebar ke seluruh dunia.

Buddhisme sendiri memiliki dua cabang besar, yakni Mahayana dan Hinayana. Di dalam tradisi Mahayana, orang berupaya untuk mencapai pencerahan batin, supaya ia bisa mengajak orang lain untuk mencapai pencerahan batin pula, dan menciptakan dunia yang damai. Sementara, di dalam tradisi Hinayana, yang banyak tersebar di Asia Tenggara, tujuan utamanya adalah mencapai pencerahan batin pribadi. Kata “Zen” sendiri berasal dari bahasa Jepang, yakni Zenna. Kata ini berasal dari bahasa Sanksekerta Dhyana. Artinya adalah meditasi, yakni keadaan ketika orang terserap ke dalam kekosongan dari seluruh kenyataan itu sendiri. Tradisi meditasi sebenarnya berakar pada Hinduisme. Kemudian, Buddhisme mengambil tradisi untuk sebagai alat, supaya orang bisa memahami hakekat dari dirinya dan seluruh kenyataan, serta mencapai pencerahan batin seutuhnya. Zen Buddhisme sendiri berkembang di dalam tradisi Buddhisme Mahayana. Namun, yang menjadi penekanan utama dari Zen bukanlah ajaran-ajaran Buddhisme tradisional, melainkan meditasi itu sendiri. Semua konsep lainnya, seperti mendaraskan teks-teks klasik Buddhisme, menjadi pendukung untuk praktik meditasi itu sendiri. Inilah sebabnya, Zen Buddhisme menjadi aliran Buddhisme sendiri yang relatif mandiri dari aliran-aliran Buddhisme lainnya.

Salah satu konsep utama dari Zen Buddhisme adalah Zazen. Za berarti duduk, dan Zen berarti meditasi. Secara keseluruhan, kata itu berarti duduk bermeditasi, atau duduk sambil terserap ke dalam kekosongan dari kenyataan. Zen Buddhisme sendiri berkembang ke Cina pada tahun 600. Perintisnya adalah seorang biksu India yang bernama Bodhidharma. Setelah itu, Zen kemudian bercampur dengan tradisi Konfusianisme dan Taoisme yang sudah ada sebelumnya di Cina. Dari Taoisme, Zen menggunakan konsep Mu yang berarti ketiadaan sebagai dasar dari pemahaman dan meditasi itu sendiri. Inti ajarannya adalah, bahwa segala sesuatu, termasuk manusia, adalah kekosongan itu sendiri. Ia datang dan pergi, serta berubah setiap saat. Zen berkembang pesat di Cina pada masa pemerintahan Dinasti T’ang dan Sung, yakni pada tahun 800 sampai 1100. Banyak guru Zen yang hidup dan menyebarkan ajarannya pada masa ini. Cerita-cerita hidup mereka, termasuk Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu yang menjadi tema utama tulisan ini, banyak ditemukan di dalam Koan-koan, yakni cerita pendek yang bertujuan mengajak orang memahami hakekat Zen yang sesungguhnya.

Zen Buddhisme kemudian juga menyebar ke Jepang dan mencapai titik emasnya pada abad 12 dan 13, ketika Jepang berada di bawah kekuasaan para Satria di Kamakura. Ada dua aliran Zen yang kemudian berkembang pesat di Jepang, yakni Rinzai Zen dan Soto Zen. Keduanya berakar pada Zen Buddhisme yang sebelumnya berkembang di Cina. Pada masa ini, Jepang mengalami perang saudara yang cukup panjang. Zen juga menjadi banyak diminati, karena mengajarkan orang ketenangan batin yang sempurna, bahkan ketika penderitaan menghadang di depan mata. Zen juga memperoleh dukungan dari penguasa-penguasa di Jepang yang saling berperang satu sama lain. Rinzai Zen berkembang di kalangan penguasa politik dan militer Jepang semacam ini. Sementara, Soto Zen mencoba untuk keluar dari politik, sehingga Zen bisa kembali pada akarnya sendiri. Ia pun lebih banyak berkembang di kota-kota kecil dan pegunungan. Para penganutnya kebanyakan petani dan pedagang kecil yang hidup lepas dari pertarungan kekuasaan politik dan militer di Jepang.

Di Jepang, Rinzai Zen dan Soto Zen memiliki pendekatan yang berbeda. Rinzai Zen menekankan penggunaan Koan sebagai alat untuk memecah cara berpikir orang, supaya ia bisa mengalami pencerahan batin. Sementara, Soto Zen berfokus pada meditasi sepenuhnya, dengan sedikit menggunakan Koan sebagai metode pendidikan. Ia juga masih menggunakan metode tradisional di dalam Buddhisme, seperti mengutip teks-teks suci di dalam Buddhisme. Fuchs berpendapat, bahwa Zen Buddhisme berpengaruh amat besar pada perkembangan budaya Jepang itu sendiri. Upacara teh dan penataan bunga adalah dua contoh budaya Jepang yang berakar amat dalam pada pandangan-pandangan Zen. Seni bela diri Jepang, seperti seni pedang dan judo, juga mencerminkan nilai-nilai dasar Zen. Secara keseluruhan, dapat dikatakan, bahwa cara berpikir dan cara hidup Jepang berakar amat dalam pada pandangan-pandangan Zen Buddhisme.
  1. Ma-tsu dan Pedagogi Transrasionalitas
Setidaknya, ada satu perdebatan keras yang mewarnai perkembangan Zen Buddhisme, yakni apakah Pencerahan batin dapat diperoleh secara mendadak, atau melalui tahap-tahap yang telah ditentukan secara baku sebelumnya. Salah satu pendapat besar menyatakan, bahwa Pencerahan bisa diperoleh dengan tiba-tiba melalui beberapa peristiwa dan metode.4 Pendapat ini dianut oleh para Guru Zen yang berkembang di Cina selatan pada tahun 600-an setelah Masehi. Pendapat lain menyatakan, tradisi, dalam hal ini ritus-ritus Buddhisme, juga masih memainkan peran besar untuk mendorong Pencerahan batin pribadi.

Pada akhirnya, pendapat pertama yang menang. Zen bukanlah agama untuk mengatur negara atau masyarakat, melainkan sebuah pandangan hidup yang membantu menata pikiran. Dengan pikiran yang tertata dengan baik, hidup pun bisa dijalani dengan kedamaian hati dan penuh cinta kasih. Jika Zen menjadi agama resmi dari suatu negara, maka Zen itu telah kehilangan rohnya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ketika Zen menjalin hubungan erat dengan kekuasaan politik, maka ia telah kehilangan roh sejatinya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ciri khas Zen adalah hidup yang sederhana dan kebebasan. Keduanya dianggap lebih berharga daripada kejayaan politis dan ekonomis.

Para guru Zen tidak bekerja di kota-kota besar. Mereka hidup di gunung-gunung, dan mencoba untuk menemukan cara-cara yang lebih baik, supaya orang bisa mencapai pencerahan batin. Pencerahan batin sendiri tidak bisa dicapai dengan teori abstrak yang masih terjebak di dalam kosa kata bahasa. Ia adalah pemahaman tanpa kata-kata (wordless understanding). Para guru Zen ini menolak tradisi Buddhisme yang terjebak pada ritual, pemujaan pada tradisi dan pengaruh kekuasaan politik atas agama. Namun, di dalam tradisi Cina, keberlanjutan dengan tradisi masa lalu adalah sesuatu yang dianggap penting. Ini juga berlaku untuk Zen Buddhisme yang berkembang Cina Selatan pada masa-masa itu. Mereka pun melihat Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam, sebagai leluhur mereka.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada dua aliran besar yang nantinya menyebar sampai Jepang, yakni Rinzai Zen dan Soto Zen. Kedua aliran tersebut masih ada sampai sekarang ini, dan menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya. Aliran Rinzai Zen didirikan oleh Nan-yueh Huai-jang yang hidup pada 677-744. Sementara, aliran Soto Zen dapat ditelusuri kembali pada Ch’ing-yuan Hsing-ssu yang meninggal pada sekitar 740. Huai-jang, pendiri Rinzai Zen, diduga pernah belajar langsung pada Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam. Huai-Jang nanti mempunyai seorang murid yang bernama Ma-tsu Tao-i yang hidup dari 709 sampai 788. Ma-tsu bisa dibilang melengkapi dasar dari Rinzai Zen. Ia memiliki peran yang amat besar dalam membentuk cara berpikir Buddhis yang mendasari Rinzai Zen. Saya akan mencoba menjabarkan beberapa pemikirannya sebagai dasar untuk memahami spiritualitas agama tanpa “agama.”

Nama Ma-tsu berarti juga “guru Ma”. Ia lahir di propinsi Szechuan dan telah menjadi biksu Buddhis sejak usia muda. Ketika muda, seperti banyak biksu Zen Buddhis lainnya, ia berkelana ke berbagai Kuil Buddha, dan akhirnya hidup dan belajar di Kuil Buddha yang dipimpin oleh Huai-jang di Gunung Nan-Yueh. Perjumpaan antara Ma-tsu dan Huai-jang amat terkenal. Perjumpaan ini menandakan sikap kritis Zen Buddhisme pada praktik-praktik tradisional Buddhisme yang telah ada sebelumnya, termasuk, ironisnya, praktek meditasi berjam-jam, guna sampai pada pencerahan batin. Suatu waktu, Huai-jang, sang Zen Master, melihat Ma-tsu yang sedang bermeditasi. Huai-jang pun bertanya, apa tujuannya bermeditasi. Ma-tsu segera menjawab, “Saya ingin menjadi Buddha, yakni manusia yang tercerahkan.” Huai-jang tidak menanggapi jawaban itu. Ia mengambil batu dan mulai menggosok batu itu ke batu lainnya. Ma-tsu merasa penasaran, mengapa gurunya melakukan itu. Ia pun bertanya, “Mengapa guru melakukan itu?” Gurunya menjawab, “Aku mau mengubah batu ini menjadi cermin.” Ma-tsu menanggapi, “Bagaimana mungkin?” Gurunya melanjutkan, “Bagaimana kamu bisa mencapai pencerahan batin dengan duduk dan bermeditasi?” Bagi Huai-jang, pandangan yang nantinya juga dianut oleh Ma-tsu, pencerahan batin (menjadi Buddha- manusia yang tercerahkan) adalah sebuah tindakan aktif, dan bukan tindakan pasif, seperti bermeditasi. Ia tidak dapat diraih dengan duduk diam, melainkan dengan hidup yang aktif.

Selain memiliki pemikiran yang maju, sosok fisik Ma-tsu juga amat berkesan untuk murid-muridnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, Ma-tsu memiliki tatapan mata seperti singa. Ia bisa menyentuh hidungnya dengan lidahnya.5 Di telapak kakinya, ada tanda berbentuk roda. Di antara murid-murid Huai-jang, hanya Ma-tsu yang memperoleh pengakuan untuk meneruskan ajaran-ajarannya. Namun, sumbangan tertinggi Ma-tsu bagi perkembangan Zen Buddhisme terletak pada metode mengajarnya, yakni dengan memberi kejutan mendadak pada para muridnya, sehingga mereka bisa sampai pada pencerahan batin, dan menjadi Buddha. Di dalam tradisi Zen, pencerahan batin bisa dicapai, jika orang mampu memahami hakekat dirinya sendiri. Pemahaman akan hakekat diri juga berarti pemahaman akan hakekat terdalam dunia. Namun, Hui-neng, yang dikenal sebagai Patriakh Zen keenam, tidak memberikan cara yang jelas, bagaimana orang bisa sampai pada pemahaman semacam ini. Meditasi berjam-jam dan melakukan berbagai ritual Buddhis tentu tidak cukup untuk sampai pada pencerahan batin.

Ma-tsu adalah guru Zen pertama yang mengembangkan metode tanpa meditasi dan tanpa ritual untuk mencapai pencerahan batin. Intinya adalah membawa orang keluar dari kebiasaan berpikir rasionalnya, dan masuk ke dalam kondisi “tanpa pikiran”. Ia mencoba berbagai cara, supaya orang bisa melepaskan kebiasaan berpikir logis dan rasionalnya. Pencerahan batin adalah kondisi pikiran yang melampaui nalar dan logika. Para muridnya nantinya juga akan mengembangkan beragam metode, guna memecah kebiasaan berpikir logis dan rasional. Biasanya, Ma-tsu akan mengajukan pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan logika. Ia adalah guru Zen pertama yang menggunakan metode semacam ini, guna memicu pencerahan batin murid-muridnya. Ketika ditanya oleh Ma-tsu, biasanya pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan logika, muridnya biasanya akan mengalami kebingungan. Pada saat ini, Ma-tsu akan berteriak, “HO!!”, ke telinga muridnya. Pada saat itu pula, muridnya akan mengalami kondisi di luar akal budi dan logika, yakni apa yang disebut Ma-tsu sebagai pikiran tanpa dualisme, yakni tanpa pembedaan. Semua hal, walaupun sejenak, dilihat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Cara lainnya adalah dengan memanggil nama seseorang, tepat ketika orang tersebut telah pergi dari ruangan. Tindakan ini akan menghasilkan kejutan. Selama sesaat, ia akan terputus dari rantai berpikir logis dan rasionalnya, serta merasakan hakekat aslinya yang bersifat intuitif. Cara lainnya adalah dengan memukul seorang murid, ketika ia mulai merenungkan sesuatu dengan akal budinya. Pukulan ini ditujukan untuk melepaskan orang dari renungan rasionalnya, dan masuk ke dalam ranah intuisi untuk memahami hakekat diri aslinya. Cara lainnya adalah dengan memberikan jawaban yang tidak masuk akal atas pertanyaan yang diajukan oleh murid. Tujuannya adalah, supaya murid sadar, betapa dangkal dan tidak relevannya pertanyaan yang diajukan. Ma-tsu juga sering mengirim seorang murid untuk berdiskusi dengan murid-muridnya untuk hal-hal yang tidak masuk akal. Ia berharap, sang murid bisa menyadari dangkal dan bodohnya dari pertanyaan yang ia ajukan, ketika ia berjumpa dengan berbagai pribadi lainnya yang juga mencoba menghayati Zen Buddhisme. Ma-tsu mengembangkan berbagai teknik, guna menggoyang semua kebiasaan berpikir rasional dan logis murid-muridnya. Baginya, pencerahan batin tidak akan pernah bisa dicapai dengan akal dan logika. Ia hanya bisa diraih melalui intuisi tentang hakekat terdalam dari seluruh kenyataan yang ada. Intuisi ini bersifat aktif, dan tidak bisa didapatkan begitu saja dari meditasi yang bersifat pasif. Pukulan, kejutan, jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal bisa membuat orang berpikir secara aktif, dan menemukan intuisi yang mendorong pencerahan batinnya.

Ma-tsu juga mencoba merumuskan ulang arti dari pencerahan batin yang merupakan tujuan utama dari semua praktik Buddhisme. Baginya, pencerahan batin berarti melihat ke dalam hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Dan karena hakekat diri dan hakekat dari segala yang ada adalah sama, maka melihat hakekat diri sendiri berarti juga melihat hakekat dari segala yang ada. Semua ini dilakukan tidak dengan menggunakan akal budi dan logika, melainkan intuisi. Metode untuk mengajarkan pemahaman ini tidak bisa dengan metode biasa yang digunakan, seperti menggunakan konsep dan akal budi untuk memahami sesuatu. Ini hanya akan menghasilkan pemahaman intelektual yang tidak banyak memberikan peran di dalam pencerahan batin. Seperti dijelaskan sebelumnya, Ma-tsu mencoba mengembangkan cara-cara baru untuk mengajarkan pemahaman intuitif semacam ini. Setiap gerak, bahkan diam, bisa digunakan untuk membawa orang pada pemahaman intuitif. Sakyamuni Buddha bahkan bisa mendorong muridnya untuk mencapai pencerahan batin hanya dengan memegang setangkai bunga.

Bisa juga dikatakan, bahwa inti dari pendidikan Zen adalah pemahaman intuitif. Semua orang bisa mencapai pencerahan batin, asal ia bisa melihat hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Akar dari pencerahan batin, menurut tradisi Zen, adalah pikiran manusia. Pikiran itu lalu tercermin di dalam setiap tindakan dan keputusan manusia dalam hidupnya. Pencerahan batin adalah kondisi, dimana manusia melepas semua pikiran rasional dan logisnya, serta masuk sepenuhnya ke dalam pemahaman intuitif. Segala bentuk meditasi dan ritual, jika tidak mampu menyentuh pemahaman intuitif, hanya akan menjadi tindakan yang tidak berguna. Yang hanya perlu dilakukan adalah melepas segalnya, dan menjadi alamiah seutuhnya. Kita bisa duduk, berjalan, tidur, dan memasak. Asalkan semuanya dilakukan secara alamiah dan intuitif, maka kita sedang menuju ke dalam pencerahan batin, begitu kata Ma-tsu. Pikiran harus dilepaskan dari segala kategori rasional dan logis, sehingga ia bisa menjadi bebas seutuhnya. Jangan ingin berbuat jahat, dan juga jangan ingin berbuat baik. Tidak ada hukum untuk mengatur hidup. Tidak ada pencerahan batin yang ingin dicapai. Kebebasan berpikir yang dijaga melalui intuisi dan menolak untuk menggantungkan diri pada apapun, itulah pencerahan batin, bagi Ma-tsu.

Ma-tsu, sebagai seorang tokoh penting di dalam tradisi Zen Buddhisme, tidak hanya menolak ritual yang menjadi ciri tradisional dari Buddhisme, tetapi juga merumuskan ulang arti dari pencerahan batin itu sendiri. Baginya, pencerahan batin bukanlah sebuah konsep religius yang suci dan luhur, melainkan suatu keadaan manusiawi yang bisa dialami setiap orang. Ma-tsu sendiri telah mempelajari Buddhisme tradisional dengan segala teks dan ritualnya. Namun, baginya, itu semua hanya alat untuk mencapai pencerahan batin. Ada cara lain yang mungkin lebih baik, yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan yang sama. Ma-tsu menggunakan bahasa sehari-hari untuk mengajarkan Zen kepada orang banyak, supaya mereka juga bisa sampai pada pencerahan batin. Kuncinya adalah melihat ke dalam hakekat diri sendiri secara intuitif. Tidak ada usaha manusia yang bisa dicapai untuk mencapai pencerahan batin, kecuali menyingkirkan semua pikiran logis dan rasional, dan kemudian menunggu momen pencerahan batin. Tentu saja, sebagai guru Zen, Ma-tsu berusaha menemukan cara-cara baru untuk mendorong orang melepaskan pikiran logis dan rasionalnya.

Meditasi hanya salah satu jalan untuk mencapai pencerahan batin. Itu pun, bagi Ma-tsu, bukanlah jalan yang paling baik. Sejauh sebuah cara mampu mendorong munculnya intuisi atas dunia, maka cara itu yang paling diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Selama sebuah cara mampu mendorong pembebasan pikiran dari berbagai analisis rasional dan logika, maka cara itulah yang perlu diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Ketika pikiran manusia terjebak di antara kutub-kutub, misalnya benar-salah, baik-buruk dan hidup-mati, maka ia akan terus terjebak dalam kebingungan dan penderitaan hidup. Ia tidak akan bisa sampai pada pencerahan batin. Dasar dari pencerahan batin, bagi Ma-tsu, adalah kebenaran itu sendiri. Namun, kebenaran itu bukanlah konsep “kebenaran” yang bersifat rasional dan logis, melainkan intuisi tentang kebenaran yang lahir dari persentuhan langsung dengan kenyataan yang ada, tanpa konsep dan tanpa pikiran. Semua ini bisa dilakukan dalam hidup sehari-hari, yakni ketika orang menjalani hidupnya sehari-hari dengan intuisi penuh akan hakekat dari kenyataan yang ada, tanpa pertimbangan rasional dan logis, dan tanpa pertimbangan baik-buruk.

Dengan sikap hidup semacam ini, orang akan mencapai pencerahan batin. Dengan pencerahan batinnya, ia akan bersikap sesuai dengan yang dibutuhkan pada keadaan tertentu yang ada di depan matanya. Ia akan menjadi pribadi yang tanggap terhadap keadaan yang ada, dan bukan pribadi yang cuek atau justru reaksioner-emosional, seperti kebanyakan orang, ketika menghadapi keadaan yang jelek. Pemahaman intuitif, yang merupakan inti dari Zen Buddhisme ini, dapat diperoleh dengan mendengar berbagai cerita pendek yang berkembang dari pembicaraan antara guru dan murid di dalam tradisi Zen Buddhisme. Cerita ini menjadi dasar untuk mencapai pengalaman akan intuisi. Orang yang mendengar cerita-cerita ini lalu juga bisa berkaca, dan melihat pengalaman serta hakekat dirinya sendiri. Di samping cerita-cerita pendek semacam ini, Ma-tsu juga menggunakan metode lama, yakni memberikan kuliah umum. Di dalam kuliah-kuliah ini, Ma-tsu tidak memberikan pemahaman baru, melainkan metode baru untuk mengajak orang menemukan intuisinya. Thomas Hoover menafsirkan, bahwa inti dari kuliah-kuliah Ma-tsu adalah penegasan, bahwa dunia adalah semata pikiran manusia. Pencerahan batin hanya dapat dicapai, jika orang menyadari hal ini tidak dengan akal budi dan logikanya, melainkan dengan intuisinya.

Pikiran manusia, bagi Ma-tsu, adalah Buddha. Buddha, atau kondisi pencerahan batin, tidak berada di luar manusia, melainkan di dalam pikirannya. Orang yang mencari pencerahan batin di luar dirinya tidak akan menemukan apapun, karena tidak ada yang dicari. Pikiran yang bersih dari segala “pikiran” adalah Buddha. Tidak ada pembedaan antara baik dan buruk, karena pikiran yang asali, yakni pikiran yang bersih, melampaui semua pembedaan yang biasa kita temukan di dalam dunia. Di dalam hidup, menurut Ma-tsu, kita tidak boleh memilih yang baik dan menolak yang buruk. Keduanya merupakan gangguan pada kemurnian pikiran kita. Keduanya adalah kosong dan ilusi yang harus dihindari, jika orang ingin mencapai pencerahan batin. Nilai baik dan buruk adalah hasil ciptaan manusia. Ia masih terjebak pada dunia sosial. Yang lebih dalam lagi adalah intuisi tentang kenyataan yang berada melampaui penilaian baik dan buruk tersebut. Di dalam intuisi ini, dunia adalah satu. Ia tidak dipisahkan oleh kutub-kutub penilaian. Inilah yang disebut sebagai pemikiran non-diskriminatif, yakni pemikiran yang tidak lagi membeda-bedakan. Jika orang memahami ini dengan intuisinya, maka segala bentuk pembedaan akan menjadi tidak berarti baginya.

Jika dunia adalah ciptaan dari pikiran, dan pikiran manusia mesti dilampaui untuk sampai pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin, maka dunia pun sejatinya adalah sesuatu yang harus dilampaui dengan intuisi. Segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah kekosongan. Ia terus berubah, karena ia tidak memiliki hakekat yang tetap, demikian kata Ma-tsu. Jika ia tampaknya ada, maka itu adalah ciptaan dari pikiran kita yang juga nantinya akan berubah. Segala yang ada adalah pantulan dari pikiran, dan pikiran manusia juga sejatinya adalah kekosongan itu sendiri. Ini adalah pemahaman dasar dari pencerahan batin di dalam Zen Buddhisme, menurut Ma-tsu. Jika orang memahami ini tidak secara rasional dan logis, melainkan secara intuitif, maka ia akan menjalani hidupnya dengan tenang, seolah semuanya transparan dan kosong. Dengan pola hidup semacam ini, ia pun lebih terdorong untuk meningkatkan mutu hidup spiritualnya. Inilah inti dari segala latihan di dalam Zen Buddhisme, menurut Ma-tsu. Pencerahan batin berarti menghadapi hidup dan melihat diri sendiri serta segala pikiran yang ada sebagai sesuatu yang kosong dan ilusif. Pengetahuan intelektual tentang hal ini tidaklah mencukupi untuk sampai pada pencerahan batin. Orang harus mengalami kekosongan ini secara intuitif. Di dalam salah satu Koan, Ma-tsu berdiskusi dengan salah satu muridnya tentang hakekat dari Zen Buddhisme. Muridnya bertanya, “Apa itu Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Pikiran adalah Buddha. Tidak ada pikiran, tidak ada Buddha.” Dalam arti ini, Buddha adalah kondisi pencerahan batin.

Dari dialog ini bisa disimpulkan, bahwa pencerahan batin adalah kondisi pikiran manusia. Maka, pencerahan batin berarti juga pencerahan pikiran. Kenyataan dan dunia adalah ciptaan dari pikiran manusia. Tidak ada pencerahan batin di luar pencerahan pikiran manusia. Ada cerita lainnya. Seorang murid bertanya kepada Ma-tsu, “Apakah pikiran sungguh adalah Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Karena aku ingin menghentikan tangis seorang bayi.” Sang murid merasa bingung dengan jawaban itu. Ia pun melanjutkan, “Ketika tangisnya berhenti, lalu apa?” Ma-tsu menjawab, “Bukan pikiran, bukan Buddha.” Sang murid kembali menjawab, “Bagaimana kamu mengajarkan orang untuk bisa berpikir seperti itu?” Kata Ma-tsu, “Saya akan bilang pada mereka, ‘bukan-pikiran’, ‘bukan-sesuatu’.” Kata muridnya, “Jika kamu bertemu dengan orang yang telah bebas dari keterikatan dengan segala sesuatu, apa yang akan kamu katakan padanya?” Jawab Ma-tsu, “Saya akan membiarkan dia mengalami Tao yang sesungguhnya.” Tao disini berarti “jalan” menuju pencerahan batin.

Dari dialog ini, seperti dinyatakan oleh Hoover, kita bisa melihat ciri khas dari cara mengajar Ma-tsu. Terkadang, ia menggunakan kata-kata positif. Lalu, ia berubah menggunakan kata-kata negatif. Dua bentuk kalimat ini jelas mengundang kebingungan dari pendengarnya. Namun, gaya semacam ini haruslah dimengerti dalam konteks tujuan pendidikan Zen, yakni mengajak orang untuk melampaui cara berpikir logis dan rasional, lalu memasuki pemahaman yang bersifat intuitif, dimana paradoks dan kontradiksi menjadi ciri yang utama. Metode dialog ini dapat juga dimengerti sebagai dialektika, yakni pengembangan argumen melalui percakapan timbal balik. Dan tujuan yang ingin dicapai, yakni pemahaman intuitif tentang hakekat dari segala sesuatu, dapat dimengerti sebagai transrasionalitas, yang berarti melampaui rasionalitas. Hoover memberikan contoh lainnya dari dialog antara Ma-tsu dengan muridnya. Suatu waktu, seorang murid bertanya kepada Ma-tsu tentang kesehatan tubuhnya. Ma-tsu menjawab, “Buddha berwajah matahari, Buddha berwajah bulan.” Di dalam tradisi Zen Buddhisme, Buddha berwajah matahari hidup selamat 1800 tahun. Sementara, Buddha berwajah bulan hanya hidup satu hari dan satu malam. Dari jawaban ini, Ma-tsu ingin menunjukkan, betapa tidak pentingnya pertanyaan dari muridnya tersebut. Tubuh fisik sama sekali tidak memiliki nilai. Yang sungguh bernilai adalah kondisi pikiran.

Tujuan dari pendidikan Zen, bagi Ma-tsu, adalah melepaskan manusia dari logika dan pembedaan-pembedaan yang ia buat di dalam hidupnya, misalnya pembedaan antara baik dan buruk, benar dan salah, aku dan kamu, dan sebagainya. Ada lagi cerita lainnya yang dikutip Hoover untuk menjelaskan, bagaimana Ma-tsu membongkar cara berpikir muridnya yang masih terjebak pada pembedaan-pembedaan di dalam kenyataan. Cara berpikir yang membeda-bedakan ini disebut juga sebagai dualisme. Seorang guru Zen bertanya kepada Ma-tsu, “Apa yang diajarkan oleh para guru Zen?” Ma-tus kemudian menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Apa yang telah kau ajarkan?” Sang guru Zen menjawab, bahwa ia telah mengajarkan tentang Sutra dan Sastra dari Buddha. Semua itu merupakan teks-teks tradisional yang menjadi dasar bagi Buddhisme. Ma-tsu kemudian menanggapi, “Apakah kamu seekor singa?” Sang guru Zen menjawab, “Saya tidak mau menjawab pertanyaan itu.” Ma-tsu kemudian menghembuskan nafasnya, tanda kecewa. Sang guru Zen kembali bertanya, “Apakah ini cara mengajarkan Zen?” Ma-tsu menanggapi, “Apa maksudmu? Cara singa keluar dari kandang? Ketika tidak ada jalan keluar dan jalan masuk, apa itu lalu?” Sang guru Zen tidak menjawab.

Salah satu gaya mengajar Ma-tsu adalah dengan mengajukan pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan akal dan logika. Ini yang di dalam tradisi Zen Buddhisme disebut sebagai Mondo. Pertanyaan yang diajukan kerap kali tak berhubungan dengan konteks percakapan. Orang yang mendengar pun akan bingung, karena ia seolah terputus dari rantai logika dan akal budi. Pada titik inilah, menurut saya, dialektika transrasionalitas menemukan puncaknya. Cara mengajar yang dikembangkan oleh Ma-tsu ini merupakan pengembangan dari apa yang telah dimulai oleh Patriakh Zen keenam, yakni Hui-neng. Inti dari Mondo adalah penegasan, bahwa dunia dan segala kenyataan yang ada merupakan bentukan dari pikiran kita, dan segala sesuatu harus dikembalikan pada pikiran itu sendiri. Hoover memberikan satu contoh lainnya.

Seorang biksu menggambar empat garis di depan Ma-tsu. Garis yang atas panjang, dan tiga garis lainnya pendek. Ia kemudian bertanya kepada Ma-tsu, “Selain menyatakan, bahwa satu garis atas panjang dan tiga garis lainnya pendek, apalagi yang dapat kamu katakan?” Ma-tsu kemudian menggambar satu garis di tanah dan berkata, “Ini bisa disebut panjang atau pendek. Inilah jawabanku.” Sekali lagi, Ma-tsu menegaskan, bahwa bahasa itu tidak mampu menyampaikan kerumitan kenyataan. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, bahasa itu menipu. Namun, ini bukan berarti, bahwa bahasa sama sekali tidak berguna. Bahasa bisa merumuskan kalimat yang logis. Akan tetapi, ia juga bisa jadi alat untuk mematahkan logika dan melampaui akal budi, yakni dengan memasuki ruang irasionalitas, dan mengajak orang untuk masuk ke dalam pemahaman intuitif. Di dalam pendidikan Zen, bahasa justru berguna, ketika ia tidak menyampaikan apa yang ingin disampaikan.

Ma-tsu hidup di dalam sebuah tradisi Zen dari Cina Selatan. Di dalam tradisi ini, pencerahan batin adalah proses yang bisa terjadi secara tiba-tiba, karena sebuah peristiwa yang dialami secara intuitif. Namun, melampaui para guru Zen sebelumnya, Ma-tsu berhasil menemukan cara untuk memicu pencerahan batin yang bersifat tiba-tiba ini. Caranya adalah dengan melalui teriakan dan pukulan ke tubuh untuk mendorong orang keluar dari delusinya, dan mencapai pencerahan batin. Cara semacam ini nantinya akan berkembang di tangan murid-murid dari Ma-tsu. Salah satunya adalah Lin-chi yang akan dibahas di bagian berikutnya. Cara mengajar semacam ini juga akan berkembang di dalam tradisi Rinzai-Zen yang masih hidup dan berkembang terus di Jepang, Amerika dan Eropa. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, percakapan sehari-hari juga menjadi metode mengajar Ma-tsu. Misalnya, seperti dikutip oleh Hoover, seorang biksu bertanya kepada Ma-tsu, “Apa tujuan dari Bodhidharma (pendiri Zen di Cina) datang ke dari India? Dan apa prinsip dasar dari Zen?” Tiba-tiba, Ma-tsu memukulnya, sambil berkata, “Jika saya tidak memukulmu, semua orang di tempat ini akan menertawakan saya.” Si biksu mencoba bangun, setelah terjatuh, karena pukulan Ma-tsu. Tiba-tiba, ia baru saja merasakan kenyataan disini dan saat ini. Ia mengalami pencerahan batin disitu.

Tidak semua pukulan dimaksudkan untuk mendorong lahirnya pemahaman intuitif. Tidak semua bentakan akan mendorong pencerahan batin. Ma-tsu memukul murid-muridnya dan orang-orang yang mengajukan pertanyaan kepadanya dengan tujuan untuk mengajak mereka mencerap saat ini dan disini. Ia ingin memecah kecenderungan berpikir logis dan rasional dengan mengajak mereka memasuki saat “kaget”, yakni saat dimana intuisi menjalankan perannya. Ada satu pengandaian yang menarik untuk ditelaah lebih dalam disini, bahwa pencerahan batin, atau menjadi Buddha, yang merupakan tujuan utama Buddhisme, tidak hanya merupakan pengalaman batin, tetapi juga pengalaman badan. Maka dari itu, ia pun bisa dicapai dengan kontak badan, seperti pukulan. Ada satu cerita lainnya, dimana Ma-tsu juga mengalami “kontak badan”.

Suatu waktu, Ma-tsu sedang duduk di kebun. Muridnya mendorong kereta. Posisi duduk Ma-tsu menghalangi muridnya tersebut. Muridnya meminta Ma-tsu untuk mengubah posisi duduknya, supaya kereta bisa lewat. Ma-tsu pun berkata, “Apa yang sudah dibuka tidak bisa ditutup lagi.” Muridnya menanggapi, “Apa yang sudah didorong maju tidak lagi dapat ditarik ke belakang.” Ia mendorong terus keretanya, dan menabrak kaki Ma-tsu. Kakinya pun cedera. Tak berapa lama kemudian, Ma-tsu masuk ke kuil. Sambil memegang kapak tajam, ia berkata, “Siapa yang tadi melindas kaki saya silahkan maju ke depan!” Sang murid pun tak ragu untuk menyatakan dirinya. Ia memberikan lehernya untuk dipotong oleh Ma-tsu. Namun, Ma-tsu tidak melakukan apapun, dan menurunkan kapaknya. Inilah suasana hubungan antara Ma-tsu dan murid-muridnya pada tahun 750 di Cina. Ia juga harus rajin dan cerdas dalam ranah praktis dan ranah spiritual, supaya bisa menjadi contoh dan kemudian membimbing murid-muridnya.

Zen Buddhisme hendak mengajak orang untuk menata pikirannya yang kerap tak beraturan. Sumber dari segala penderitaan dan juga kebahagiaan manusia adalah pikirannya. Jika pikirannya tak beraturan, misalnya tercampur dengan kenangan menyakitkan dari masa lalu dan harapan yang berlebihan akan masa depan, maka ia akan menderita. Jika pikirannya tertata, dan berakar di keadaan disini dan saat ini, maka ia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Jadi, kuncinya adalah menata pikiran. Di dalam tradisi Zen Buddhisme di Cina, pikiran-pikiran tak beraturan manusia kerap dilihat sebagai seekor banteng. Ia sulit diatur, sehingga bisa merusak segala yang ada di sekitarnya. Ia bukanlah binatang jahat, hanya sulit diatur. Dengan cara mengajar dan pandangannya yang unik, Ma-tsu juga mencoba untuk masuk ke dalam persoalan ini. Suatu waktu, Ma-tsu bertanya kepada muridnya, “Apa yang kamu lakukan?” Pertanyaan semacam ini tidak pernah boleh dijawab dengan logika dan rasionalitas biasa, terutama jika ditanyakan oleh Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Saya sedang menggembala banteng.” Artinya, ia sedang berusaha menata pikirannya. “Bagaimana kamu melakukannya?”, tanya Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Kapanpun si banteng ingin makan rumput, saya memukulnya di hidung, supaya ia kembali tegak.” Ma-tsu agak kaget mendengar tanggapan tersebut. Ia pun berkata, “Jika kamu bisa melakukan itu sendiri, maka lebih baik saya pensiun.”

Mengatur pikiran adalah keutamaan yang amat penting di dalam tradisi Zen Buddhisme. Namun, menata pikiran, yang juga berarti menata keseluruhan diri, bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya cara untuk mencapai tujuan lain. Segala aturan di dalam tradisi Zen, yang memang bertujuan untuk menata pikiran, adalah alat untuk mencapai tujuan lain, yakni pencerahan batin. Ketika orang mencapai pencerahan batin, maka pencerahan batin tidak lagi berarti baginya. Bahkan, pencerahan batin akan tampak seperti lelucon belaka. Konsep dan bahasa yang digunakan pun juga harus dilihat sebagai alat, dan tidak boleh dianggap sebagai kebenaran itu sendiri. Suatu waktu Ma-tsu kedatangan tamu seorang pejabat besar. Sang pejabat berkata, “Guru, haruskah aku makan daging dan minum anggur?” Ma-tsu tidak memberikan jawaban langsung. Ia mengajukan sebuah cara berpikir. “Makan dan minum adalah hakmu sebagai manusia. Tidak makan daging dan minum anggur adalah kesempatanmu untuk mendapat berkat lebih tinggi.” Dalam konteks ini, Ma-tsu menjawab dengan bahasa yang singkat. Ia tidak mau memberi kesan, bahwa bahasa-bahasa yang indah dan rumit akan memberikan pencerahan batin. Justru sebaliknya, bahasa yang rumit dan indah akan menjauhkan orang dari pemahaman.

Suatu waktu, seorang biksu mengajukan pertanyaan kepada Ma-tsu. “Apa artinya, bahwa Bodhidharma datang ke Cina?” Ma-tsu menjawab, “Apa maksud pertanyaanmu saat ini?” Zen Buddhisme bukanlah soal teori dan abstraksi atas peristiwa. Ia bukanlah analisis sebab akibat dari suatu peristiwa. Yang menjadi fokus utama dari Zen adalah dirimu disini dan saat ini. Pada titik tertentu, diri akan menghilang, dan orang akan sampai pada pencerahan batin. Hampir setiap hari, Ma-tsu mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya. Ia juga terlibat dalam berbagai interaksi dengan muridnya yang bertujuan untuk mendorong muridnya mencapai pemahaman intuitif dan pencerahan batin. Suatu hari, Ma-tsu sedang duduk bersama tiga orang muridnya. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang ini?” Murid pertama menjawab, “Akan sangat baik, jika membaca tulisan-tulisan orang-orang dari masa lalu yang telah mengalami pencerahan batin.” Murid kedua menjawab, “Akan lebih baik lagi, jika kita bermeditasi.” Murid ketiga tidak berkata apa-apa. Ia berdiri, membersihkan pakaiannya dan meninggalkan ruangan. Bagi Ma-tsu, inilah jawaban yang “paling tepat”. Sikap ini, bagi Ma-tsu, adalah tanda, bahwa tindakan nyata, yakni berdiri dan meninggalkan ruangan, lebih berharga daripada abstraksi dan tindakan religius.

Hoover menegaskan, bahwa dengan metodenya yang unik, Ma-tsu memiliki 139 murid yang telah mengalami pencerahan batin. Mereka akhirnya menyebar, dan menjadi guru Zen di berbagai biara Buddhis di Cina. Mereka di kenal sebagai Zen dari Selatan, yakni dari Cina bagian Selatan. Sepanjang hidupnya, Ma-tsu tidak pernah menulis. Cerita tentang kisah hidupnya diperoleh dari catatan para muridnya. Konon, seperti dicatat oleh Hoover, ia meninggal dengan cara yang sama seperti guru-guru Zen lainnya. Ia meramalkan kematiannya sebulan sebelumnya. Ketika waktunya tiba, ia mandi, bermeditasi dan meninggal dalam keadaan tenang.
  1. Lin-chi dan Dialektika Transrasionalitas
Buddhisme mengalami masa-masa berat sekitar tahun 845 di Cina. Banyak aliran-aliran Buddhisme hancur. Namun, Zen, karena terpisah dari politik dan berkembang di kota-kota kecil, tetap bertahan, bahkan berkembang. Ia menjadi aliran Buddhisme utama yang berkembang di Cina. Dengan posisi semacam ini, ia semakin berani mengembangkan ide-ide baru, dan semakin berjarak dari Buddhisme yang berkembang di India dan Tibet. Pengaruh Bodhidharma, sang perintis Zen di Cina, dan Ma-tsu, yang mengembangkan metode mengajar baru di dalam Zen, amatlah kuat. Lin-chi, sebagai seorang guru Zen, juga berada di dalam garis ajaran Zen yang dikembangkan oleh Ma-tsu. Ia juga dikenal sebagai pendiri Rinzai Zen yang kini tersebar di Jepang, Eropa dan Amerika. Sama seperti Ma-tsu, Lin-chi juga mengembangkan metode dialektis, yakni melalui percakapan timbal balik antara guru dan murid, guna mendorong terjadinya pencerahan batin. Ia lahir di propinsi Shantung yang waktu itu dikenal sebagai daerah Nan-hua.

Sebagai anak muda, ia dikenal amat cerdas dan berperilaku baik. Di dalam tradisi Cina, dua hal ini adalah sikap-sikap yang diharapkan dari seorang anak muda. Sejak muda, ia sudah tertarik pada Buddhisme, walaupun tidak secara khusus pada Zen. Ia mencukur kepalanya dan kemudian menjadi seorang biksu. Awalnya, ia mempelajari Sutra, yakni tulisan-tulisan yang dianggap suci di dalam tradisi Buddhisme. Ia juga menekuni berbagai peraturan tradisional di dalam tradisi Buddhisme. Namun, pada usia sekitar 28 tahun, ia mulai merasa, bahwa hal-hal yang ia tekuni tersebut tidaklah cukup. Ia lebih tertarik mendalami pengetahuan intuitif yang mendorong pada pencerahan batin, seperti yang menjadi model pendidikan Zen Buddhisme. Ia merasa pengetahuan semacam ini lebih berharga dari pengetahuan yang berpijak pada tradisi. Ia pun mulai tergerak untuk mencari seorang guru, guna membimbingnya ke arah pencerahan batin. Di dalam perjalanan, ia berjumpa dengan Huang-po, salah satu guru Zen yang berdiri di dalam tradisi Zen aliran Selatan, seperti Ma-tsu.

Lin-chi sudah menjadi seorang biksu, ketika ia pertama kali berjumpa dengan Huang-po. Namun, cara berpikirnya sangat tradisional, karena ia dididik secara intensif di dalam tradisi Buddhisme tradisional. Setelah hidup di satu biara Buddhisme tradisional selama tiga tahun, Lin-chi merasa tidak mendapatkan apapun. Ia pun menjalankan saran temannya untuk berguru pada Huang-po, salah satu murid dari Ma-tsu. Ketika berjumpa dengan Huang-po, Lin-chi mengajukan pertanyaan, “Apa maksudnya Bodhidharma datang dari Barat?” Huang-po tidak menjawab, dan malah memukulnya dengan tongkat. Tentu saja, Lin-chi kaget. Ia segera kembali menceritakan pengalaman ini pada temannya yang juga seorang biksu. Temannya menyarankan, supaya ia kembali ke Huang-po. Lin-chi pun kembali, dan mendapatkan kembali perlakuan yang sama, yakni dipukul dengan tongkat. Ia merasa amat kecewa, dan memutuskan untuk meninggalkan biara, dan mencari pencerahan batin di tempat lain. Juga atas saran Huang-po, guru Zen yang memukulnya dengan tongkat, Lin-chi pergi ke biara Zen terdekat yang dipimpin oleh Ta-yu.

Pertama kali berjumpa dengan Ta-yu, Lin-chi menceritakan pengalamannya dipukul dengan tongkat oleh Huang-po. Ta-yu mendengar dengan sabar. Ia pun berkata, “Huang-po bertindak dengan penuh kasih kepadamu. Ia hanya ingin melepaskan kamu dari kebingungan.” Lin-chi pun sadar, bahwa Huang-po sedang berusaha menjelaskan pemahaman intuitif yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Seperti Ma-tsu, Huang-po berpendapat, bahwa pemahaman sesungguhnya tentang pencerahan batin terdapat di dalam intuisi, dan bukan pada rumusan kata-kata. Mendengar tanggapan dari Ta-yu, Lin-chi kemudian berpikir di dalam benaknya, bahwa inti dari Zen adalah kekosongan itu sendiri, dan kekosongan itu tidak pernah dapat diungkapkan dengan kata-kata apapun. Ta-yu kemudian bertanya, “Apa yang kau pikirkan?” Lin-chi memukul Ta-yu tiga kali. Tanggapan spontan terhadap peristiwa adalah tanda pencerahan batin, yakni tanggapan yang tidak lagi berpijak pada pikiran, melainkan pada intuisi yang bersifat langsung. Ta-yu menanggapi, “Gurumu adalah Huang-po. Saya tidak ada urusan dengan kamu.” Lin-chi pun kembali ke biara Huang-po, setelah ia mendapatkan pencerahan batin.

Ketika berjumpa dengan Lin-chi, Huang-po berkata, “Bukankah kamu kembali terlalu cepat? Kamu baru saja pergi.” Lin-chi pun menceritakan pengalamannya untuk sampai pada pencerahan batin. Huang-po berkata, “Ta-yu sungguh bermulut besar! Kalau saya berjumpa dengannya, saya akan memukulnya dengan tongkat.” Lin-chi menanggapi, “Tunggu, saya bisa memberikannya sekarang.” Ia pun menampar Huang-po. Setelah itu, hubungan guru dan murid tersebut dipenuhi dengan pukulan dan teriakan. Semuanya menjadi alat untuk mengajarkan pemahaman intuitif yang melampaui kata-kata. Pengalaman Lin-chi adalah pengalaman “pencerahan batin tiba-tiba”. Biasanya, orang butuh puluhan tahun untuk mengalaminya, terutama mereka yang dididik di dalam Buddhisme tradisional. Lin-chi mendapatkannya hanya dengan menyadari pukulan yang ia terima dari Huang-po sebagai ajakan untuk keluar dari pemahaman rasional, dan memasuki pemahaman intuitif. Hoover mengutip pernyataan langsung dari Lin-chi, “Dulu saya membaktikan hidup untuk mempelajari teks-teks suci Buddhisme. Sekarang, saya membuang semua itu, dan mencari jalan lain, yakni melakukan meditasi. Kemudian, saya berjumpa dengan guru-guru hebat… setelah melalui proses yang lama dan displin yang berat, dalam sekejap, saya mengetahui, siapa diri saya sebenarnya.”

Pencerahan batin yang dialami oleh Lin-chi amatlah tiba-tiba dan memiliki pengaruh besar pada cara pandangnya pada hidup, seperti layaknya seorang pecandu yang berhenti dari kecanduannya. Sebagai akibatnya, ia melakukan kritik tajam pada semua ajaran Buddhisme tradisional yang dianggapnya menghambat pencerahan batin, termasuk pemujaan pada para pendiri dan penyebar Zen Buddhisme di Cina. Ia menghancurkan kepercayaannya yang lama. Hoover mengutip perkataan Lin-chi, “Para pencari pencerahan batin, jika kamu ingin mendapatkan pengetahuan yang sejati tentang Dharma, janganlah mengikuti pandangan yang salah dari orang lain. Apapun yang kamu temukan, baik itu di dalam maupun di luar, hancurkanlah segera. Ketika melihat Buddha, bunuhlah dia. Ketika bertemu dengan para pendiri Zen, bunuhlah mereka. Ketika berjumpa dengan orang suci, bunuhlah dia. Ketika berjumpa dengan orang tuamu, bunuhlah mereka. Ketika berjumpa dengan teman sebangsamu, bunuhlah mereka juga. Hanya dengan begitu, kau sampai pada kebebasan. Dengan tidak terikat pada apapun, kamu bebas melakukan apapun.” Setelah perjumpaan-perjumpaan awal yang mendorong Lin-chi ke arah pencerahan batin, hubungannya dengan Huang-po pun semakin dekat. Latar belakang dialognya adalah kehidupan sehari-hari di biara Zen Buddhis, seperti ketika sedang bercocok tanam, atau sekedar berpapasan di koridor biara. Hoover menegaskan, bahwa latar belakang percakapan mereka menunjukkan juga kehidupan yang amat aktif di dalam biara-biara Zen Buddhisme di Cina pada masa itu. Hoover mengutip salah satu percakapan Lin-chi dan Huang-po yang paling terkenal. Suatu hari, Huang-po dan Lin-chi sedang berjalan bersama untuk bekerja di kebun bersama biksu-biksu yang lain. Huang-po kemudian sadar, bahwa Lin-chi tidak membawa apapun di tangannya. Ia pun bertanya, “Dimana cangkulmu?” Lin-chi menjawab, “Ada orang yang mengambilnya.” Mendengar itu, Huang-po pun berkata, “Mari kesini, kita berdiskusi tentang sesuatu.” Lin-chi pun mendekat. Kata Huang-po, “Tidak ada orang di dunia ini yang dapat mengangkat cangkulku.” Lin-chi bereaksi spontan, “Jika itu benar, mengapa aku dapat mengangkat cangkul ini?” Mendengar itu, Huang-po menjawab, “Hari ini, sudah banyak yang bekerja. Saya tidak perlu ikut serta.” Ia pun kembali ke biara.

Cerita ini, seperti banyak Koan lainnya, mengundang banyak tafsiran. Salah satu tafsiran menyatakan, bahwa cangkul melambangkan otoritas kepala biara di kuil Huang-po. Dari cerita ini dapatlah disimpulkan, bahwa Lin-chi kini menjadi kepala biksu yang memimpin biara Huang-po. Di dalam tradisi Zen Buddhisme, inilah yang disebut sebagai transmisi tanpa kata, di mana pemahaman intuitif terdalam tentang Zen Buddhisme tidak disampaikan dengan bahasa yang runut dan logis, melainkan secara simbolik. Percakapan antara seorang guru Zen tidaklah pernah hanya sekedar percakapan harafiah. Cangkul tidak dapat dilihat sebagai cangkul. Ia melambangkan sesuatu yang lain, yang tentunya harus ditafsirkan secara spontan dan intuitif oleh sang murid. Hoover mengutip cerita lainnya. Suatu hari, Huang-po mengajak seluruh muridnya untuk bekerja di kebun teh. Ia datang terlambat. Ketika ia tiba di kebun teh, Lin-chi menyapanya. Pada saat itu, Lin-chi sedang meletakkan cangkulnya, dan beristirahat sejenak. Huang-po pun bertanya, “Apakah kamu lelah?” Lin-chi spontan menjawab, “Saya baru saja bekerja, mengapa kamu bertanya seperti itu?” Tiba-tiba, Huang-po mengambil tongkat dan memukul Lin-chi. Lin-chi menanggapi dengan menangkap tongkat itu, dan mendorong Huang-po, sehingga ia terjatuh ke tanah. Seorang biksu lain membantu Huang-po berdiri. Si biksu berkata, “Jangan biarkan orang gila itu menghinamu seperti itu!” Huang-po justru mengambil tongkat, dan memukul si biksu. Lin-chi terus menggali tanah dengan cangkulnya, sambil berkata, “Tempat lain boleh menggunakan kremasi untuk membakar mayat. Disini, saya akan menguburmu hidup-hidup.”

Bagi Hoover, pernyataan Lin-chi tersebut dapatlah dianggap sebagai penegasan kembali, bahwa ia adalah pimpinan biara berikutnya. Pernyataan itu juga menegaskan, bahwa diri Lin-chi yang lama, yang masih terikat pada norma moral dan sopan santun, telah mati. Yang tersisa adalah Diri yang sejati, yang tercerahkan, dan melampaui semua norma-norma yang telah ada di dalam masyarakat. Inilah inti pencerahan batin di dalam tradisi Zen Buddhisme, yakni bahwa orang menjadi dirinya sendiri yang sejati. Dirinya yang lama sudah mati, walaupun tubuhnya tetap hidup. Ia pun menjadi Buddha, yakni manusia yang tercerahkan. Sejak saat itu, Huang-po tidak lagi ragu, bahwa Lin-chi adalah penerusnya di dalam tradisi Zen, yakni orang yang akan meneruskan tradisi Zen Buddhisme berikutnya. Di dalam hidup sehari-hari, Lin-chi pun mendapat kemudahan. Ia seringkali datang terlambat dan pergi lebih cepat di dalam acara-acara komunitas. Melihat itu, Huang-po hanya diam saja, karena ia tahu, Lin-chi kini sudah hidup tidak lagi dengan diri yang berada di dalam norma-norma sosial, tetapi Diri yang sejati. Tidak ada lagi yang dapat mengaturnya.

Suatu hari, Lin-chi melihat Huang-po yang sedang membaca teks-teks klasik Buddhisme. Lin-chi pun berkata, “Saya pikir, kamu adalah manusia sempurna. Namun, ternyata kamu hanyalah biksu tua yang ketinggalan jaman, yang sedang menelan kacang hitam.” Kacang hitam disni adalah huruf-huruf Cina yang menjadi bahasa resmi dari teks-teks klasik Buddhisme di Cina. Tak lama kemudian, Lin-chi menerima simbol pencerahan dari Huang-po. Ia pun pergi dari biara Huang-po, dan mencari jalannya sendiri. Kemudian, ia menjadi pimpinan dari sebuah kuil kecil dekat sungai di propinsi Hopei. Tak lama kemudian terjadi konflik di tempat tersebut. Ia pun terpaksa harus meninggalkan kuil. Konflik tersebut, menurut Hoover, terkait dengan penyerangan terhadap kuil-kuil Buddhisme yang terjadi pada tahun 845. Walaupun menjalani masa-masa sulit, Lin-chi tetap setia pada jalan hidup Zen-nya. Suatu hari, Lin-chi menghadiri acara makan bersama. Di pintu gerbang, ia berjumpa dengan seorang tentara. Lin-chi pun bertanya, “Apakah pilar yang menyangga pintu ini suci atau tidak?” Si tentara diam saja. Sambil memukul pilar, Lin-chi berkata, “Walaupun kamu bisa bicara, pilar ini tetap hanya merupakan kayu biasa.” Ia pun masuk ke dalam.

Dengan dialog ini, menurut saya, Lin-chi hendak mengaburkan perbedaan antara yang suci dan yang sekular. Baginya, pembedaan semacam itu adalah hasil dari pikiran dualistik yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang terdiri dari bagian yang terpisah-pisah. Pencerahan batin di dalam Zen Buddhisme hendak melampaui semua perbedaan itu, dan melihat segalanya sebagai satu kesatuan yang utuh. Setelah diusir dari biara lamanya karena konflik setempat, Lin-chi pun pindah ke kota sebelah. Disana, ia berkenalan dengan penguasa setempat, dan memperoleh rumah untuk membangun biaranya sendiri. Bahkan, sang penguasa setempat menggantung papan nama bertuliskan “Lin-chi” di pintu gerbang tersebut, supaya Lin-chi merasa betah disana. Namun, juga karena ketegangan politik setempat, ia harus pindah lagi. Kali ini, ia pindah ke Selatan, yakni ke Propinsi Ho. Penguasa setempat, yakni Wang, melihat kebijaksanaan di dalam diri Lin-chi. Hubungan keduanya, menurut Hoover, menjadi ciri dari Zen Buddhisme di Cina pada masa itu, yakni melepaskan semua kaitan dengan Buddhisme tradisional. Menurut Hoover, langkah ini amatlah tepat, mengingat Buddhisme dalam artiannya yang tradisional mulai ditinggalkan dan bahkan dihancurkan di Cina pada masa-masa itu.

Suatu hari, Wang, penguasa politik di propinsi Ho, mengunjungi Lin-chi. Ketika berada di pintu gerbang, Wang bertanya, “Apakah para biksu di biara ini membaca Sutra (teks-teks tradisional Buddhisme)?” Lin-chi menjawab, “Tidak, mereka tidak membaca Sutra.” Wang kembali bertanya, “Apakah mereka bermeditasi?” Lin-chi menjawab lagi, “Tidak. Mereka tidak bermeditasi.” Sambil kebingungan, Wang kembali bertanya, “Jika mereka tidak membaca Sutra dan bermeditasi, apa yang mereka lakukan sehari-hari?” “Yang mereka lakukan”, kata Lin-chi, “adalah menjadi Buddha dan pemimpin Zen yang memiliki pencerahan batin sepenuhnya.” Dari dialog ini, kita bisa melihat, bagaiman Zen Buddhisme menunjukkan kemandiriannya dari tradisi Buddhisme yang sebelumnya berkembang di India dan negara-negara Asia Tengah. Dengan kata lain, Zen sepenuhnya menjadi milik Cina yang sepenuhnya berakar pada tradisi dan cara berpikir Cina. Setelah berpisah dengan Wang, Lin-chi kemudian menetap di kuil Hsing-hua di propinsi Taming. Kuil ini pun menjadi tempat menetapnya yang terakhir. Pemikiran Zen Lin-chi nantinya juga ditulis di tempat ini oleh muridnya yang bernama Ts’un-chiang. Inti dari pemikiran Zen tersebut, menurut Hoover, adalah mencapai pemahaman intuitif melalui percakapan-percakapan.

Semua itu nantinya dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul The Record of Lin-chi. Yang perlu diingat pada titik ini adalah, Zen bukanlah pengalaman mistik yang lepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Pemahaman intuitif yang merupakan tanda pencerahan batin di dalam tradisi Zen Buddhisme adalah gabungan antara pemahaman dan penerapan. Ia juga berakar pada pengalaman manusiawi setiap orang yang penuh dengan emosi dan perubahan. Semua ini berakar pada pemahaman intuitif, yakni pemahaman yang bersifat langsung pada hakekat dari kenyataan dan diri sendiri. Tidak ada konsep dan kata yang digunakan. Yang ada hanyalah kesadaran tanpa konsep yang membuat orang melampaui semua keadaan yang dialaminya, termasuk gejolak emosi, karena berbagai peristiwa yang terjadi. Dalam arti ini, menurut saya, pemahaman intuitif dalam tradisi Zen Buddhisme, yang juga merupakan pencerahan batin di dalam tradisi Zen yang dikembangkan Ma-tsu dan Lin-chi, dapat disebut sebagai dialektika transrasionalitas. Inilah yang menjadi dasar bagi spiritualitas keagamaan yang baru, yang bisa menyegarkan kehidupan beragama dan beriman kita sekarang ini. Lin-chi sendiri menyebutnya sebagai pemahaman tanpa konsep yang mengajak orang keluar dari pikiran sehari-harinya, dan memasuki pemahaman intuitif.

Seperti Ma-tsu, Lin-chi juga memiliki gaya mengajar yang unik. Ia terkenal sebagai seorang guru Zen yang suka berteriak. Sama seperti guru Zen lainnya, Lin-chi berusaha menyampaikan apa yang tidak bisa disampaikan dengan kata-kata. Oleh karena itu, ia mencoba berbagai cara, yakni semacam gabungan antara keheningan, percakapan, bentakan dan pukulan fisik. Dari semua pola ini, ada satu yang sama, yakni niat dan tindakan untuk mengejutkan orang, sehingga dalam sejenak, ia mampu keluar dari pikirannya, dan sungguh merasakan keadaan disini dan saat ini, tanpa konsep dan pemikiran apapun. Yang juga menarik, menurut saya, Lin-chi bahkan membuat semacam pembagian tentang jenis-jenis teriakan. Hoover menuliskan percakapan Lin-chi dengan muridnya soal tema ini. Suatu hari, ia bertanya kepada salah satu muridnya. “Terkadang, teriakan itu seperti pedang permata dari seorang raja yang bersemangat. Ia keras dan panjang. Seringkali, teriakan itu seperti singa yang merangkak di tanah. Ia kuat dan tegas. Seringkali pula, teriakan itu seperti pancingan ikan. Ia menarik perhatian. Dan seringkali, teriakan berfungsi tidak seperti teriakan. Bagaimana kamu mengerti ini?” Muridnya bingung mendengarkan itu. Lin-chi pun kemudian berteriak.

Sejak kecil, kita diajar untuk berpikir dengan melihat sebab dan akibat. Kita juga diajar untuk berpikir runut dan teratur. Pelajaran logika dan matematika menjadi amat penting demi mencapai tujuan berpikir runut dan teratur semacam ini. Namun, di dalam tradisi Zen Buddhisme, cara berpikir semacam ini haruslah “dipotong”, justru supaya orang bisa mencapai pencerahan batin. Lin-chi menggunakan teriakan untuk memotong cara berpikir semacam ini. Pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah, mengapa kita perlu untuk memotong cara berpikir semacam ini? Pada hemat saya, jawabannya sederhana, karena dunia tidak berjalan dengan hukum-hukum logis dan rasional, seperti yang kita kira. Hidup dengan berpikir secara logis dan rasional berarti juga hidup secara tidak alami, dan apapun yang tidak alami selalu akan merugikan. Bahwa ada bagian yang rasional dari kehidupan, itu tidak bisa dipungkiri. Namun, hakekat kehidupan itu sendiri pada intinya adalah kekosongan yang bersifat paradoksal. Ini hanya dapat dipahami dengan menggunakan intuisi semata. Pemahaman rasional hanya bisa membawa kita ke pintu gerbang pemahaman. Sisanya, menurut saya, kita harus melompat dengan intuisi. Zen Buddhisme, sebagaimana dikembangkan oleh Ma-tsu dan Lin-chi, pada hemat saya, memberikan metode yang nyaris sempurna untuk membantu kita “melompat dengan intuisi” tersebut.

Di sisi lain, pukulan dengan tongkat, bagi Lin-chi, juga merupakan cara yang baik untuk mendorong pencerahan batin. Namun, ini hanya bisa berhasil, jika dilakukan secara mendadak. Hoover mengutip satu cerita tentang Lin-chi. Suatu hari, di hadapan umum, Lin-chi berkata, “Orang yang mencari pencerahan batin tidak boleh takut kehilangan hidupnya. Ketika dulu saya bertanya kepada Huang-po (gurunya Lin-chi) tentang arti sesungguhnya dari Buddhisme, ia justru memukul saya tiga kali dengan tongkat. Pukulan itu amat keras. Saya ingin merasakan pukulan itu lagi. Siapa yang bisa memberikannya kepada saya?” Seorang biksu maju ke depan dan berkata, “Saya bisa memberikannya kepadamu.” Lin-chi mengambil tongkat, dan justru memukul biksu itu secara keras. Ketika teriakan tidak berhasil mendorong orang mencapai pemahaman intuitif, maka pukulan dengan tongkat bisa menjadi cara yang lebih baik. Seorang biksu bertanya kepada Lin-chi, “Apa prinsip utama dari Buddhisme?” Lin-chi mengambil tongkat. Si biksu kaget, dan kemudian berteriak. Lin-chi pun memukulnya dengan tongkat. Seorang biksu lain memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sama. Jawaban Lin-chi tetap sama. Ia berteriak dan memukul si biksu yang bertanya tersebut.
Ada cerita lainnya tentang Lin-chi. Ia bertanya kepada seorang biksu, “Darimana kamu berasal?” Si biksu malah berteriak. Lin-chi menyalami biksu tersebut, dan memintanya untuk duduk. Si biksu tampak ragu. Dalam keraguan, Lin-chi kemudian memukulnya dengan tongkat. Ketika ini terjadi, ada biksu lain yang hendak melewati mereka. Sekali lagi, Lin-chi mengambil tongkat. Si biksu yang hendak lewat tampak tak peduli. Lin-chi pun memukulnya juga. Sebagai seorang guru Zen, Lin-chi juga bersikap sama kepada perempuan. Ia melihat tidak ada perbedaan antara perempuan dan pria dalam soal pencapaian pencerahan batin. Suatu hari, Lin-chi berjumpa dengan seorang biksuni (biksu perempuan). Ia berkata kepada si biksuni, “Selamat datang, atau tidak?” Si biksuni berteriak. Lin-chi menyambung, “Silahkan terus berbicara!” Ia pun mengambil tongkat, dan memukul si biksuni. Bagi Lin-chi, pencerahan batin lahir dari pemikiran yang bersifat dialektis. Artinya, ia lahir dari tegangan dan percakapan yang bersifat ekstrem. Ia tidak lahir dari nalar dan logika yang bersifat lurus. Dengan tegangan dan percakapan ekstrem, orang lalu bisa menghasilkan cara berpikir tertentu yang mendorongnya untuk memasuki pemahaman intuitif, tanpa kata-kata. Pencerahan batin bukanlah perubahan keadaan di luar manusia. Dunia boleh berubah, namun orang yang mencapai pencerahan batin akan bisa menjalani hidupnya dengan ketenangan sempurna. Pencerahan batin adalah bentuk cara berpikir tertentu yang lahir dari intuisi, yang bersifat transrasionalistik (melampaui rasionalitas).
Buddhisme sebenaranya, menurut saya, lebih dekat dengan psikologi. Ia bukanlah agama, dalam arti penyembahan dan kepercayaan pada Tuhan atau Dewa tertentu. Buddhisme adalah jalan untuk mencapai pencerahan batin yang berarti juga kesehatan mental sepenuhnya, dimana orang tidak lagi terombang-ambing emosi dan perasaannya oleh berbagai peristiwa dunia. Analisis Buddhisme terhadap hakekat dari pikiran manusia dan hubungannya dengan dunia, pada hemat saya, amat dalam dan luar biasa jenius, bahkan jauh lebih dalam dan jenius daripada Filsafat Barat dan ilmu pengetahuan modern, seperti yang kita kenal sekarang ini. Zen Buddhisme pada khususnya, terutama dari empat master Zen yang saya bahas di dalam tulisan ini, menekankan berulang kali, bahwa pemahaman terdalam tentang arti dari kehidupan, yang menjadi dasar untuk pencerahan batin, hanya dapat dicapai dengan intuisi. Dalam arti ini, kata-kata dan konsep-konsep logis serta rasional, yang menjadi ciri dari pendidikan modern sekarang ini, sama sekali tidak berguna. Tidak hanya itu, kata-kata dan konsep-konsep tersebut justru menjadi penghalang utama orang untuk sampai pada pencerahan batin. Karena terjebak pada kata dan konsep, orang tidak lagi dapat menyentuh dunia. Ia pun tetap terjebak dalam penderitaan.

Apa ciri dari pemahaman intuitif, menurut Lin-chi? Ciri yang paling terasa adalah sifat paradoksal dan bahkan kontradiktif. Jawaban dan pertanyaan tidak berada di jalur logika. Pertanyaan terasa seringkali konyol dan tidak logis, apalagi jawaban yang diberikan. Hoover memberi satu contoh menarik. Ketika sebuah pertanyaan diajukan, maka sudah selalu jelas, dalam rangka pemahaman intuitif, bahwa tidak akan ada jawaban yang bisa diberikan. Dan ketika jawaban diberikan dalam bentuk kata-kata dan konsep-konsep, maka sudah jelas, pertanyaan yang diajukan tidak akan pernah terjawab.16 Dalam arti ini dapat ditegaskan, bahwa musuh utama dari pencerahan batin di dalam tradisi Zen Buddhisme adalah akal budi dan konsep-konsep rasional. Ini jelas berkebalikan dengan apa yang diajarkan oleh sistem pendidikan dan ilmu pengetahuan modern, yang amat menekankan logika, rasionalitas dan kemampuan memahami serta menjelaskan kembali berbagai konsep-konsep abstrak yang ada. Jika di dalam sistem pendidikan dan ilmu pengetahuan modern kemampuan memahami dan menjelaskan kembali argumen-argumen rasional dianggap sebagai keutamaan akademik, maka di dalam tradisi Zen justru sebaliknya, ini justru merupakan tanda kesesatan berpikir yang harus dihindari, karena menjauhkan orang dari pencerahan batin.

Hubungan antara manusia dan dunia juga dibahas secara amat dalam oleh Lin-chi. Hubungan ini sebenarnya melambangkan hubungan yang lebih dalam antara subyek dan obyek. Lin-chi mencoba menjelaskan hubungan semacam ini ke dalam empat kelompok. Dengan pembagian ini, yang tidak boleh dilihat sebagai pembedaan mutlak, ia mendidik murid-muridnya di dalam tradisi Zen Buddhisme. Hoover mengutip kuliah Lin-chi tentang tema ini. Suatu sore, para biksu berkumpul untuk mendengarkan kuliah umum dari Lin-chi. Ia pun mulai menjelaskan, “Terkadang, saya mengambil orang, dan tidak mengambil keadaan sekitarnya. Terkadang, saya mengambil keadaan sekitarnya, dan tidak mengambil orangnya. Terkadang, saya mengambil orang sekaligus keadaan sekitarnya. Namun, terkadang, saya tidak mengambil orang ataupun keadaan sekitarnya.” Lin-chi tentu tidak sibuk menjelaskan pemahaman ini pada murid-muridnya. Namun, saya mencoba memberikan penafsiran disini.

Pernyataan pertama dari Lin-chi adalah, bahwa ia akan mengambil orang, namun tidak mengambil keadaan sekitarnya. Artinya, ia akan mengajak orang keluar dari segala penafsiran dan pikirannya tentang dunia. Yang tersisa kemudian adalah pengalaman yang murni tentang dunia, tanpa prasangka dan pandangan-pandangan sebelumnya. Ini sejalan dengan prinsip dasar fenomenologi di dalam filsafat barat kontemporer, yakni berusaha melihat dan menjelaskan dunia apa adanya, tanpa penafsiran apapun. Pernyataan kedua Lin-chi adalah, bahwa ia akan mengambil keadaan sekitarnya, dan tidak mengambil orangnya. Artinya, ia akan menjelaskan pada orang, bahwa apa yang ia lihat tidak bisa lepas dari pikiran dan penafsiran yang ia punya. Dengan kata lain, pikiran orang itu memberi kerangka pada apa yang ada di depan matanya, sehingga bisa menghasilkan pengetahuan. Ini sejalan dengan epistemologi Kantian yang menjelaskan peran manusia di dalam menghasilkan pengetahuan atas dunia. Tidak ada yang obyektif, karena pikiran manusia ikut serta dalam proses pemahaman dan penciptaan pengetahuan. Ketika kita melihat gunung, kita tidak sungguh melihat gunung, karena pikiran kita juga membantu menciptakan pengetahuan tentang gunung. Jadi, gunung bukanlah sesuatu yang obyektif. Gunung bukanlah gunung obyektif, melainkan gunung yang sekaligus obyektif dan subyektif.

Dari dua proses ini, Lin-chi hendak mengajak orang melampaui perbedaan antara aku dan dunia, antara subyek dan obyek. Tidak ada perbedaan. Subyek dipenuhi ilusi akan subyektivitas. Dan obyek, yakni benda-benda di dunia, dipenuhi ilusi akan obyektivitas. Keduanya melahirkan kesesatan berpikir. Keduanya harus dilampaui. Inilah inti dari pernyataan Lin-chi yang ketiga, bahwa ia akan menarik orang keluar sekaligus mengambil keadaan sekitarnya. Inilah yang disebut sebagai pembebasan batin, yakni ketika orang lepas dari perbedaan antara subyek dan obyek, dan berbagai pembedaan-pembedaan lainnya di dunia. Pemahaman rasional dan logis atas dunia akan melahirkan perbedaan-perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan semacam ini lahirlah ketegangan dan konflik. Sebaliknya, pemahaman intuitif akan dunia melahirkan kesadaran akan kesatuan dari segala sesuatu. Segala perbedaan dilampaui. Tidak ada alasan untuk tegang dan konflik. Namun, pemahaman intuitif tidak bisa diajarkan sebagai suatu teori atau rumusan baku, seperti yang biasa dilakukan di sistem pendidikan modern. Orang harus keluar secara tiba-tiba dari pemahaman rasional. Lin-chi sadar betul akan ini. Maka, ia pun memilih berteriak dan memukul murid-muridnya untuk keluar dari pemahaman rasional, dan memasuki pemahaman intuitif.

Ketika orang dipukul atau dibentak dengan keras secara tiba-tiba, orang akan kaget. Secara sekejap, ia akan sadar, tidak ada perbedaan di dalam dunia. Tidak ada yang bisa dipegang erat-erat dengan konsep dan kata-kata. Dalam sekejap mata, pikiran hilang. Kesadaran hilang. Yang ada hanya keadaan disini dan saat ini. Inilah intuisi. Jika orang bisa sampai pada keadaan ini, maka ia sudah sampai pada pencerahan batin. Keadaan intuitif ini juga menjadi ciri dari pernyataan keempat dari Lin-chi, yakni ketika dunia dilihat sebagai satu kesatuan, tanpa pembedaan. Dalam keadaan ini, orang memahami dunia tidak lagi dengan konsep dan kata, melainkan dengan intuisi. Pemahamannya bersifat langsung dan murni, tanpa perantara dan prasangka apapun. Dunia adalah dunia. Ia tidak baik. Ia tidak buruk. Ia hanya ada, satu dan utuh. Hoover mengutip salah satu Koan untuk menjelaskan hal ini. Sebelum mengalami pencerahan batin, gunung dan sungai dilihat sebagai sesuatu yang obyektif. Mereka adalah gunung dan sungai, titik. Ketika sedang mendalami Zen, gunung dan sungai tidak lagi dilihat sebagai obyektif, karena orang sadar, bahwa pikirannya mencampuri pemahamannya. Namun, setelah mengalami pencerahan batin, gunung dan sungai kembali menjadi gunung dan sungai, namun kini semuanya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Bahkan, kita yang melihat gunung dan sungai juga merupakan satu kesatuan utuh dengan gunung dan sungai tersebut.

Lin-chi juga merumuskan pandangannya soal hubungan antara guru dan murid. Hubungan ini juga berlaku dalam konteks hubungan antara tuan rumah dan tamunya. Pada tingkat yang lebih dalam, orang juga bisa berdialog dengan dirinya sendiri dengan menggunakan pola ini, yakni hubungan antara Aku (hakekat manusia: Buddha) dan aku (jati diri hasil dari hubungan-hubungan sosial di dalam keluarga dan masyarakat). Hubungan yang ketiga ini memainkan peranan penting di dalam pencerahan batin. Hoover mengutip penjelasan Lin-chi. “Seorang murid berteriak. Kemudian, ia memegang asbak. Sang guru melihat hal ini bukanlah kejadian nyata. Ia pun bermain-main, dan berusaha merebut asbak tersebut dari tangan muridnya. Muridnya kembali berteriak. Namun, sang guru diam saja, dan tetap berusaha merebut asbak. Pola ini disebut juga sebagai pola guru yang memeriksa muridnya.” Inilah pola pertama di dalam penjelasan Lin-chi. Pola kedua memiliki ciri yang berbeda. “Seorang guru diam saja, ketika berhadapan dengan muridnya. Namun, ketika si murid mulai bertanya, sang guru memotongnya. Si murid tak mau menyerah. Namun, sang guru tetap tak memberi kesempatan. Ini disebut hubungan guru yang memeriksa muridnya.” Pola kedua ini bisa juga disebut suatu keadaan, dimana tuan rumah memeriksa tamunya.

Lin-chi melanjutkan, “Ada saatnya, ketika seorang murid datang kepada gurunya, dan tidak berkata apapun. Sang guru melihat tanda pencerahan batin di dalam diri muridnya. Si murid merasa puas, dan memuji sang Guru. Namun, sang guru hanya menegaskan, bahwa si murid ternyata hanya berpura-pura, dan bahwa ia tidak mengerti soal pencerahan batin.” Keadaan ini disebut Lin-chi sebagai hubungan antara tuan rumah dengan dirinya sendiri. “Ada saat lainnya, ketika si murid datang kepada gurunya. Tubuh si murid dirantai. Sang guru tidak bereaksi, ia justru mengencangkan rantai muridnya. Si murid pun merasa senang, sehingga ia tidak mampu berkata apapun.” Bagi Lin-chi, pola ini adalah keadaan, dimana tamu (atau murid) memeriksa dirinya sendiri. Empat pola hubungan antara guru dan murid ini tentu harus ditafsirkan lebih jauh. Menurut Hoover, pola pertama menandakan hubungan antara Aku-Buddha dan aku-sosial, yakni ketika Aku-Buddha mencoba memahami aku-sosial. Aku-Buddha disini dipahami sebagai jati diri sejati manusia yang bersifat murni dan tercerahkan. Orang yang bisa kembali menyadari jati diri sejatinya ini akan mengalami pencerahan batin. Sementara, aku-sosial adalah jati diri pribadi yang dibentuk oleh hubungan dengan lingkungan sosial, mulai dari keluarga sampai dengan lingkungan internasional. Di dalam tradisi Zen Buddhisme, aku-sosial ini bersifat sementara dan harus dilampaui, supaya orang sampai pada pencerahan batin.

Pola kedua yang dirumuskan Lin-chi adalah saat, dimana aku-sosial hendak mencoba memahami Aku-Buddha. Pola hubungan ketiga adalah, ketika Aku-Buddha mencoba berjumpa secara langsung dengan Aku-Buddha yang lain. Dan pola keempat adalah, ketika aku-sosial berjumpa dengan aku-sosial yang lain. Hoover menafsirkan penjelasan ini dalam keadaan yang lebih nyata. Pola pertama adalah perjumpaan antara guru yang tercerahkan dan murid yang masih terjebak pada kesesatan berpikir. Pola kedua adalah perjumpaan antara murid yang telah tercerahkan batinnya dengan seorang guru yang masih hidup dengan kesesatan berpikir. Pola ketiga adalah perjumpaan antara guru dan murid yang telah sama-sama tercerahkan batinnya. Dan pola keempat adalah perjumpaan antara guru dan murid yang sama-sama masih hidup dalam kesesatan berpikir. Dengan model berpikir semacam ini dan cara mengajar yang sangat unik, Lin-chi dan Ma-tsu dapat dilihat sebagai Master Zen terbesar di dalam tradisi Zen Buddhisme yang berkembang di Cina dan kemudian Jepang.

Ma-tsu dan Lin-chi mampu berpikir sekaligus dalam dua tingkat, yakni dialektik sekaligus praktis. Dialektik berarti ia mampu membangun pemahaman intuitif melalui hubungan langsung dengan manusia lain, biasanya dalam bentuk percakapan. Praktis berarti ia mampu mendorong orang pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin melalui hubungannya dengan orang lain. Keduanya yakin, bahwa orang harus bebas sepenuhnya dari pikiran, pertimbangan, motivasi dan keinginan, supaya ia sampai pada keadaan alamiahnya, yakni Aku-Buddha itu sendiri. Keadaan ini hanya dapat dicapai dan dipahami secara intuitif, tanpa konsep, bahasa dan rumusan-rumusan filosofis. Kita sudah melihat, betapa uniknya cara mengajar Ma-tsu dan Lin-chi untuk mendorong orang pada pencerahan batin. Hoover menyebut metode ini sebagai metode petir, persis karena ia bersifat cepat dan tak terduga. Dorongan pada pemahaman intuitif memang harus jauh dari segala ukuran logika dan rasional yang pelan dan dapat ditebak. Ma-tsu dan Lin-chi juga tidak mengenal kompromi. Semua orang diperlakukan sama, baik itu perempuan atau pria, pejabat pemerintahan atau warga biasa. Sikap-sikap semacam ini amatlah dibutuhkan, karena Zen Buddhisme pada waktu itu sungguh menjadi “mode” yang diikuti banyak orang. Banyak pula kebingungan yang tercipta, terutama dalam sungguh mengetahui, yang mana sungguh merupakan Zen dan yang mana yang hanya mode belaka.
Ma-tsu dan Lin-chi menantang Buddhisme tradisional yang berkembang sebelumnya. Mereka menggunakan metode-metode baru untuk mendorong orang masuk dalam pencerahan batin, yakni mampu secara intuitif memahami hakekat dari dirinya sendiri dan hakekat dari dunia sebagai keseluruhan. Namun, mereka juga amat kritis pada orang-orang yang hidup di dalam tradisi Zen. Lin-chi, misalnya, amat kritis pada orang-orang yang berusaha mengikuti metode mengajarnya. Suatu hari, Lin-chi berkata kepada orang-orang yang mengikuti metode mengajarnya. “Kalian semua mengikuti cara saya berteriak. Namun, saya ingin mengajukan tes sekarang. Satu orang berjalan dari pintu timur. Lalu, orang lainnya berjalan dari pintu barat. Keduanya lalu berteriak secara bersamaan. Bisakah kamu mengetahui, mana tamu dan mana tuan rumah? Jika tidak, maka kamu tidak punya hak untuk meniru teriakan saya!” Kata tamu dan tuan rumah bisa juga ditafsirkan sebagai hubungan antara orang yang belum mengalami pencerahan batin, dan orang yang sudah mengalaminya. Lalu, apakah Lin-chi menjadi sepenuhnya orang yang irasional, mirip orang gila? Untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti ditegaskan oleh Hoover, Lin-chi mampu menjelaskan pemikirannya menggunakan nalar dan logika. Namun, dalam konteks pendidikan Zen menuju pencerahan batin, nalar dan logika, bagi Lin-chi, justru menjadi penghambat utama.

Lin-chi juga menjelaskan lebih jauh, bahwa pencerahan batin, yang menjadi arah utama di dalam Zen Buddhisme, berarti menjadi alamiah sepenuhnya, tanpa usaha manusiawi apapun. Artinya, ketika harus buang air kecil, lakukan itu dengan sepenuh hati. Ketika harus memasak, lakukan itu dengan sepenuh hati. Ketika lelah, maka tidur. Menjadi Buddha, menurut Lin-chi, berarti menjadi sejalan dengan alam sepenuhnya, tanpa pikiran dan pertimbangan apapun. Ketika pikiran dan pertimbangan masuk, maka spontanitas hilang, dan pencerahan batin pun juga hilang. Pencerahan batin selalu ada di depan mata kita. Kesesatan berpikir kita yang menghalanginya. Dalam hal ini, Lin-chi juga banyak melakukan kritik terhadap para master Zen pada jamannya. Mereka menjelaskan teori-teori konseptual, tetapi tidak membiarkan murid-muridnya menemukan kebenarannya sendiri secara intuitif. Guru semacam ini, menurut Lin-chi, tidak layak disebut guru, karena ia tidak bisa membedakan antara praksis Zen yang sejati, dan yang hanya merupakan mode semata. Di masa tuanya, banyak orang berguru pada Lin-chi, tidak hanya para biksu, tetapi juga para guru Zen di masanya. Lin-chi seolah menjadi tolok ukur bagi kesejatian seorang guru Zen.

Biara Zen Buddhis yang didirikan oleh Lin-chi terus berkembang. Ia menjadi tempat utama bagi orang-orang yang mencari pencerahan batin di dalam tradisi Zen Buddhisme, terutama di daerah Cina bagian Selatan. Nantinya, ajaran-ajaran Lin-chi juga berkembang pesat di Jepang, bahkan sampai sekarang ini, dalam bentuk Rinzai Zen. Ia seolah menjadi “agama negara” di Jepang nantinya yang diyakini tidak hanya oleh para biksu, tetapi juga rakyat biasa (petani dan pedagang) sampai para Samurai, yakni prajurit yang juga sekaligus memegang kekuasaan politik. Gaya dialektik dari Lin-chi, yang juga berkembang dari gaya mengajar Ma-tsu, nantinya menjadi dasar filosofis bagi filsafat pendidikan Zen Buddhisme. Dialektika, dalam arti percakapan timbal balik antar dua orang, menjadi sarana untuk mendorong pemahaman intuitif yang mengantar orang pada pencerahan batin. Dialektika menjadi semacam metode untuk sampai pada pencerahan batin. Jika masih hidup, Lin-chi sendiri pasti akan menentang hal ini. Baginya, cara berpikir yang sistematik, rasional dan logis justru menjadi penghalang bagi pencerahan batin. Yang harus diraih adalah pengalaman murni atas kenyataan itu sendiri yang bersifat langsung dan intuitif. Sekitar tahun 866 dan 867, Lin-chi meninggal, ketika sedang bermeditasi.
  1. Ikkyu dan Zen Revolusioner
Buddhisme sudah menyebar ke Jepang sejak tahun 552. Yang tersebar terutama adalah Buddhisme tradisional yang menekankan pemahaman atas teks-teks suci di dalam Buddhisme. Zen Buddhisme sendiri baru nanti masuk ke Jepang. Di Jepang, pada awalnya, Zen Buddhisme masuk untuk mengembalikan Buddhisme Jepang ke inti dari Buddhisme itu sendiri, yakni mencapai pencerahan batin. Dengan kata lain, Zen Buddhisme hendak mengembalikan semangat awal Buddhisme yang sempat hilang tertelan oleh tradisi dan ritual. Pada awalnya yang berkembang adalah Rinzai Zen. Ia juga mendapatkan tempat yang kokoh di dalam politik, yakni di kalangan Samurai yang tinggal di Kamakura. Ada aliran lain yang nantinya juga berkembang di Jepang, yakni Soto Zen. Pelopornya adalah Master Zen yang bernama Dogen. Intinya adalah meditasi duduk yang dilakukan secara intensif, tanpa pikiran. Soto Zen dapat dilihat sebagai gerakan untuk memurnikan kembali Buddhisme, yakni melepaskannya dari budaya India dan Asia Tengah, lalu kembali ke inti dari Buddhisme itu sendiri melalui meditasi yang intensif. Awalnya, Dogen tidak mau mendirikan “aliran” baru di Jepang. Ia hanya mau menekankan satu proses, yakni meditasi, yang telah lama terlupakan di dalam Buddhisme Jepang. Namun, gerakan ini akhirnya berkembang, dan menjadi bagian yang cukup besar di dalam Buddhisme di Jepang.

Dengan berjalannya waktu, Zen Buddhisme lalu berkembang dan menjadi kekuatan politik yang besar di Jepang. Samurai pemimpin Jepang, Hojo Tokiyori (1227-1263), menjadi pendukung perkembangan Zen Buddhisme yang kuat di Jepang. Dengan perkembangan ini, banyak guru-guru Zen dari Cina datang ke Jepang untuk menyebarkan Zen Buddhis disana. Hubungan dengan politik membuat Zen Buddhisme di Jepang juga kehilangan akar spiritualnya. Pada satu titik, menurut Hoover, Zen di Jepang hanya tinggal nama saja, karena ia telah digunakan sepenuhnya untuk membenarkan berbagai kepentingan politik dan militer Jepang, terutama dalam menghadapi serangan pasukan Mongol. Zen juga mempengaruhi perkembangan dunia seni di Jepang. Kaitan antara Zen dan politik serta seni membuat Zen kehilangan jati diri sejatinya, yakni upaya untuk mencapai pencerahan batin melalui intuisi akan kekosongan dari kenyataan. Ia berubah menjadi agama kaum penguasa yang dekat dengan uang dan nama besar. Jelas, pada titik ini, yakni sekitar abad 14, Zen Buddhisme di Jepang membutuhkan perubahan dari dalam. Tokoh yang berperan besar disini adalah Ikkyu Sojun (1394-1481).

Bagi Hoover, hadirnya Ikkyu di panggung Zen Jepang seperti kelahiran kembali para master Zen dari Cina Selatan di masa lalu, seperti Ma-tsu dan Lin-chi, yang dibahas di bagian sebelumnya. Ia seolah menjadi simbol dari semangat Zen yang sejati, yang siap menantang otoritas Zen di Jepang yang telah dilumuri oleh kepentingan politik dan militer. Yang menarik adalah, Ikkyu bukanlah “biksu Zen” dalam artinya yang tradisional, melainkan seorang master Zen yang suka minum anggur dan memikat perempuan. Cerita tentang kehidupan dan ajaran Ikkyu diperoleh dari sumber-sumber yang ditulis oleh muridnya. Di dalam sumber-sumber ini, Ikkyu digambarkan sebagai pribadi yang “tidak peduli pada dunia”. Ia tidak peduli pada tradisi, sehingga perannya amat cocok untuk membongkar Zen Buddhisme Jepang yang telah mengental menjadi kekuatan politik dan militer. Di sisi lain, Ikkyu juga menjadikan Zen sebagai dasar untuk puisi dan kaligrafinya. Sampai sekarang, ia dianggap sebagai salah seorang Master Zen dan seniman Jepang terbesar di dalam sejarah Jepang. Kekuatan utama dari puisi dan karya kaligrafinya adalah spontanitasnya yang datang dari intuisi, dan bukan dari perhitungan maupun pertimbangan rasional lainnya. Dua hal ini, yakni spontanitas dan intuisi, juga merupakan hasil dari pemikiran Zen Ikkyu yang menjauh dari tradisi Zen Buddhis di Jepang pada masanya.

Ibu Ikkyu adalah seorang perempuan yang tinggal di istana kekaisaran Jepang. Ia adalah salah satu perempuan yang bertugas melayani sang kaisar. Ketika ia mengandung, sang ratu, yang merupakan istri resmi dari kaisar, mengusirnya. Ikkyu lalu lahir pada 1394. Ia adalah anak dari kaisar Jepang bersama salah satu pelayan perempuannya. Pada usianya yang kelima, ibunya mendorong Ikkyu untuk masuk biara Zen. Hoover berpendapat, bahwa langkah ini dilakukan demi menjaga keselamatan nyawa Ikkyu sendiri yang merupakan pewaris tidak resmi dari tahta kekaisaran Jepang. Di biara, ia belajar segala hal terkait dengan Buddhisme. Pada usia 11, ia menulis puisinya yang bertama yang berjudul “Keindahan Musim Semi”. Begini isinya,

“Berapa banyak hasrat yang menggantung di lengan baju seorang petualang? Begitu banyak daun bertumbuh menandakan hasrat dari surga dan dunia. Angin dingin yang wangi melewati bantalku. Apakah saya tidur atau terbangun? Disini dan saat ini melebur menjadi mimpi dari Musim Semi.”
Di dalam puisi digambarkan, bagaimana Ikkyu baru kembali, setelah ia berjalan-jalan di tengah musim semi di Jepang. Ia mencium bau harum dari daun-daun yang bertumbuhan yang juga menempel di bajunya. Wewangian ini membuat ia bingung, apakah ia sedang bermimpi, atau tidak. Dari puisi ini, menurut saya, Ikkyu sudah sejak muda menunjukkan intuisi yang mendalam akan salah satu ajaran dasar dari Zen, bahwa kenyataan dan dunia hanyalah ilusi dari pikiran manusia.
Pada usia ke 18, Ikkyu menjadi salah satu biksu di salah satu biara Zen di Kyoto. Namun, gurunya di biara tersebut meninggal. Ikkyu sempat mengalami saat-saat sulit setelah itu, dan bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri. Pada usia 22, Ikkyu berjumpa dengan Kaso Soton, seorang master Zen. Pada masa itu, Soton dikenal sebagai salah satu guru Zen yang paling keras dalam mengajar di Jepang. Pada awalnya, Soton menolak menerima Ikkyu sebagai murid. Seperti dicatat Hoover, adalah sebuah tradisi di dalam Zen, bahwa seorang guru tidak langsung menerima seorang biksu sebagai muridnya. Sang murid harus menunjukkan terlebih dahulu kesungguhan niatnya. Itulah yang dilakukan oleh Ikkyu. Ia tidak bergerak dari pintu gerbang biara selama berhari-hari. Ia hanya makan rumput yang ada di halaman depan biara tersebut. Di malam hari, ia tidur di dalam perahu kecil di sungai dekat biara. Di siang hari, ia hanya berdiri menunggu Kaso. Beberapa kali, bahkan Kaso menyiramnya dengan air, dan mengusirnya secara kasar. Setelah beberapa saat, Kaso akhirnya menerima Ikkyu sebagai muridnya.

Ikkyu tinggal bersama Kaso selama kurang lebih sepuluh tahun. Semua orang tahu, bahwa menjadi murid Zen dari Kaso amatlah sulit. Namun, Ikkyu tetap tinggal bersamanya, dan berusaha mendalami Zen dari Kaso, salah seorang Master Zen yang paling berpengaruh di jamannya. Mereka tinggal di biara dekat dengan danau. Setiap pagi, Ikkyu bangun lebih awal, dan bermeditasi di perahu nelayan di atas danau tersebut. Untuk mencukup kebutuhan hidupnya, Ikkyu membeli barang murah dan menjualnya kembali. Seringkali, ia menukar barang dagangannya dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Nama “Ikyyu” pun merupakan pemberian dari Kaso. Ini adalah pengakuan Kaso atas kemajuan kehidupan Zen Ikkyu itu sendiri. Ketika ia berumur 26 tahun, ia bermeditasi di atas perahu. Pada saat itu, ia kaget, karena mendengar suara buruk gagak. Ia lalu segera kembali untuk menceritakan pengalamannya tersebut kepada Kaso. Ketika mendengar cerita dari Ikkyu, Kaso berkata, “Kamu sudah mencapai tingkat Arhat, yakni orang yang telah melampaui ego pribadinya. Namun, kamu belum menjadi seorang Master Zen.” Ikkyu lalu menjawab, “Oh, kalau begitu, saya sudah merasa cukup bahagia menjadi Arhat. Saya tidak perlu menjadi seorang Master Zen.” Mendengar ini, Kaso lalu menanggapi, “Oh, kalau begitu, ternyata kamu memang seorang Master Zen!”

Salah satu tradisi Zen di Jepang adalah pemberian pengakuan dari seorang guru kepada muridnya, bahwa ia telah mencapai pencerahan batin, atau Satori, dalam bahasa Jepang. Pengakuan itu terwujud di dalam sertifikat resmi yang diberikan dari guru kepada muridnya. Dengan sertifikat ini, sang murid bisa mengajar Zen, dan bahkan mendirikan biara sendiri. Sebagaimana dicatat Hoover, ini juga terjadi pada Ikkyu. Namun, ia menolak sertifikat itu, dan bahkan membakarnya. Sejak saat ini, Ikkyu seolah banting stir, dan mengubah sama sekali cara hidupnya. Ia tetap menghayati Zen, tetapi dengan cara yang amat bertentangan dengan tradisi Zen Jepang yang sudah berkembang lama di masa hidupnya. Ia pun menjadi seorang biksu yang berkelana, sejalan dengan tradisi Zen di Cina di masa dinasti Tang. Dengan cara hidup semacam ini, Ikkyu menginjak dua dunia. Di satu sisi, ia adalah seorang biksu Zen. Ia banyak menghabiskan waktu di kuil Zen untuk bermeditasi. Di sisi lain, ia juga hidup di dunia, seperti layaknya orang biasa, yakni pergi ke kedai anggur untuk minum anggur, dan beberapa kali mengunjungi rumah pelacuran. Dengan cara ini, Ikkyu memiliki teman di berbagai kalangan, mulai dari kalangan bangsawan sampai pedagang biasa, baik perempuan maupun laki-laki.

Cara hidup semacam ini memberikan banyak inspirasi untuk karya-karya seninya, terutama untuk puisi. Sambil berkarya dan berkeliling ke berbagai tempat, Ikkyu juga melakukan kritik keras pada tradisi Zen Jepang pada masa itu yang, menurutnya, sudah kehilangan akar dari semangat asli Zen itu sendiri. Sewaktu ia berumur 47 tahun, Ikkyu menerima undangan untuk menjadi kepala biara dari salah satu biara Zen besar di Kyoto. Ia menerima undangan itu. Setelah sepuluh tahun bekerja disana, ia lalu mengundurkan diri. Ia melihat, bahwa Zen telah dipersempit semata menjadi upacara ritual belaka, tanpa semangat untuk mendorong orang pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin. Ia mengekspresikan kritiknya tersebut di dalam berbagai puisi yang ditulisnya. Baginya, Zen yang sejati justru dapat ditemukan pada kecintaan pada daging, anggur dan seks, yakni tiga hal yang justru dilarang oleh Buddhisme tradisional. Cuplikan puisi ini kiranya bisa menggambarkan maksud dari Ikkyu. “Selama sepuluh hari di kuil ini, pikiranku kacau, kakiku terikat oleh tali merah yang tanpa batas. Jika suatu hari kamu ada disini dan mencari saya, coba di toko ikan, toko anggur atau di rumah pelacuran.” Ikkyu juga melakukan kritik keras terhadap komersialisasi Zen, yakni penggunaan ajaran Zen untuk mencari uang. Bahkan, pada satu titik, orang bisa membeli sertifikat “Pencerahan Batin” dengan harga tertentu dari seorang master Zen. Ini dilakukan terutama oleh biara-biara Zen yang memiliki kedekatan dengan penguasa politik di Jepang pada masa itu. Biara-biara tertentu juga mengeruk banyak keuntungan dari produksi sake dan dari transaksi suap menyuap antara penguasa politik dan para petinggi Zen. Semua tindakan ini membuat Ikkyu semakin tajam mengritik Zen tradisional yang berkembang pada masa hidupnya. Di sisi lain, Ikkyu melakukan kritik keras terhadap karya-karya seni yang menyatakan Zen sebagai dasar inspirasinya. Yang menjadi sasaran kritiknya adalah penggunaan Zen untuk menghasilkan karya seni. Bagi Ikkyu, seni merupakan ekspresi dari Zen. Zen sendiri adalah tujuan pada dirinya sendiri. Ia tidak boleh dilihat sebagai alat untuk tujuan lain di luar dirinya. Para seniman di Jepang pada masa itu melihat Zen sebagai alat untuk menghasilkan karya seni indah, dan membuat mereka terkenal. Praktek-praktek semacam inilah yang dikritik oleh Ikkyu.

Ikkyu juga konon menulis salah satu Koan yang paling terkenal. Isinya tentang seorang perempuan tua yang telah merawat seorang pertapa selama 20 tahun. Selama itu, si perempuan menjamin, bahwa sang pertapa mendapatkan semua kebutuhannya, sehingga ia bisa mencapai pencerahan batin. Suatu hari, si perempuan tua meminta seorang gadis untuk menggoda sang pertapa tersebut. Sang pertapa menolak perempuan itu dengan kasar. Mendengar ini, si perempuan tua pergi menuju ke rumah sang pertapa itu, dan mengusirnya. Sambil itu, si perempuan tua berkata, “Dua puluh tahun saya menghidupi pertapa palsu!” Ikkyu juga menulis puisi tentang ini. “Ibu yang tua ini mencoba memberikan sebuah tangga pada si palsu. Ia bahkan memberikan seorang pengantin cantik pada si biksu itu. Jika malam ini saya mendapatkan tawaran semacam itu, musim semi akan tiba.” Di lain kesempatan, Ikkyu menulis puisi dengan tema bau wangi tubuh perempuan. “Orang harus memandang bukit yang tinggi dan kemudian menaikinya. Tengah malam di tempat tidur permata di tengah mimpi musim gugur. Setangkai bunga membuka dirinya di dekat pohon plum. Bergerak perlahan di paha para peri.” Ikkyu mengawinkan pemahaman intuitif dan pencerahan batin di dalam tradisi Zen dengan sensualitas kenikmatan inderawi manusia. Inilah yang membuatnya dijuluki sebagai seorang Zen revolusioner.

Dengan cara hidup semacam ini, Ikkyu dicurigai memiliki anak di luar nikah. Bahkan, sebagaimana dicatat oleh Hoover, Jotei, salah seorang biksu yang amat setia mengikuti Ikkyu, dicurigai sebagai anak kandung dari Ikkyu itu sendiri. Cerita di balik ini layak untuk dicermati. Seorang pengusaha di kota Sakai mulai menurun bisnisnya. Ikkyu mengetahui hal ini. Ia pun datang ke tempatnya, dan mulai menulis karya kaligrafinya disana. Tentu saja, banyak orang datang dan membeli karya-karya Ikkyu tersebut. Semua uang yang ia terima diberikan kepada pengusaha tersebut. Akhirnya, bisnisnya pun terselamatkan. Sebagai rasa terima kasih, si pengusaha meminta Ikkyu menikahi anak perempuannya. Dari sinilah Jotei kemudian lahir. Tentu saja sulit untuk menyatakan, apakah cerita ini merupakan kejadian nyata atau hanya sekedar cerita bohong belaka. Namun, dari cerita ini, kita bisa mengetahui cara hidup Ikkyu, dan reputasinya di mata orang banyak. Yang menjadi fokus dari Ikkyu bukanlah seks itu sendiri, tetapi keindahan yang tertanam di dalam setiap segi-segi kehidupan. Setiap hal di dalam hidup ini memiliki keindahannya masing-masing. Penghayatan Zen dan pencerahan batin berarti juga kemampuan untuk melihat segala keindahan tersebut. Tentang ini, Ikkyu pernah menulis sebuah puisi. “Melihat anak perempuan berumur empat tahun ini menyanyi dan menari, aku merasakan tarikan rasa yang sulit untuk diingkari. Dan melupakan semua tugas, aku bergerak menuju kebebasan. Hai guru Zen, Zen jenis apakah ini?”

Ketika Ikkyu berusia 70 tahun, Jepang sedang mengalami perang saudara. Keadaan politik amat kacau. Namun, di tengah situasi kacau tersebut, ia tetap bisa menghargai setiap keindahan yang ada di dalam kehidupan. Ini tercermin dari puisinya yang ditulis pada masa-masa itu tentang seorang gadis berumur 45 tahun bernama Mori. Mereka sering bersama untuk bermain dan mendengarkan musik. Dari hubungan ini lahirlah puisi berikut: “Bagaimana tanganku seperti tangan Mori? Kepercayaan diri adalah bawahan, dan kebebasan adalah tuannya. Ketika aku sakit, ia akan menyembuhkan dengan tangkai pohon, dan memberikan kebahagiaan pada para pengikutku.” Inilah salah satu puisi eksotis yang ditulis Ikkyu sebagai ekspresi dari penghayatan Zen dan pencerahan batinnya. Di sisi lain, ia juga menulis beberapa artikel tentang Zen. Salah satunya adalah karya yang ditulisnya pada 1457 dengan judul “Tengkorak”. Salah satu ide yang dikupasnya adalah soal kekosongan di dalam pandangan Buddhisme, yang merupakan inti dari segala kenyataan yang ada.

“Aku ingin menyatakan sesuatu. Kelahiran seorang manusia itu seperti menyalakan api. Ayah dan ibu adalah kedua batu, dan anak adalah percikan api yang keluar dari pergesekan kedua batu tersebut. Ketika percikan itu menyentuh lampu, ia hanya dapat bertahan dengan bantuan dari energi lain, yakni bensin, sampai semuanya habis. Lalu, api itu mati. Hubungan percintaan antara kedua orang tua itu bagaikan gesekan dua batu yang menghasilkan percikan. Namun, kedua batu itu pun juga akan hancur. Segala sesuatu datang dari kekosongan. Ketika orang melepaskan kepercayaan pada bentuk-bentuk yang terlihat oleh mata, maka ia akan sampai pada keadaan asalinya. Dan karena segala sesuatu muncul serta berakhir pada ketiadaan, maka konsep keadaan asali juga merupakan sesuatu yang sementara.”

Dengan tulisan ini, Ikkyu menunjukkan kemampuannya untuk memahami dan menyampaikan ide-ide dasar yang menjadi pijakan dari tradisi Zen Buddhisme. Pemahaman akan kekosongan dan kesementaraan dari segala sesuatu inilah yang nantinya juga tampak di dalam karya-karya seni Ikkyu. Kedua ini begitu penting dan begitu sederhana, sampai orang begitu sulit untuk memahaminya, karena mereka terbiasa dengan pemikiran yang rumit dan rasional tentang segala hal. Baginya, menjadi orang yang tercerahkan berarti menjalani hidup secara alamiah dan sederhana, tanpa kepura-puraan apapun, baik dalam bentuk ambisi ataupun keterikatan yang begitu kuat pada sesuatu. Ada satu cerita yang menggambarkan kesederhanaan dan sikap alamiah sebagai inti dari penghayatan Zen dari Ikkyu. Suatu hari, Ikkyu sedang naik kapal menuju kota Sakai. Di sana, ia berjumpa dengan seorang biksu Buddhis lainnya. Sang biksu menantang Ikkyu untuk melakukan mukjizat, guna menunjukkan kesaktiannya. Ia kemudian mengucapkan mantera, dan berhasil mengundang api yang menari di dalam perahu. Para penumpang kapal terkagum-kagum melihat itu. Ikkyu menanggapi dengan menyatakan, bahwa ia memiliki mukjizat yang lebih kuat, yakni ia mampu memadamkan api itu. Ia pun membuka celananya, dan mengencingi api yang menari tersebut, sampai padam.

Cara berpikir dan cara hidup Ikkyu memberikan pengaruh besar pada perkembangan Zen di Jepang, tidak hanya sebagai filsafat hidup, tetapi juga pada identitas budaya Jepang itu sendiri. Salah satu yang paling terkenal adalah upacara teh yang merupakan cerminan dari pencerahan batin dan pemahaman intuitif Zen. Ia juga mendorong berkembangnya seni theater di Jepang, kaligrafi, lukisan yang masih dikenal dan berpengaruh luas di Jepang sampai sekarang, dan masakan Jepang dari bahan kacang kedelai yang menjadi salah satu makan utama di biara Zen sekarang ini. Namun, seperti dijelaskan oleh Hoover, kehidupan Ikkyu yang sesungguhnya tetap merupakan misteri. Seperti kisah hidup orang-orang yang berpengaruh, cerita hidup Ikkyu banyak diselubungi oleh fiksi dan legenda. Ada beberapa hal dari cara berpikir dan cara hidup Ikkyu yang memberikan nuansa unik bagi perkembangan Zen di Jepang, yakni kebebasan berpikir di dalam tradisi Zen yang melepaskan diri Buddhisme tradisional yang amat menekankan peraturan dan tradisi. Ikkyu juga membawa Zen dalam dialog dengan berbagai dimensi kehidupan di dunia. Untuk menjadi tercerahkan, orang tidak perlu menjadi pertapa di gunung yang menolak segala hal dari dunia. “Dengan menolak tafsiran Zen yang resmi”, demikian tulis Hoover, “Ikkyu mungkin adalah seorang Master Zen yang paling memahami Zen yang sesungguhnya.”
  1. Zen untuk Perkembangan Spiritualitas
Apa peran Zen Buddhisme di dalam pengembangan spiritualitas? Spiritualitas bisa dipahami secara sederhana sebagai cara hidup yang bermakna. Ada banyak tawaran yang terlihat, seperti memperoleh banyak uang, memiliki nama besar yang dihormati di masyarakat, sampai dengan kesucian religius. Namun, semua itu bersifat sementara, dan tak akan bisa memberikan makna yang utuh bagi hidup manusia. Maka, jalan lain haruslah ditemukan. Tradisi Zen Buddhisme, menurut saya, memberikan cara pandang yang menarik. Yang ia tawarkan bukanlah kenikmatan, nama besar ataupun kesucian, melainkan pencerahan batin. Zen adalah jalan pembebasan dari penderitaan hidup, dan kemudian bergerak menuju pencerahan batin. Dari tiga Master Zen yang telah dibahas sebelumnya, yakni Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu, pencerahan batin dapat dipahami sebagai kemampuan orang untuk melihat hakekat sesungguhnya dari segala yang ada, termasuk hakekat dari dirinya sendiri. Dan hakekat dari segala sesuatu yang ada adalah kekosongan itu sendiri, yang berarti kesementaraan dari segala sesuatu, tanpa kecuali. Ketika orang menyadari ini, tidak akan ada sesuatu apapun yang dapat membuatnya menderita. Ia bisa merasa sakit dan mengalami kesulitan hidup, tetapi ia tidak akan menderita. Inilah perbedaan mendasar antara orang yang belum dan sudah mengalami pencerahan batin. Orang yang belum mengalami pencerahan batin akan mengalami penderitaan besar, ketika ia merasa sakit, atau sedang mengalami kesulitan kehidupan.

Namun, pemahaman akan hakekat dari segala yang ada sebagai kekosongan tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual semata. Pemahaman intelektual hanya menghasilkan pengetahuan teoretik, dan ini tidak banyak berperan di dalam mengubah kesadaran hidup menuju pencerahan batin. Pencerahan batin harus berakar dan berkembang dari intuisi manusia. Dalam arti ini, intuisi adalah pengalaman langsung akan kenyataan yang ada. Ia tidak dibumbui dengan konsep atau penilaian. Ia bahkan tidak dibumbui dengan bahasa. Ia hanya pengalaman murni, dan dari pengalaman persentuhan langsung dengan kenyataan ini, orang akan masuk ke dalam pencerahan batin itu sendiri yang mengubah seluruh cara pandangnya atas hidup. Inilah inti dari ajaran Zen yang dikembangkan oleh Ma-tsu, Lin-chi dan Ikkyu. Ketika orang sudah sampai pada pencerahan batin, yang diperolehnya secara intuitif, maka pencerahan batin itu sendiri pun sudah kehilangan artinya, dan menjadi bagian sepenuhnya dari hidupnya.

Pemahaman intuitif ini juga melampaui rasionalitas. Ia tidak dapat dipahami dengan akal budi. Ia tidak dapat dirumuskan dan dijelaskan dengan akal budi. Justru sebaliknya, akal budilah yang menjadi penghalang orang untuk sampai pada pemahaman intuitif yang mendorong pencerahan batin. Inilah yang saya sebut sebagai transrasionalitas, yakni intuisi yang melampaui akal budi. Untuk sampai pada pemahaman ini, orang perlu memotong cara berpikir logisnya. Bisa dibilang, terutama mempertimbangkan sistem pendidikan modern yang amat menekankan akal budi di atas segala-galanya, orang harus melepaskan semua yang telah dipelajarinya, supaya ia bisa mencapai dan mengembangkan intuisinya, lalu mencapai pencerahan batin. Akal budi cenderung membuat pembedaan antara yang satu dan yang lainnya. Ia menyatukan yang sama, dan memisahkan yang berbeda. Maka dari itu, ilmu pengetahuan bisa berkembang, karena manusia menggunakan akal budi untuk mengkategorikan segala yang ada di dalam kenyataan. Cara berpikir semacam ini, dari kaca mata ketiga master Zen yang saya bahas di atas, justru membuat manusia terpisah dari alam. Ia terpisah dari manusia lainnya. Akibatnya, ia pun masuk ke dalam lingkaran penderitaan hidup yang tidak ada habisnya, karena kesalahan berpikir. Pemahaman intuitif yang mendorong pencerahan batin persis adalah lepasnya manusia dari cara berpikir semacam itu.

Intuisi juga melampaui semua bentuk rumusan teoritik ataupun definisi. Pemahaman intuitif yang merupakan kunci untuk sampai pada pencerahan batin tidak dapat dijelaskan dengan rumusan-rumusan bahasa yang baku. Secara hakiki, rumusan bahasa tidak akan pernah bisa menjelaskan kenyataan yang ada. Rumusan bahasa memberikan kesan, seolah kenyataan yang terus bergerak itu bisa dibekukan ke dalam satu rumusan tertentu. Sayangnya, ketika bahasa dirumuskan, kenyataan yang ada sudah berubah. Namun, banyak orang justru terjebak pada bahasa dan rumusan, serta mengabaikan kenyataan itu sendiri. Mereka menganggap bahasa dan rumusan sebagai kenyataan. Pertanyaan yang penting disini adalah, bagaimana orang bisa keluar dari kecenderungan untuk merumuskan segala sesuatu ke dalam bahasa yang baku tersebut? Para master Zen yang dibahas disini menawarkan setidaknya dua cara, yakni melalui percakapan dialektis yang tidak menggunakan runutan berpikir rasional, dan melalui karya seni yang mencerminkan kenyataan itu sendiri,23 serta tidak terjebak pada rumusan bahasa. Dua hal inilah yang saya sebut sebagai dialektika transrasionalitas, yakni sebuah metode untuk melepaskan orang dari kerangkeng berpikir rasional yang membuatnya jauh dari intuisi dan pencerahan batin.

Intuisi sebagai jalan untuk sampai pada pencerahan batin ini juga bergerak melampaui segala bentuk ritual dan tradisi. Banyak agama sekarang terjebak pada ritual belaka. Mereka berdoa beramai-ramai secara berkala. Namun, tidak ada perubahan kesadaran dan perubahan perilaku hidup. Bahkan sebaliknya, agama sebagai ritual justru menjadi pembenaran untuk bertindak bejat, mulai dari menipu, korupsi bahkan sampai membunuh. Ritual tidak hanya menyempitkan spiritualitas ke dalam upacara tanpa makna, tetapi juga membunuh spiritualitas itu sendiri. Di sisi lain, agama dan spiritualitas juga dijajah oleh tradisi. Tradisi menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, dan apa yang dianggap bermoral serta tidak bermoral. Padahal, dunia terus berubah. Melihat dunia dengan kategori baik dan buruk berarti memecah dunia, dan mengundang terjadinya pertengkaran. Intuisi sebagai dasar dari pencerahan batin dan spiritualitas hendak bergerak melampaui cacat-cacat kehidupan yang dihasilkan oleh ritual dan tradisi. Para master Zen yang dijelaskan sebelumnya juga menegaskan, bahwa ritual dan tradisi hanya sekedar alat untuk sampai pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin. Itu pun juga bukan alat yang paling baik. Namun, sayangnya, banyak orang terjebak mengaburkan alat dan tujuan, serta akhirnya menjadi budak dari ritual dan tradisi.

Ketika orang bisa menggunakan dan mengembangkan intuisinya, serta menggunakan intuisinya untuk memahami hakekat dari segala yang ada, maka ia akan sampai pada pencerahan batin. Di dalam keadaan ini, orang akan menemukan kedamaian sejati. Ia tidak akan menderita, walaupun harus menghadapi beragam tantangan dan permasalahan di dalam hidup. Ia akan bisa bersikap tepat dan singgap, guna menanggapi keadaan yang ada. Di dalam hatinya akan selalu ada kedamaian, walaupun ia diterpa oleh gelombang kesulitan kehidupan. Ia tidak lagi berpikir dalam kategori benar salah dan baik buruk, melainkan bergerak melampaui semua kategori-kategori tersebut, dan memahami segala yang ada apa adanya dengan intuisinya. Ia pun melihat segalanya sebagai satu kesatuan yang saling terhubung, tanpa bisa terpisahkan. Ia tidak lagi memiliki ego, melainkan bergerak melampaui ego, dan masuk ke dalam kesadaran akan kesatuan dengan kenyataan. Pengalaman semacam ini adalah pencerahan batin yang hanya bisa dicapai dengan pemahaman intuitif. Spiritualitas inilah yang saya sebut sebagai spiritualitas transrasionalitas yang lahir dari pola berpikir dialektis.
  1. Kesimpulan
Kekeringan spiritualitas yang dialami oleh banyak orang sekarang ini, terlebih oleh orang-orang beragama, hanya bisa dilampaui, jika orang menafsirkan dan memahami ulang arti yang sejati dari spiritualitas itu sendiri. Yang ditawarkan di dalam tulisan ini adalah spiritualitas sebagai dialektika transrasionalitas yang berkembang di dalam tradisi Zen Buddhisme di Cina dan Jepang. Spiritualitas ini adalah spiritualitas pencerahan batin, dimana orang hidup dengan cara berpikir dan cara yang hidup yang baru, yang berpijak pada kedamaian hati dan kejernihan pikiran. Namun, spiritualitas semacam ini hanya dapat dicapai dengan pemahaman intuitif, yang bergerak melampaui ritual, tradisi dan akal budi. Intuisi inilah yang saya sebut sebagai transrasionalitas, yakin bagian dari diri manusia yang berada di tingkat yang lebih tinggi dari akal budi. Ia lahir dari pemikiran dialektis, yakni pemikiran yang memecah belah logika lurus matematis. Di dalam pemikiran dialektis ini, orang lalu bisa sadar, betapa terbatasnya akal budi manusia. Ia pun tidak lagi menjadi hamba dari akal budi, melainkan berusaha mencari lebih dalam, yakni dirinya yang sejati. Pada titik ini akan muncul pemahaman baru yang tak dapat dirumuskan dengan konsep ataupun bahasa, yakni pengalaman pencerahan batin. Kedamaian yang sejati pun akan muncul dan menetap di hati. Dan haruslah diingat, bahwa tidak ada perdamaian dunia, ketika hati manusia masih terjebak di dalam penderitaan, rasa takut dan kebencian. Spiritualitas tanpa konsep “spiritualitas” bisa menjadi dasar bagi terciptanya perdamaian dunia.

Konsep Dasar, Tujuan, dan Fungsi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Dasar

Filsafat ilmu dalam konteks pendidikan dasar hadir sebagai upaya untuk menanamkan benih-benih berpikir kritis dan rasional sejak usia din...