Burung Kolibri Merah Dadu
Judul Buku: Burung Kolibri Merah Dadu
Penulis: Kurnia Effendi
Cetakan 1, Februari 2007
Penerbit: C Publishing
Kurnia
Effendi adalah penulis
cerpen yang tumbuh di halaman-halaman majalah remaja seperti Gadis dan Anita Cemerlang.
Sekarang ia dikenal sebagai seorang penulis cerpen prolifik. Dari
lahan imajinasinya yang subur telah lahir 4 kumpulan cerpen yaitu Senapan Cinta (2004), Bercinta di Bawah Bulan (2004), Kincir Api (2005) dan Aura Negeri Cinta
(2005).
Kurnia adalah seorang cerpenis yang piawai, tangkas dalam
seleksi diksi dan indah dalam perangkaian kata. Tuturannya seringkali
lembut, bening dan halus. Oleh karena itu, ketika menggunakan nama Nia
Effendi, banyak orang yang menyangka dia seorang perempuan.
Cerpen-cerpen Kurnia yang umumnya merambah wilayah romantis selalu
menarik. Tidak sekadar manis, tetapi gurih dan segar. Membaca rangkaian
kata-katanya, meminjam ungkapan Meg Cabot (penulis serial The Princess Diaries) ketika mengomentari To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, oleh Kurnia every word has been as carefully strung together as if it were a precious jewel. Saya kira, siapa pun yang telah membaca cerpen-cerpen Kurnia dalam setiap antologi cerpennya akan setuju.
Bertepatan dengan momen hari kasih sayang, 14 Februari 2007, Kurnia meluncurkan kumpulan cerpennya yang kelima bertajuk indah Burung Kolibri Merah Dadu. Burung Kolibri Merah Dadu adalah kumpulan cerpen yang ditulis dalam rentang waktu 2 dekade lebih, sejak tahun 1983 (Langit Makin Ungu) sampai tahun 2006 (Cinta Separuh Malam).
Oleh karena itu, antologi ini bagaikan rekaman perjalanan Kurnia dalam
belantika sastra Indonesia menuju kematangannya berkarya. Buku ini
membuktikan bahwa ia bukan wajah baru dalam dunia sastra Indonesia
karena telah meretas perjalanan yang tergolong panjang dan
senantiasa bersetia pada jalur yang ia pilih. Meskipun karya-karya
cerpennya baru mulai dibukukan pada tahun 2004.
Angsa Putih
terpilih sebagai sajian pembuka yang cantik. Ceritanya sebenarnya
sangat sederhana. Kisah cinta yang tidak pasti antara Paramita dan
Faisal, seorang pria yang hampir tidak percaya cinta dan kesetiaan.
Faisal menghilang dari kehidupan Paramita dan sebuah patung porselen
miniatur seekor angsa putih pemberiannya menjadi pengganti kehadirannya.
Angsa putih disepakati oleh keduanya sebagai lambang kesetiaan, ide
yang lahir setelah menonton film Out of Africa
karya Sydney Pollack dengan Meryl Streep dan Robert Redford sebagai
pemeran utama. Tiba-tiba lambang kesetiaan dari porselen itu hancur
berkeping-keping, padahal sudah dijaga sedemikian rupa oleh Paramita.
Sekalipun sangat
sederhana, dengan mulus Kurnia berhasil mengolah cerita ini menggunakan
perspektif penceritaan orang kedua yang begitu menawan, sehingga cerpen
seakan-akan menjadi curhat seorang Paramita terutama kepada pembaca
pria. Cerita yang diawali dengan sendu pada saat pecahnya patung
porselen angsa putih, berakhir manis, bertolak belakang dengan kisah
cinta dalam Out of Africa.
Tak heran cerpen ini diposisikan sebagai sajian pembuka
antologi cerpen laki-laki yang menggunakan nama sahabat-sahabatnya pada
karakter rekaannya. Secara pribadi, saya berpendapat cerpen ini
sebagai salah satu ekspresi kelembutan yang paling romantis dari Kurnia dalam antologi ini.
Tema cinta yang memiliki kecenderungan manis juga dapat ditemukan dalam Gerimis Februari dan Hari-hari Merah Jambu. Gerimis Februari
diceritakan dengan kalem dan terkendali sebagaimana cinta yang
berkembang dari persahabatan yang manis. Kurnia memberikan kesempatan
kepada pembaca untuk memberi akhir pada cerpen ini walau seperti
pengakuannya ide ceritanya adalah kisah cinta dengan perempuan yang
sekarang menjadi istrinya. Hari-hari Merah Jambu yang semanis judulnya terkesan bak film-film romantis Hollywood, apalagi dengan adegan kocak yang dilakukan Bram di bandara.
Walaupun masih seirama dengan cerpen-cerpen sebelumnya, Sekuntum Lily
yang berkisah tentang cinta segitiga antara Fatin, Yuda, dan Uka
menunjukkan bahwa meski sering rumit cinta tetap bisa memberikan
harapan. Kerumitan cinta yang manis juga dapat ditemukan dalam Burung Kolibri Merah Dadu yang menceritakan tentang Fransiska yang kembali ke Indonesia
setelah pergi keluar negeri pasca perceraian dengan Jimmy, suaminya.
Fransiska akhirnya menemukan harapan cintanya pada Jodik Givara,
seorang penyair yang mencintainya. Susan dalam Kemilau Senja
menemukan cinta Lukas, lelaki yang pernah 'singgah' dalam hidupnya
dan menghilang dari orbit, di Mandalawangi. Sedangkan dalam cerpen
yang panjang (Kurnia menyebutnya novela), Selamat Datang Matahari, Hanum menemukan matahari yang hilang karena ulah Joko Hindarto dalam kelembutan hati Dery, saudara kembar Nadia.
Cinta di tangan Kurnia tidak berarti selalu merah jambu. Dalam Langit Makin Ungu,
Nana yang tidak sanggup melepaskan cengkeraman masa lalu menolak
kehadiran Basunondo tetapi menyesali keputusannya saat pria itu
memutuskan meninggalkan tanah air. Arga, seorang anak muda yang populer
di antara gadis-gadis, harus menerima penolakan Seruni demi cinta
perempuan lain, sebagai bentuk kebeningan hati gadis itu (Di Ujung Senja).
Harry Sarjono, setelah menikmati kebersamaan yang indah dengan Keiko
yang membuatnya berpikir tentang cinta, ditinggalkan Keiko dalam
ketidakpastian (Berjalan di sekitar Ginza). Sepanjang Braga mengisahkan seorang penulis fiksi tanpa nama yang patah hati ditinggal mati gadis yang dicintainya. Tiga Ribu Kaki di Atas Bandung adalah kisah kasih tak sampai antara Katy dan Mahendra karena seorang gadis bernama Svetlana.
Dua cerpen, Merpati Stefani dan Cinta Separuh Malam
seperti butir yang lepas dari rangkaian kisah. Kedua cerpen ini
tidak bercerita cinta seperti cerpen-cerpen lainnya. Cinta dalam Merpati Stefani adalah cinta seorang gadis bernama Stefani kepada sepasang merpati dan cinta burung-burung itu sendiri. Sedangkan Cinta Separuh Malam
bertutur tentang pertemanan seorang penulis yang tidak lain adalah
penulis sendiri di masa depan dengan seorang perempuan separuh baya
pemilik toko buku.
Hal lain yang ditangkap pada eksplorasi Kurnia adalah pengimbuhan kejutan pada akhir cerpen-cerpennya. Hari-hari Merah Jambu, Langit Makin Ungu, Di Ujung Senja menjadi contoh cerpen Kurnia dengan akhir yang mengejutkan.
Tetapi, Angsa Putih dan Sepanjang Braga akan menjadi favorit karena keindahan puitis yang mengiris yang ditorehkan dengan elegan.
Seluruh
cerpen dalam buku ini walaupun terentang dalam kurun waktu yang
cukup panjang memiliki persamaan yaitu disajikan dengan gaya romantis,
bahasa apik, indah, dan menyentuh. Sehingga tema seperti Merpati Stefani dan Cinta Separuh Malam
yang biasa-biasa saja masih tetap menarik dibaca. Bukan karena konflik
yang disodorkan tetapi semata-mata karena gaya
bercerita yang memikat. Pada beberapa cerpen lama, rupanya secara
sengaja Kurnia mengadakan perubahan. Hal itu tampak pada penggunaan
ponsel
dan surat
elektronik yang pada saat cerpen ditulis penggunaannya belum umum
seperti sekarang. Padahal, mengingat kumcer ini seumpama
rekaman perjalanan kepenulisan, ia tidak perlu mengubahnya.
Pencantuman kapan cerpen itu diterbitkan telah cukup menggambarkan
seting waktu yang digunakan pengarang. Dan pembaca yang arif bisa
memahaminya. Toh saat ini kita masih tetap membaca karya-karya yang
tetap dipertahankan seperti awalnya meskipun zaman telah berubah.
Apalagi bagi sebagian pembaca yang telah mengenal Kurnia membaca
antologi
ini akan menjadi semacam nostalgia.
Secara pribadi saya tidak sepakat jika cerpen-cerpen remaja Kurnia dibandingkan misalnya dengan teenlit
dan dirasakan 'kuno' karena cara penyajiannya. Bahasa selalu
berkembang, dan kita tahu pasti pada tahun-tahun keaktifan Kurnia menulis
cerpen remaja, saat itu remaja juga sudah memiliki bahasa gaul sendiri.
Tetapi ketika itu, Kurnia membuktikan dirinya bisa memikat para pembaca
seperti yang diungkapkan Reda Gaudiamo (hlm. XV) tanpa memaksakan diri
menggunakan bahasa gaul yang sering mengaburkan batas antara bahasa
lisan dan tulisan. Pilihan Kurnia dengan bahasa yang apik dan indah justru
menjadi semacam positioning bagi karya-karya yang dihasilkannya.
Pada tahun 2005, penerbit Grasindo
bekerja sama dengan Radio Nederland Seksi Indonesia melaksanakan
sayembara mengarang novel remaja (teenlit). Rumah Tumbuh
karya Farah Hidayati berhasil menjadi pemenang pertama. Grasindo
melabeli buku Farah dan pemenang lainnya dengan embel-embel "rasa baru"
karena narasi yang disampaikan dengan bahasa yang baik. Jika membaca
buku Rumah Tumbuh kita akan menemukan bagaimana Farah memakai
bahasa yang baik saat bernarasi dan mengisi dialog-dialognya dengan
menggunakan bahasa remaja pada tempat yang tepat. Hal semacam ini juga
bisa ditemukan dalam Kana di Negeri Kana karya Rosemary Kesauly yang menjadi juara pertama lomba novel teenlit
Gramedia tahun 2005. Jadi, kenapa tidak, memberikan pembaca-pembaca
remaja kita fiksi yang ditulis dengan indah, cerdas, dan menggunakan
bahasa yang baik tetapi tetap tidak kehilangan gaya remaja? Apakah
remaja-remaja Indonesia memang hanya menyukai fiksi yang sarat
dengan bahasa gaul seperti yang digunakan kebanyakan penulis teenlit saat ini? Mungkin perlu dipertanyakan kembali.
Oleh
karena itu, mendukung harapan yang dikemukakan Reda Gaudiamo, semoga
kumpulan cerpen cinta karya Kurnia Effendi ini akan menjadi media
pembelajaran yang baik bagi pembaca muda Indonesia. Bahwa dengan
menggunakan bahasa yang baik, apik, dan indah, cerpen remaja juga bisa
mencuri perhatian pembaca.
Kumcer ini merupakan kumcer terbaik yang pernah saya baca. Walaupun bagi remaja se-umuran saya kumcer ini terlihat 'terlalu kuno' dan berbahasa 'semi-baku' tapi entah mengapa saya amat menyukai kumcer ini. Klasik. Mulai dari judul, alur, watak tokoh, setingan tempat dan suasananya, semua saya suka! Awal saya berjumpa dengan kumcer ini pada saat saya kelas 2 SMK. Ketika saya sedang berada dibasecamp Gala*y Pelaja*, tanpa sengaja saya melihat sebuah rak buku, nah, disitulah ketika saya 'mengubrak-abrik' rak tersebut saya menemukan kumcer ini. Berwarna biru langit dengan sebuah gambar origami burung kolibri. Sederhana dan manis! Cerpen per cerpen saya baca. Dan.. really! I falls in love! Dan beberapa cerpen yang paling saya senangi ialah Di Ujung Senja, Hari-Hari Merah Jambu, Sepanjang Braga dan Angsa Putih. Cerpen sederhana yang berbalut bahasa yang manis dan puitis serta pemilihan diksi yang tepat menciptakan sebuah ruang imaji yang merah dadu. Entah kata-kata apalagi yang harus saya sampaikan untuk menggambarkan betapa manisnya kumcer ini. Mungkin cukup sekian, dan.. Ao Revoa Talemon!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar