IDEALISME VS REALITA
Berdiri di
antara idealisme dan realita. Tak jarang kita berat sebelah, saat kita membela
idealisme ternyata kita melihat realita yang semakin buruk. Saat kita berpihak
pada realita, ternyata kita secara tak sadar sudah meninggalkan idealisme kita
dan juga kadang sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya kita miliki.
Dilema, ya,
itulah kata yang menurut saya akan dirasakan ketika seorang yang idealis
bertemu realita kehidupan. Seorang mahasiswa yang dikenal memiliki idealisme
yang tinggi seringkali menghadapi kesulitan ketika sudah lepas dari status
mahasiswanya, ketika harus mulai menjalani realita kehidupan yang ternyata jauh
dari bayangan seorang idealis. Seringkali realita
kehidupan menuntut seseorang untuk mengecilkan idealismenya, atau malah
terpaksa tunduk pada realitas dan meninggalkan semua keidealisan yang pernah
dibanggakannya. Hingga ada yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa yang idealis
itu nantinya ketika sudah masuk kedalam realita, ia juga tidak berbeda dengan
yang lainnya. Yang lebih parah adalah ketika idelisme bertemu dengan realitas,
tidak hanya idelisme yang runtuh, bahkan diri kita pun bisa ikut hancur. Atau
sebaliknya ketika idelisme dipaksa mengalahkan realitas, justru juga akan
menghancurkan kita.
Apakah memang
harus seperti itu? Apakah kita harus menanggalkan idealisme kita demi memenuhi
hasrat realita? Jika benar seperti itu, kapan perubahan untuk menjadi lebih
baik akan terjadi? Jika semua tunduk takluk pada realita yang terus mengakar
mengokohkan namanya menjadi karakter dan budaya bangsa. Haruskah membiarkan
realita yang buruk menjadi wajah dari bangsa kita?
Pertanyaan ini
sempat muncul ketika saya masih menjadi mahasiswa tingkat pertengahan.
Pertanyaan yang membuat saya berfikir bahwa tidak ada gunanya mahasiswa
bersifat idelis. Walaupun saya juga merasa tidak menjadi idealnya seorang
idelis, saya tidak ingin membuang idealisme yang menjadi jalan lurus untuk
hidup dengan tenang. Idealisme yang berpegang pada kebenaran. Akankah nantinya
idelisme itu hanya menjadi cerita gurauan para orang tua saat mengenang
masa-masanya menjadi mahasiswa?
Suatu hari saya
berdiskusi dengan sahabat saya tentang pandangan orang terhadap idealisme
mahasiswa yang nantinya, kata mereka, akan pudar ketika bertemu realitas. Dia
menyampaikan—dari hasil bacaanya di sebuah buku—bahwa ketika idelisme
berhadapan dengan realitas, dua hal ini tidak boleh dibenturkan. Walaupun dua
hal ini saling bertentangan satu sama lain, ketika kita memaksa untuk membenturkan
mereka, maka salah satu akan kalah dan meninggalkan kita. Dalam dunia nyata,
seringkali idealismelah yang kalah ketika bertarung melawan realitas. Lalu apa
yang harus dilakukan untuk menghindari hal itu? Ketika kita harus berhadapan
langsung dengan realitas, tanpa harus membenturkannya dengan idealisme apalagi
meruntuhkan idealisme kita.
Yang kita
lakukan adalah memunculkan optimisme, ya, optimisme
yang akan melerai pertengkaran antara idealisme dan realitas. Optimisme
yang akan membuat idealisme itu tetap bertahan di tengah serangan
realitas.
Optimisme
ini adalah keyakinan bahwa idealisme yang benar harus dipertahankan.
Sementara perlahan-lahan berusaha mempengaruhi realita. Ketika optimisme
ini sudah muncul maka selama ada celah untuk idelisme, dia akan tetap
masuk tanpa harus berseteru dengan realita. Walaupun harus ada gesekan antara
keduanya, tapi tidak membuat idealisme atau diri kita hancur. Pertahankan optimisme
itu agar dapat terus hadir dan berdiri tegak hingga pengaruhnya tidak
terbendung lagi.
Semoga
orang-orang yang masih memiliki idelisme saat ini bisa bertahan dengan back
up dari optimisme, optimisme yang akan
membawa generasi ini kepada masa depan yang cerah, yang berani menatap kedepan
dan mengatakan tidak pada keburukan realitas yang dapat menggerogoti setiap
sisi kehidupan. Percayalah, idelisme itu bisa bertahan! Optimis.
Pesan: Mari berjalan di
jalan kebenaran, karena di jalan itu—walaupun sering terasa berat dan
sulit—pertolongan Tuhan selalu menyertai kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar